Begini Ancaman Nyata dari RRC


Begini Ancaman Nyata dari RRC

By Asyari Usman
(Wartawan senior ex BBC Internasional)

Bisakah kita mengatakan bahwa ancaman teritorial dari RRC hanya mitos? Khayalan? Atau hanya paranoia? Bagi Anda yang tak perduli, boleh jadi Anda akan mengatakan begitu. Anda merasa tak mungkinlah RRC mau dan bisa menguasai Indonesia.

Tapi, sebaiknya jangan dulu katakan mitos. Kita semua akan menyesal berkepanjangan. Mari kita cermati angka-angka tentang RRC. Yaitu, angka-angka demografi, ekonomi, konsumsi energi, dan kekuatan militer RRC. Dan kita lihat pula angka-angka tentang Indonesia yang sangat menggiurkan ini.

Kita akan paham mengapa ambisi teritorial China bukan sekadar kekhawatiran tanpa alasan. Kita akan mengerti betapa empuknya Indonesia di mata RRC.

Pertama, angka demografi. Jumlah penduduk RRC per 2019 mencapai 1,400,000,000 (satu miliar empat ratus juta) jiwa. Atau, setiap 7 orang yang ada di Bumi ini, 1 orang adalah warga RRC.

Pada 2018, Biro Statistik Nasional RRC menyebutkan penduduk usia kerja di negara itu berjumlah 900 juta. Tingkat pengangguran 5.3%, atau sekitar 48 juta orang. Ini angka resmi. Biasanya, jumlah yang sesungguhnya dua kali lipat, atau 90 juta.

Kedua, angka ekonomi. RRC memiliki cadangan devisa asing (CDA) lebih 3.8 triliun dollar Amerika pada 2014. Tahun lalu, CDA itu turun ke angka 3 triliun dollar. Supaya mendapat gambaran yang lebih jelas, 3 triliun dollar itu adalah 3,000 (tiga ribu) miliar dollar atau sekitar 42,000 (empat puluh dua ribu) triliun rupiah.

Meskipun turun menjadi 3 triliun dollar, CDA China tetap yang tertinggi di dunia. Sebagai perbandingan, Jepang (posisi ke-2) hanya punya 1.2 triliun dollar. Di tempat ke-3 ada Swiss dengan CDA 800 miliar dollar.

Dana CDA China itu bisa disebut duit tidur. Uang yang menganggur. Inilah yang membuat mereka merasa kuat. Karena mereka punya uang paling banyak.

Ketiga, angka konsumsi energi. Dengan penduduk 1.4 iliar, RRC adalah pengguna tenaga listrik terbesar di dunia, yakni 6.4 triliun kWh per tahun. Konsumsi listrik dunia sekitar 22 triliun kWh per tahun. Konsumen listrik terbesar kedua adalah Amerika Serikat, sebesar 4 triliun kWh per tahun.

RRC pemakai batubara terbesar di dunia atau 50% dari konsumsi global. Negara ini memakai lebih-kurang 4.4 miliar ton batubara per tahun. RRC sekaligus produsen batubara terbesar di dunia, yaitu sebanyak 3.4 miliar ton per tahun. Kalau seluruh produksi dalam negerinya dipakai untuk keperluan mereka, berarti RRC harus mengimpor 1,000,000,000 (1 miliar) ton lagi dari luar.

Batubara adalah sumber energi yang sangat vital bagi China. Sekitar 60% keperluan listriknya dihasilkan dari konversi 4.4 miliar ton batubara itu. Selebihnya adalah kombinasi listrik tenaga nuklir, energi terbarukan, dan sumber-sumber lain.

Bagaimana dengan konsumsi gas RRC? Tahun lalu (2018), China menggunakan gas sebanyak 276.6 miliar meter kubik gas alam cair. Dari jumlah ini, yang harus diimpor 125.4 miliar meter kubik. Tahun ini (2019) konsumsi gas China diperkirakan mencapai 300 miliar meter kubik. Hampir separuhnya (45%) diimpor.

Keempat, angka kekuatan militer RRC. Jumlah personel militer China mencapai 2.7 juta orang. Yang aktif 2.1 juta. Tentara cadangan ada 500 ribu orang.

Angkatan udara RRC memiliki 3,187 pesawat militer. Dari jumlah ini, pesawat tempurnya 1,222 (terkuat kedua di dunia). Pesawat serbu (attack) 1,564. Sedangkan pesawat angkut ada 193. Pesawat latih 368 unit. Helikopter militer ada 1,004 unit. Helikopter tempur 281 unit.

Angkatan darat China memiliki 13,050 tank tampur plus 40,000 kendaraan tempur lapis baja. Artileri mandiri ada 4,000 unit dan artileri tarik ada 6,264 unit. Peluncur roket ada 2,050.

Angkata laut RRC mempunyai 1 kapal induk, 55 frigat, 33 destroyer, 42 korvet, 76 kapal selam, dan 192 kapal patroli.

