Jaulani diwawancara Yahudi!
Kira-kira apa yang dibicarakan, benarkah Suriah akan normalisasi dengan IsraeI? Suriah dan Israel punya musuh bersama? Seperti yang diklaim akun-akun Hizbut Tahrir dan Syi'ah.
Berikut teks utuh terjemahannya, tanpa plintiran:
Di jantung kota Damaskus — kota yang telah bertahan dari pengepungan, kesedihan, kegelapan, dan waktu itu sendiri — saya (Jonathan Bass, Jewish Journal) bertemu dengan presiden Suriah yang baru, Ahmad al-Syara'.
Percakapan kami berlangsung di kemegahan bekas istana Assad, yang sekarang berganti nama menjadi Istana Rakyat — sangat kontras dengan bangunan-bangunan sederhana di sekitarnya. Damaskus adalah salah satu kota tertua yang masih bertahan, tempat sejarah berbisik dari setiap dindingnya. Itu adalah tempat yang tepat untuk berdialog, bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang pembangunan kembali, rekonsiliasi, dan beban memimpin negara yang telah lama hancur.
"Kami tidak memulai dari nol," katanya. "Kami memulai dari minus total."
Presiden Syara', yang memangku jabatan setelah jatuhnya Basyar al-Assad, tampil dengan penuh ketenangan. Ia bertutur kata lembut, tetapi setiap kata diucapkan melalui pertimbangan matang. Tidak ada nada sukacita kemenangan dalam suaranya — hanya nada kesungguhan dan kekhawatiran.
“Kami mewarisi tak sekadar reruntuhan,” lanjutnya. “Kami mewarisi trauma, ketidakpercayaan, dan rasa lelah. Namun, kami juga memiliki harapan. Rapuh iya — tetapi tetap ada.”
Selama beberapa dekade, Suriah diperintah oleh rezim yang membungkam mereka yang setia pada negara, keberagaman dikekang dengan kebencian, dan stabilitas ditukar lewat penindasan. Dinasti Assad — pertama Hafez dan kemudian Basyar — memerintah dengan cengkeraman besi, menggunakan rasa takut dan eksekusi untuk memperkuat kendali, sementara lembaga-lembaga negara menjadi busuk dan perbedaan pendapat bisa menyebabkan kematian.
Al-Syara' mencoba memandang jernih setiap warisan yang kini harus ditanggung.
“Sebuah ketidakjujuran jika hanya berbicara tentang lembaran baru,” katanya.
“Masa lalu itu ada — di mata setiap orang, di setiap sudut jalan, di setiap keluarga. Namun, tugas kami sekarang bukanlah mengulanginya. Bukan membuat versi lembutnya. Tapi kami harus membangun sesuatu yang benar-benar baru.”
Langkah awal Syara' penuh kehati-hatian dan benar-benar nyata. Ia telah memerintahkan pembebasan tahanan politik, memulai dialog dengan kelompok-kelompok oposisi yang pernah diasingkan atau dibungkam, dan berjanji mereformasi aparat keamanan Suriah yang sebelumnya terkenal kejam.
Visinya adalah masyarakat yang dinamis, multikultural, dan pluralistik. Ia mendukung hak untuk kembali bagi semua warga Suriah — baik Yahudi, Druze, Kristen, dan lainnya yang asetnya disita di bawah rezim Assad.
Ia telah mengusulkan pembentukan Kementerian yang didedikasikan untuk menangani masalah orang hilang atau meninggal. Untuk mengungkap kebenaran di balik kuburan massal di Suriah, ia menyadari perlunya kemitraan dengan Amerika Serikat — untuk menyediakan teknologi dan peralatan forensik, mulai dari membangun basis data DNA hingga mengungkap pelaku yang bertanggung jawab atas kekejaman di masa lalu.
"Jika saya satu-satunya orang yang boleh berbicara, maka Suriah belum belajar apa pun. Kami mengundang semua suara ke meja perundingan — sekuler, religius, suku, akademis, pedesaan, dan perkotaan. Negara harus lebih banyak mendengar daripada memerintah."
Namun, akankah masyarakat langsung kembali percaya? Akankah mereka percaya pada janji-janji pemerintah baru yang bangkit dari abu kediktatoran?
