Soekarno Utang Nyawa kepada Tentara Islam

(Presiden Soekarno berbicara di depan rakyat pada 1946 - dok)

[PORTAL-ISLAM.ID]  Presiden Sukarno pernah mengambil sikap hitam putih terhadap ketegangan India dan Pakistan. Bukan sikap abu-abu. Sukarno jelas-jelas mendukung Pakistan dibandingkan mendukung India saat perang kedua negara pada 1965 lalu.

“Utang nyawa dan solidaritas Muslim!” Begitu kira-kira alasan Bung Karno untuk mendukung Pakistan dibandingkan mendukung India.

Seorang intelektual keturunan Pakistan di Indonesia, Azam Khan, dalam bukunya ‘Peranan Pakistan dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia’, menuturkan tentang kedekatan batin antara orang Pakistan dengan Indonesia saat terjadinya agresi militer yang dilakukan tentara Inggris yang bergabung dengan Belanda di bawah NICA, pada 1946-1948. Bahkan saat itu, Presiden Sukarno nyaris terbunuh.

Sukarno dikepung serdadu NICA dalam suatu insiden yang sangat serius. Saat itu, Bung Karno hendak berkunjung ke rumah dokter R Soeharto di Jalan Kramat 128, Jakarta. Tiba-tiba serdadu-serdadu NICA mengurungnya. Si bung tidak dapat keluar dari mobil untuk masuk ke halaman rumah sahabatnya itu. Melihat hal tersebut, dokter Soeharto menghubungi Tabib Sher di Senen Raya.

Pada saat itu di rumah Tabib Sher sedang berkumpul beberapa orang serdadu Pakistan. Seketika pasukan Pakistan segera meluncur dan memerintahkan tentara NICA agar menyingkir. Kedua serdadu sudah dalam posisi ‘steeling’ dan mengokang senjata. Posisi tentara India Muslim (Pakistan) itu lebih menguntungkan, karena mengepung pasukan NICA dari India non-Muslim. Pasukan India non-Muslim itu pun akhirnya keluar dari rumah dokter Soeharto. Nyawa Sukarno yang sudah di ujung tanduk itu, terselamatkan.

Bukan cuma Sukarno yang berutang budi. Bangsa ini juga berutang budi pada India Muslim yang kemudian mendirikan negara dengan nama Pakistan. Pada 1946-1948 itu, banyak disersi yang dilakukan tentara Pakistan yang dibawa oleh Inggris ke Indonesia. Utamanya untuk membantu melanggengkan penjajahan Belanda di Indonesia. Saat itu jumlah tentara Pakistan sekitar 600 serdadu yang bergabung dalam pasukan Sekutu.

Mereka membelot dan memihak pada pejuang kemerdekaan Indonesia. Dengan gigih, ikhlas atau atas panggilan kesamaan agama Islam, akhirnya bahu-membahu dengan pasukan Republik berjuang melawan kaum penjajah. Mereka turut bertempur antara lain di Surabaya, Medan, Bandung, Bukit Tinggi dan kota-kota lain. Pertempuran di kota-kota tersebut banyak menimbulkan korban dari pihak Belanda.

Pasukan Pakistan yang membelot ke tentara Indonesia membawa segala peralatan perang, mulai dari mesiu, sejumlah mobil jeep, truk sampai bahan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Tentara Inggris yang dibawa ke Indonesia untuk membantu Belanda terdiri dari pasukan tentara Ghurka India yang beragama Sikh, tentara Hindu India dan tentara Pakistan (Islam India).

Namun yang membelot dari tentara Inggris dan bergabung dengan tentara Indonesia hanyalah serdadu muslim dari Pakistan dan bersama-sama tentara Indonesia berjuang melawan tentara Belanda dan Inggris. Sedangkan tentara India yang beragama Hindu dan pasukan Gurkha yang beragama Sikh tetap bersama pasukan Belanda dan Inggris melawan pasukan Indonesia dan Pakistan.

Rupanya imbauan para pemimpin Indonesia saat itu, mampu mengetuk hati Quaid-i-Azam (Pemimpin Besar) Muhamaad Ali Jinnah. Ia merupakan Presiden pertama Pakistan yang menyampaikan protes atas kekejaman kolonial Belanda dan Inggris terhadap Indonesia. Ia mengimbau seluruh umat Islam dunia untuk membantu perjuangan kemerdekaan RI.

Atas jasanya yang luar biasa, pada Desember 1996, Presiden Soeharto memberikan Bintang Adi Purna, bintang RI kelas satu kepada almarhum Muhamaad Ali Jinnah (25 Desember 1876 – 11 September 1948). Ia dianggap luar biasa berjasa terhadap negara dan bangsa Indonesia. Jasa lain dari Ali Jinnah adalah mengeluarkan perintah menahan sejumlah pesawat Belanda dan Inggris. Pesawat itu bermuatan senjata yang akan dibawa ke Jakarta, akhir 1947.

Persenjataan ini untuk mendukung kegiatan agresi Police Action. Police Action adalah tindakan agresi yang dilakukan tentara sekutu Inggris membantu tentara Belanda untuk kembali menjajah Indonesia yang telah merdeka.

Dalam perang India melawan Pakistan pada 1965, Presiden Sukarno mengirimkan kekuatan armada Angkatan Laut Indonesia untuk membantu Pakistan melawan India yang lebih kuat dalam persenjataannya.

Mengetahui Indonesia mengirimkan dua kapal selam dan patrol kapal perang di selatan Pakistan, India kecewa dan berpikir ulang untuk berkonfrontasi dengan Pakistan. Sebab kekuatan militer Indonesia saat itu termasuk yang diperhitungkan dunia. Belanda saja takut dan hengkang dari Irian Barat, apalagi India. Begitulah kira-kira konstalasi kekuatan militer dunia era tersebut.

Sebenarnya bukan semata-mata membela Pakistan, tetapi Sukarno juga sedang menggertak India yang memiliki perbatasan laut dengan Indonesia. India takut, Pulau Nicobar yang memiliki batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada titik-titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan Laut Andaman, akan dicaplok Indonesia.

Sikap Sukarno tersebut sangat membekas dan membuat sakit hati pendiri negara India, Jawaharlal Nehru . Padahal, Pesiden Sukarno bersama Josep Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), U Nu (Birma), Mochamad Ali Jinnah (Pakistan), dan Nehru (India) adalah tokoh-tokoh besar di balik Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, pada 1955. KAA merupakan cikal bakal Gerakan Non Blok (GNB), penentang Blok Barat pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet.

Maka tidak heran ketika pada 2011 melakukan liputan ke India, penulis sama sekali tidak melihat nama jalan Sukarno di Negeri Nehru tersebut. Berbeda dengan di Pakistan yang begitu menghormati Bung Karno. Ada dua tempat di Pakistan yang dinamai Soekarno Square Khyber Bazar di Peshawar, dan Soekarno Bazar, di Lahore. Penamaan ini tidak lepas dari sepak terjang kedua negara.

Sayang tidak ada lagi pemimpin sekelas Sukarno-Nehru-Jinnah yang menjadi wakil Indonesia, India, dan Pakistan sebagai pendiri Gerakan Non Blok yang berwibawa.

Penulis: Selamat Ginting (Jurnalis Senior Republika)


Baca juga :