Di masa kolonial, pemerintah Belanda menyematkan gelar “Haji” bukan untuk menghormati, melainkan untuk mengawasi

[PORTAL-ISLAM.ID]  Di masa kolonial, pemerintah Belanda menyematkan gelar “Haji” bukan untuk menghormati, melainkan untuk mengawasi.

Mengapa? Karena banyak jemaah yang pulang dari Tanah Suci membawa semangat perlawanan, persatuan umat, dan kebangkitan Islam.

Tahukah kamu, gelar haji di Indonesia mulai digunakan secara resmi sejak 1916? Saat itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda secara sengaja menyematkan gelar haji di depan nama para jemaah yang telah menunaikan ibadah haji. Tujuan utamanya adalah untuk mempermudah pengawasan terhadap jemaah yang baru kembali dari tanah suci.

Pemerintah kolonial khawatir, karena banyak dari jemaah yang pulang justru membawa semangat baru, semangat perlawanan akibat penyebaran paham Pan-Islamisme. 
Pan-Islamisme merupakan sebuah paham yang menyerukan persatuan umat Islam melintas negara untuk melawan dominasi Barat dan menghidupkan kembali kejayaan Islam. 

Sepulangnya dari ibadah haji, banyak tokoh dan ulama menjadi lebih berani, berpikiran terbuka, dan kritis terhadap penjajahan.

Begitu pula, paham ini menginspirasi banyak tokoh dan ulama Indonesia. Tak sedikit di antara mereka yang sepulang haji justru membentuk organisasi-organisasi pergerakan dan perjuangan kemerdekaan. 

Beberapa tokoh terkemuka yang melakukan ibadah haji, kemudian mendirikan organisasi-organisasi pergerakan yakni, Kyai Haji Ahmad Dalan mendirikan Muhammadiyah pada 1912, Kiai Haji Hashim Asyari mendirikan NU pada 1926, Kiai Haji Saman Hudi mendirikan Syarikat Dagang Islam atau SDI pada 1905. 

Berbeda dengan masa kolonial, saat ini gelar haji lebih banyak dipandang sebagai simbol status sosial dan spiritual. Gelar ini juga menjadi pengingat bagi individu yang telah menunaikan ibadah haji untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih sesuai dengan ajaran Islam

[VIDEO]
Baca juga :