“Saya tidak meminta kepercayaan siapapun,” jawabnya. “Saya meminta kesabaran — dan masukan. Tuntutlah saya melakukan tanggung jawab. Mintalah proses yang bertanggung jawab. Itulah cara kepercayaan bisa muncul.”
Ketika saya bertanya kepada presiden apa yang paling dibutuhkan warga Suriah saat ini, dia menjawab tanpa ragu:
“Harga diri dengan kerja keras. Perdamaian melalui perencanaan.”
Di kota-kota yang kosong akibat perang dan desa-desa yang masih merasakan sakit konflik, seruannya bukan untuk politik, tetapi untuk memulai hidup normal — kesempatan untuk membangun kembali rumah, membesarkan anak-anak, dan mencari nafkah dengan damai.
Al-Syara' memahami hal ini. Ia membuat program ekonomi darurat yang berfokus pada penciptaan lapangan kerja di bidang pertanian, manufaktur, konstruksi, dan layanan publik.
“Ini bukan lagi tentang ideologi,” katanya kepada saya. “Ini tentang memberi orang alasan untuk bertahan, alasan untuk hidup — dan alasan untuk percaya.”
Ia menekankan kemitraan dengan investor regional, bantuan usaha mikro bagi para pengungsi yang pulang, dan pelatihan bagi pemuda yang sebelumnya tak mengetahui apa pun kecuali baku bunuh di medan perang.
“Suriah yang stabil tidak akan dibangun melalui pidato atau slogan — tetapi akan dibangun melalui tindakan: di pasar, di ruang kelas, di ladang, dan di bengkel. Kami akan membangun kembali rantai pasokan ekonomi. Suriah akan kembali menjadi pusat perdagangan dan perniagaan.”
Ada wawasan yang lebih dalam di balik visi ekonomi ini: setelah satu generasi kehilangan, warga Suriah sudah lelah dengan konflik. Mereka mendambakan perdamaian — bukan hanya akhir perang, tetapi juga adanya kesempatan untuk memperbaiki ekonomi.
“Setiap pemuda yang memiliki pekerjaan berarti kita telah menurunkan peluang dari satu jiwa untuk mengalami radikalisasi,” katanya. “Setiap anak yang bersekolah adalah masa depan.”
Dalam salah satu bagian paling sensitif dalam percakapan kami, Al-Syara' membahas hubungan masa depan Suriah dengan Israel — sebuah subjek yang telah menghantui kawasan tersebut sejak 1948 dan semakin memanas oleh setiap serangan udara, operasi rahasia, serta perang proksi.
"Saya ingin menjelaskan," katanya. "Era saling mengebom tanpa henti harus berakhir. Tak ada negara yang makmur jika langitnya dipenuhi rasa takut. Kenyataannya, kita memiliki musuh bersama — dan kita dapat memainkan peran penting dalam keamanan regional."
Ia menyatakan keinginannya melanjutkan Perjanjian Pemisahan wilayah 1974 (garis gencatan senjata yang dipisah pasukan perdamaian PBB) — bukan sekadar sebagai garis gencatan senjata, tetapi sebagai dasar untuk saling menahan diri dan melindungi warga sipil, khususnya komunitas Druze di Suriah selatan dan Dataran Tinggi Golan.
“Orang Druze Suriah bukanlah pion (IsraeI),” katanya. “Mereka adalah warga negara kami — yang berakar kuat, loyal secara historis, dan berhak atas semua perlindungan di bawah hukum. Nyawa mereka tidak dapat dinegosiasikan.”
Meski ia tidak menyinggung normalisasi dalam waktu dekat, Al-Syara' mengisyaratkan keterbukaan terhadap pembicaraan apapun di masa depan sesuai hukum internasional dan kedaulatan negara.
“Perdamaian hanya terwujud dengan rasa saling menghormati, bukan ketakutan. Kami akan ikut jika ada kejujuran dan cara yang jelas untuk hidup berdampingan — dan meninggalkan apa pun yang tak sesuai dengannya.”
Mungkin yang paling menonjol, ia menyuarakan pendekatan diplomatik yang berani: keinginannya untuk duduk langsung dengan Donald Trump. (Ket: Wawancara terjadi sebelum pertemuan Al-Syara' dengan Trump di Saudi)
“Bagaimana pun media menggambarkannya (Trump),” kata Al-Syara'.
