Saat melihat muslim lain mampu umrah tiap tahun, bersedekah jutaan rupiah tiap bulan, atau mengeluarkan zakat ratusan juta tiap tahun, lalu muncul pada diri kita keinginan untuk mendapatkan atau melakukan hal yang sama, itu hal yang wajar. Jika hal itu lahir dari keinginan untuk mengerjakan ketaatan yang sama, untuk meraih pahala yang sama dari Allah ta'ala, ia adalah hal yang baik.
Hal ini pun terjadi pada sebagian shahabat radhiyallahu 'anhum ajma'in yang faqir, yang ghibthah (iri secara positif) terhadap para shahabat yang kaya. Mereka mengadu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa aalihi wa sallam:
ذهب أهل الدُّثُور بالأجور: يُصلون كما نُصلِّي ويَصُومون كما نصومُ، ويَتصدقون بفُضُول أموالِهم
Artinya: "Orang-orang kaya mendapatkan banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami puasa. Namun mereka mampu bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak)." (HR. Muslim)
Uniknya, Nabi tidak mendoakan para shahabat faqir tadi untuk mendapatkan kekayaan yang sama, meski doa semacam ini sebenarnya boleh-boleh saja. Nabi juga tidak memotivasi mereka untuk sukses berbisnis atau mencari pekerjaan yang mapan, meski hal ini juga tidak terlarang. Beliau malah memberikan alternatif amal shalih lain, yang juga terhitung sebagai sedekah (meskipun bukan sedekah harta), yang bisa dilakukan oleh para shahabat faqir ini.
Di sini, Nabi ingin mengajarkan pada kita, umatnya, bahwa jalan kebaikan dan amal shalih itu begitu banyak. Jika kita tidak mampu melakukan satu amal shalih, masih ada pilihan amal shalih lain yang bisa kita kerjakan. Jadi apapun dan bagaimanapun keadaan kita, peluang amal shalih tetap terbuka bagi kita. Tidak perlu putus asa.
Di sisi lain, kekayaan itu ujian dari Allah ta'ala. Ada yang berhasil menempuh ujian ini, ada yang gagal. Sebagian orang bisa meningkat ketaatannya dengan kekayaan yang dimiliki. Sebagian lagi, semakin jauh dari Allah ta'ala (jauh ma'nawi, bukan hissi) karena terfitnah oleh harta kekayaan.
Itu juga mungkin -wallahu a'lam- yang menjadi hikmah, mengapa Nabi tidak mendoakan saja seluruh shahabat agar mendapatkan limpahan kekayaan, dan tidak ada yang tertimpa kefaqiran. Karena, kadang kekayaan tidak membawa kebaikan bagi pemiliknya.
Terakhir, perlu kita beri tanbih (catatan penting), bahwa keinginan yang muncul (seperti di paragraf 1) jika malah melahirkan hasad (ingin nikmat Allah pada orang lain hilang), maka itu jelas keburukan. Dan sayangnya, banyak yang tidak selamat dari sifat hasad ini. Wal 'iyadzu billah.
Juga merupakan keburukan, jika keinginan mendapatkan hal yang sama di atas, lahir dari kecintaan terhadap harta, kedudukan dan penghormatan orang lain. Ingin bersedekah dan zakat puluhan bahkan ratusan juta, agar dianggap oleh manusia sebagai dermawan, dan dihormati di mana-mana. Umrah tiap tahun, agar dianggap orang shalih, dan disanjung oleh banyak orang. Dan seterusnya.
Lebih buruk lagi, jika umrah, sedekah dan zakatnya itu, malah digunakan untuk flexing, agar orang lain ikut training motivasi atau bisnis investasi tipu-tipunya.
(Ust. Muhammad Abduh Negara)