Fiqih Shalat Dengan Shaf Social Distancing


Fiqih Shalat Dengan Shaf Social Distancing

Fikih itu tak ada matinya. Karena ajaran agama memang shalih likulli zaman wal makan (cocok di segala waktu dan tempat). Rahasianya ada pada kaidah, tsawabit wa mutaghayirat (yang harus tetap dan yang boleh berubah).

Shalat itu tsawabit. Selama manusia masih hidup dan memenuhi syarat ia wajib shalat. Adapun teknisnya adalah mutaghayirat. Boleh berubah. Tidak bisa berdiri boleh duduk. Tidak dapat duduk boleh berbaring. Tak bisa berbaring dengan telentang. Tak bisa telentang dengan isyarat.

Di medan perang, malah ada ajaran shalat berjamaah yang 'unik'. Seperti difirmankan Allah berikut:

Dan apabila engkau berada di tengah-tengah mereka lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri bersamamu dan menyandang senjata mereka. Kemudian apabila mereka yang shalat bersamamu sujud (telah menyempurnakan satu rakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu untuk menghadapi musuh dan hendaklah datang golongan lain yang belum shalat, lalu mereka shalat denganmu. Dan hendaklah meraka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Orang-oarang kafir ingin agar kamu lengah  terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak mengapa kamu melatakkan senjata-senjatamu jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau sakit dan bersiap siagalah kamu. (An Nisa: 102)

Dalam fikih, shalat yang diceritakan di atas disebut shalat khauf. Yaitu shalat dalam keadaan perang. Meskipun genting tetapi shalat tetap harus dilakukan. Teknisnya rumit, dan  jarang dipraktekkan. Yang pasti sangat berbeda dengan shalat jamaah biasa.

Maka tatkala wabah Corona menerjang. Banyak tata cara sholat berubah. Bagi tim kesehatan yang memakai APD lengkap dan lagi berjibaku menangani pasien boleh menjamak shalat. Bahkan bila wudhu dan tayamumpun tidak mungkin dilakukan ia boleh shalat tanpa wudhu. Yang penting tetap shalat.

Shalat jum’at boleh diganti dengan dhuhur. Dan bagi korban korona, ia haram melakukan shalat jum’at di masjid. Karena akan menulari jamaah lain. Begitu bunyi fatwa MUI no 14 tahun 2020.

Belakangan beredar gambar dan video, shalat jamaah dengan jarak shaf antara satu jamaah dengan jamaah lain satu meter. Membuat barisan shalat dengan prinsip social distancing.

Dalam kondisi normal, barisan shalat jamaah itu harus lurus dan rapat. Sebagaimana sabda Nabi berikut:

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ

Dari Anas ra, dari Nabi saw bersabda, “Luruskan barisan kalian karena lurusnya barisan itu termasuk kesempurnaan shalat” (HR. Bukhari)

Hadis ini sering diucapkan imam sebelum memulai shalat. Beberapa jamaah ada yang menjawab, “sami’na wa atha’na”. Baru kemudian shalat jamaah dimulai.

 Ada juga hadis yang lebih rinci, seperti hadis berikut ini.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ إِنِّى لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

Dari Anas bin Malik ra, dari Rasulullah saw bersabda, “Rapatkan barisan kalian dan dekatkan antara barisan, sejajarkan leher-leher. Demi jiwaku di tangan-Nya, sunguh aku melihat setan memasuki sela-sela shaf seperti anak kambing.” (HR. Abu Dawud)

Jelas sudah. Ajaran shalat jamaah itu, barisan harus lurus dan rapat. Ini tentu dalam keadaan normal. Adapun dalam situasi sekarang ini boleh berubah. Karena khawatir tertular corona bila shalat berdekatan.

Sebenarnya beberapa daerah sudah boleh tidak jum’atan dan shalat jamaah. Ini bila merujuk pada fatwa MUI. Fatwa nomor 3 huruf a berbunyi begini:

"Dalam hal ia (orang sehat) berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat dhuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu, terawih dan ied di masjid dan tempat umum lainnya."

Persoalannya, banyak daerah yang potensi penularannya tinggi tetapi pihak berwenang belum mengeluarkan ketetapan. Kecuali Jakarta dan Solo. Untuk DKI, Anis Baswedan sudah mengeluarkan Seruan Gubernur dan untuk Kota Solo wali kota sudah menetapkan wilayahnya sebagai daerah KLB covid-19.

Selain dua kota itu umat Islam mengalami dilema. Jika tidak berangkat shalat jamaah dan jum’at yang berwenang belum  mengeluarkan ketetapan. Sementara jika tetap shalat di masjid takut ketularan korona. Maka membuat barisan shalat yang berjarak satu meter menjadi pilihan.

Masalah kemudian muncul, apa boleh shaf shalat memakai social distancing seperti itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut berikut saya kutipkan pendapat imam Nawawi dalam kitab al Majmu’.

يشترط لصحة الاقتداء علم المأموم بانتقالات الامام سواء صليا في المسجد أو في غيره أو أحدهما فيه والآخر في غيره

"Syarat sahnya berjamaah itu makmum mengetahui perubahan gerakan imam, baik itu shalat di masjid atau di tempat lain. Atau salah satu pihak ada di masjid dan yang lain di luar masjid."

Ketika  makmum mengetahui perubahan gerakan imam, baik dengan melihat langsung, mendengar suaranya atau mengetahui dari makmum yang lain. Maka shalat jamaahnya sah. Menurut jumhur ulama jarak makmum dengan imam tidak lebih dari 300 dzira (14,4 km).

Tidak ada syarat sahnya shalat itu barisannya harus rapat. Seperti juga terjadi di masjid haram. Makmum terpencar di  mana-mana. Di pinggir jalan, di trotoar, di depan toko bahkan di lorong-lorong yang cukup jauh dari masjid. Banyak yang membuat barisan tetapi tidak sedikit yang berdiri sendiri, karena space yang sempit.

Walhasil, shalat dengan shaf social distancing itu sah. Tetapi memang tidak sempurna. Sebagaimana orang yang shalat sambil duduk. Shalatnya sah walupun tidak sempurna. Soal pahala, Allah lebih tahu mana yang pantas mendapatkan balasan istimewa.

(Oleh: Ust. Muh. Nursalim)

Baca juga :