Tidak semua pendapat yang berbeda, harus kita hargai dan hormati. Pada sebagian perbedaan, menghargainya merupakan penghinaan pada kebenaran dan akal sehat.
Sebagai contoh, jika ada yang menyatakan bahwa semua air sungai itu rasanya asin, maka menghargai dan menghormati pandangan ini, berarti kita sedang menyelisihi ilmu pengetahuan dan indra pengecap kita sendiri.
Contoh lain, jika ada yang mengatakan puasa wajib bagi umat Islam itu di bulan Shafar, maka menghargai dan menghormati pandangan ini, berarti kita sedang meragukan perkara yang ma'lum minad diin bidh dharurah.
Pandangan-pandangan semacam ini wajib ditolak dan tidak bisa dibiarkan berkembang, karena ia murni kesalahan, dan membiarkan serta menoleransinya, artinya kita secara sengaja membiarkan kebenaran menjadi samar bahkan tertutup dan akal sehat menghilang.
Yang layak dihargai, hanyalah pandangan yang punya ihtimal (kemungkinan) kebenaran. Adapun yang tidak ada persentase kemungkinan benar sedikitpun, maka selayaknya dibuang ke tong sampah.
Inilah alasan mengapa para kibar ulama (ulama-ulama besar), sejak dulu, sering bersikap keras pada satu paham atau ajaran yang menisbatkan diri pada Islam. Itu karena, menurut mereka, paham dan ajaran tersebut, sepenuhnya adalah penyimpangan, yang tidak boleh dibiarkan bertahan di tengah umat Islam.
Penilaian mereka ini, bisa jadi benar fi nafsil amr, bisa juga 'hanya' benar menurut hasil kajian mereka. Namun yang jelas, alasan mereka bersikap keras ini, adalah alasan yang bisa diterima, demi menjaga kemurnian ajaran agama.
Dan kalaupun pihak tertuduh, tidak menerima, maka dia bisa mengajukan argumen dan bukti, bahwa pahamnya itu punya landasan yang kuat secara syariat. Namun dia tidak layak beralasan, "Jangan kritik kami, karena jika anda mengkritik kami, anda akan melemahkan umat Islam dan memecah belah mereka."
Karena menjaga kemurnian agama dari berbagai ajaran menyimpang, yang tuntutannya qath'i, itu lebih penting dari menghindari perpecahan -sebagaimana klaim mereka- yang hanya zhann, bahkan bisa jadi wahm.
(Ustadz Muhammad Abduh Negara)