Baik, sekarang kita lihat angka-angka di atas. Apa kira-kira yang dapat kita simpulkan?

Lebih-kurang seperti ini: RRC adalah negara yang sangat kuat secara ekonomi dan militer, tetapi rawan dalam ketahanan energi dan pengangguran. Kata kuncinya adalah: kuat enonomi, kuat militer. Tetapi haus sumber energi dan lapangan kerja.

Apakah dengan fakta-fakta ini RRC bernafsu mencaplok Indonesia baik dengan cara hegemoni ekonomi maupun pendudukan fisik? Saya berpendapat kedua-duanya sangat mungkin. Mereka akan lakukan itu secara bertahap. Bertahap maksudnya adalah, mereka tancapkan dulu cengkeraman ekonomi di Indonesia. Baru kemudian, sangat mungkin, menyusul kehadiran militer yang akan berlangsung secara mulus dan tak terasa oleh rakyat.

Harap diingat, RRC memiliki ‘proxy’ yang sangat banyak di Indonesia. Mereka kuat secara ekomoni dan finansial. Mereka sangat mampu mengatur penggiringan negara ini ke dalam pelukan China. Hampir pasti mereka akan merasa lebih nyaman kalau RRC hadir secara fisik dengan kekuatan besar di pelosok Nusantara.

Mitoskah? Sama sekali tidak. Nah, bagaimana penjelasan tentang ini? Ikuti bagian kedua dalam postingan yang berikutnya.

RRC memerlukan pasar yang sangat besar karena produksi mereka sangat besar. Pasar besar itu sudah ada. Tapi masih perlu diamankan supaya betul-betul menjadi milik mereka. Dalam rangka mengamankan pasar itulah, RRC mengajak sekitar 70 negara untuk ikut proyek One Belt One Road (OBOR) yang kemudian dinamakan Belt and Road Initiative (BRI). Tak salah disebut ‘jalur sutra gaya baru’ (JSGB). Indonesia sekarang resmi menyerahkan lehernya kepada RRC lewat OBOR.

China tidak hanya membawa dagangannya ke mancanegara, tetapi juga menawarkan pembangunan infrastruktur untuk ekspor dan distribusi produk mereka. Infrastruktur itu dibiayai dengan uang pinjaman dari mereka. Mereka yang mengerjakannya. Termasuk pembangunan pelabuhan, jalan tol, bandara, dan pusat-pusat industri untuk pabrik-pabrik milik China.

Semua negara tergiur. Sekaligus terkicuh. Tergiur, karena janji-janji China tentang manfaat proyek infrastruktur itu. Terkicuh, karena sejumlah negara lemah terjerembab ke dalam perangkap utang RRC. Ini memang tujuan mereka. Begitu terjebak, negara-negara itu tak sanggup membayar cicilan. Dibuatlah ‘deal’: proyek-proyek itu diserahkan kepada RRC selama sekian puluh tahun.

Dari sinilah bermula hegemoni langsung China di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Mereka akan punya banyak pusat industri di negara kita. Ribuan jenis produk dibuat. Fasilitas distribusi mereka bangun dan itu adalah utang negara kita. Sejalan dengan perkembangan ini, RRC sangat mungkin akan mengatakan mereka perlu membawa orang-orang China untuk bekerja di pabrik-pabrik mereka. Ingat, di RRC ada 90 juta penganguran.

Setelah sekian tahun, dimunculkanlah keperluan untuk menjaga sendiri proyek-proyek vital RRC. Sekitar setahun yang lalu (Juli 2018) pernah terungkap ke publik kerjasama Polres Ketapang di Kalbar dengan kepolisian RRC. Sampai-sampai dibuat kantor polisis bersama yang menggunakan papan nama beraksara China. Walaupun Kapolres dicopot, tetapi kita telah menyaksikan betapa mudahnya RRC “mengukur” mentalitas pejabat Indonesia.

Ada contoh kerawanan lain. Masih ingat beberapa warga China bisa bertani cabai di kawasan Kabupaten Bogor? Entah bagaimana, mereka bisa mendapatkan lahan empat hektar untuk bertanam cabai. Hanya karena ada bakteri yang terkandung di cabai itu, baru kemudian ada tindakan dari beberapa instansi terkait.

Lalu, coba juga ingat kasus seorang WNA China yang bisa mendapatkan e-KTP meskipun ada kolom yang menjelaskan dia warganegara RRC. Tapi, bukan tidak mungkin orang ini (namanya Guohui Chen) bisa melakukan lobi-lobi agar status kewarganegaraannya diubah atau dihapus. Inilah antara lain kerawanan di pihak instansi dan para pejabat Indonesia.

Kita lanjutkan lagi. Kalau kehadiran ekonomi RRC sangat besar di negara ini, sangat mungkin mereka merasa perlu membawa pasukan pengamanan sendiri. Yang paling siap dan bisa cepat dikirim adalah militer. Ingat angka militer RRC? Ada 2.7 juta tentara yang sebagian besar ‘menganggur’.