“Saya melihatnya sebagai orang yang cinta damai. Kami pernah diserang oleh musuh yang sama. Trump memahami cara memakai pengaruh dan kekuatan, untuk suatu hasil. Suriah membutuhkan perantara yang jujur agar dapat memulai pembicaraan. Jika ada kemungkinan penyelarasan yang membantu membawa stabilitas ke kawasan itu — termasuk keamanan bagi AS dan sekutunya — saya siap untuk melakukan pembicaraan itu. Dialah satu-satunya orang yang mampu memperbaiki kawasan ini, menyatukannya, satu batu bata demi satu batu bata.”, jelasnya.
Itu adalah pernyataan yang mengejutkan, bukan hanya karena keterus terangannya, tetapi juga karena apa yang tersirat di dalamnya: Suriah yang baru tidak takut mengambil langkah-langkah yang tidak biasa demi mengejar perdamaian dan pengakuan.
Al-Syara' tidak menutup-nutupi tantangan yang dihadapi Suriah: lebih dari satu juta orang tewas di kuburan massal, 12 juta orang mengungsi, perekonomian yang lumpuh, sanksi yang masih berlaku, dan milisi SDF di utara.
"Ini bukan seperti di dongeng," katanya. "Ini adalah upaya pemulihan. Dan pemulihan itu menyakitkan."
Ia mengakui bahwa kekuatan asing — China, Rusia, Iran, Turki, Uni Emirat Arab, Qatar, dan AS — dapat memengaruhi jalan Suriah. Namun, ia menegaskan bahwa kedaulatan Suriah dimulai dengan konsensusnya sendiri.
“Kami tidak akan menjadi pion. Kami juga tidak akan menjadi benteng. Kami akan menjadi negara yang memerintah dengan legitimasi, bukan hanya kontrol. Kami ingin AS bermitra dengan kami — dalam pemerintahan, dalam antikorupsi, dalam membangun lembaga yang didasarkan pada kejujuran dan integritas.”
Banyak warga Suriah melihat Al-Syara' bukan sebagai seorang revolusioner, tetapi sebagai seorang pemulih — seseorang yang mampu menyatukan kembali bangsa yang lelah karena perang dan terpecah belah oleh identitas. Mungkin sifatnya yang sederhana dengan penolakan untuk menjadi orang kuat, meskipun kehidupan sebelumnya sangat radikal — ini membuatnya naik daun di mata rakyat Suriah.
“Saya tidak menginginkan posisi ini (presiden) untuk memerintah,” katanya menjelang akhir pembicaraan.
“Saya menerimanya karena Suriah harus membuka lembaran baru. Dan saya lebih suka membantu menulis sejarah itu — bersama orang lain — daripada melihatnya terkoyak lagi. Kami tidak punya pilihan untuk gagal. Kami harus membuat Suriah kembali kuat.”, tegasnya.
Saya yakin masa lalunya yang radikal dan penuh kekerasan telah mengajarkannya cara memandang masa depan.
Anda bisa berubah. Anda bisa tumbuh. Ia telah belajar dari pengalaman, dan visinya yang cemerlang memberinya kejelasan untuk membentuk apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sejarahnya dengan ekstremisme telah membuatnya mampu mempertahankan Suriah dari dalam — melawan I**S dan mereka yang berusaha menggulingkan kemajuan rapuh yang sedang berlangsung. Ia telah berkembang dari seorang revolusioner ke pemerintahan. Saya yakin ia memiliki kemampuan untuk memimpin dan memengaruhi masa depan nyata negara ini.
Saat meninggalkan Istana Kepresidenan, saya melirik kembali ke pria yang kini bertugas membangkitkan kembali salah satu peradaban tertua di dunia — tempat alfabet pertama diciptakan. Tidak ada potret dirinya di dinding, tidak ada slogan, tidak ada bendera. Hanya seorang pria yang mencoba menyatukan peta Suriah menjadi negara yang dihargai. Ia berdiri tegak, teguh dalam tekadnya, dengan segala rintangan yang ada — tetapi bertekad.
Ia ingin membangun masa depan bagi rakyatnya, bagi kawasan ini, dan bagi negara Suriah agar keluar dari kegelapan dan mengambil tempat yang semestinya di meja perundingan dunia.
Hanya waktu yang dapat menjawabnya.
(Pega Aji Sitama)