Apa salahnya dikirim beberapa belas ribu personel untuk menjaga proyek-proyek vital RRC di Indonesia? Di sini kita bicara jangka panjang. Mungkin 20-25 tahun yang akan datang. Ketika orang seusia saya hari ini, juga para pejabat eksekutif dan legislatif yang ada sekarang ini, sudah berada di alam kubur semua.

Kalau sudah ribuan atau belasan ribu yang bertugas di negara kita ini, tentulah ada keperluan khusus. Perlu fasilitas sendiri yang ‘dikuasai’ sendiri. Mula-mula nantinya diusulkan pangkalan militer kecil saja dulu di sebuah pulau. Bisa diperbesar sesuai keperluan.

Ada ribuan pulau yang masih kosong. Apa beratnya menyerahkan satu-dua pulau? Bukankah kita punya 17,000 pulau? Apalagi nanti yang mengendalikan negara ini adalah anak-anak milenial hari ini, yang pikirannya sudah ‘terbuka’ dan sudah ‘tunduk’.

Sekarang, coba ingat angka konsumsi gas dan batubara RRC. Diprediksikan mereka harus mengimpor 150 miliar meter kubik gas dari kebutuhan 300 miliar kubik per tahun. Indonesia adalah eksporter gas kedua terbesar di Asia. Masuk 10 besar dunia.

Cadangan gas kita ada sekitar 4 triliun meter kubik. China sudah tahu ini. Tidak perlu ragu mengatakan bahwa mereka telah menyiapkan muslihat untuk mengkooptasi cadangan gas yang sangat besar ini. Proyek OBOR, kekuatan uang, dan kekuatan militer RRC bisa menggiring Indonesia untuk “menjual” simpanan gas kepada Beijing.

Begitu juga batubara. RRC perlu mengimpor 1 miliar ton per tahun. Cadangan batubara (cadangan itu artinya siap untuk ditambang) di bumi Indonesia ini ada 37 miliar ton. Sedangkan sumberdaya batubara (yang bisa berubah menjadi cadangan) sangat besar, yaitu 166 miliar ton. Total persediaan menjadi 200 miliar ton lebih. Sangat menjanjikan, bukan?

Nah, ada cadangan gas dan batubara yang sangat besar di perut bumi Indonesia. Sangat menggiurkan bagi RRC. Pasti. Dan, kalau rezim yang ada ini terus berkuasa, semakin mudahlah China mendapatkan kedua cadangan energi ini. Paling tidak melalui “debt repayment scheme” (skema cicil utang, DRS). Yakni, untuk membayar utang proyek OBOR yang telah ditandatangani.

Tidak pun dengan cara DRS, tetap saja China akan mempelototi cadangan energi kita yang gurih itu. Tak tertutup kemungkinan RRC akan menggunakan “last resort” (cara terakhir) mereka. Yaitu, kekuatan militer. Apakah ini hanya mitos? Sama sekali tidak.

Di masa depan, RRC bisa saja cari gara-gara untuk mengklaim pulau Natuna yang sejauh ini telah menyuplai keperluan gas Singapura. “Ah, si penulis ini terlalu jauh,” kata Anda kepada saya. Itu pertanda Anda sangat percaya kepada China.

Anda lupa bagaimana RRC menduduki Tibet dan Turkistan Timur yang kemudian mereka beri nama Xinjiang. Wilayah yang semula berpenduduk mayoritas suku Uigur itu, sekarang menjadi daerah pendudukan (occupied territory) yang mayoritas dihuni oleh etnis Han. Suku Han dipindahkan besar-besaran oleh China antara 1950-1970. Hari ini Uigur menjadi minoritas.

Begitulah cara RRC mencaplok. Tibet mereka ambil paksa pada 1951. Tentara Rakyat Cina melancarkan penyerbuan atas perintah Mao Tse Tung dengan doktrin komunisme.

Mungkinkah RRC berani menyerbu Indonesia? Saya sendiri berharap itu tidak terjadi. Tetapi, China tidak bisa dipercaya. Dalam situasi sulit, khususnya dalam hal energi, semua opsi akan terbuka. Tidak ada yang bisa dipastikan tak akan terjadi.

Inilah bentuk potensi ancaman RRC terhadap Indonesia. Potensi itu sangat nyata. Cuma, tidak akan segera menjadi kenyataan sebagai mana dulu China menyerbu Tibet dan Tukistan Timur (Xinjiang).

Untuk sementara ini, RRC akan menaklukkan Indonesia melalui perangkap utang atau diplomasi utang. Proyek-proyek OBOR di Indonesia adalah pintu masuk yang sangat menyenangkan bagi China.[]

*Sumber: dari fb penulis (25/5/2019)
Baca juga :