Kerajaan Britania (Inggris) menguasai India dari tahun 1858 hingga 1947.
Tahun 1836, seorg laki² ditangkap polisi British India di Madras. Inspektur polisi yang bernama EJ. Elliot, menginterogasi laki² yang bernama Sahib Amir.
British di India, sejak 1830, mewaspadai monster bernama Wahabi. Semua yang ada hubungannya dengan pemberontakan akan dilabeli Wahabi. Kedatangan si Sahib pun menimbulkan kecurigaan polisi British India.
Setelah interogasi, ternyata Sahib orang Persia. Dia meninggalkan negerinya setelah Shah Qajar menduduki kekuasaan 4 tahun sebelumnya. Sahib lalu berkelana ke Istanbul, Rusia, Hyderabad, hingga ditahan di Madras.
Meski Sahib tidak terindikasi pemberontak, namun polisi mendapat informasi baru. Dunia muslim di luar India: Ottoman, Mesir, jazirah Arab, gelisah dengan kolonialisme British di India.
Tapi dunia Islam juga sedang bermasalah. Muhammad Ali, gubernur Ottoman di Mesir, baru saja menyerbu Nejed, sesudah itu bertempur melawan Ottoman sendiri untuk meminta kekuasaan lebih bagi anaknya Ibrahim Pasha. British khawatir Mesir lepas dari Ottoman dan mengundang kekaisaran Rusia yang menjadi rival British. Rusia saat itu sudah mengendalikan Persia dan mulai membuka hubungan dengan Afghanistan. Secara politik, British menunjukkan dukungan kepada Istanbul.
Orang Arab yang ke India saat itu ada 2 arah: dari Yaman ke Bombay dan dari Mekkah singgah di Mokha baru ke Bombay. Yang dari Yaman adalah sayyid² Hadrami dan sudah bermigrasi beberapa abad sebelumnya.
Saat itu, yang disebut Wahabi adalah cucu Shah Waliyullah ad-Dahlawi yaitu Shah Ismail ad-Dahlawi dan para pengikutnya. Mereka menentang British dan menjadi penasehat beberapa penguasa wilayah yang dicurigai menggalang pemberontakan.
Beberapa sumber mengindikasikan 2 hal tentang Waliyullah ad-Dahlawi dan cucunya: pertama mereka sufi; kedua, mereka dianggap pembaru. Waliyullah ad-Dahlawi adalah tokoh besar dengan seratusan karya. Namun bukunya (yg terakhir?) berjudul Taqwiyatul Iman menjadi masalah bagi orang² sufi (Naqasabandi) Hanafi. Buku itu mengecam praktek² kesyirikan dan taqlid. Itulah sebabnya, gerakan Shah Ismail mendapat penentangan kaum sufi.
Pertemuan kepentingan antara British dan sufi pun terjadi. British terkait isu pemberontakan, dan orang sufi terkait isu syirik dan bid'ah. Semua yang terindikasi anti penjajahan, atau anti syirik, takhyul, dan bid'ah, akan diberi label sama oleh British dan sufi yaitu Wahabi.
Tapi yang jadi pertanyaan, mengapa label Wahabi yang dipakai? Padahal tidak ada bukti bahwa Shah Ismail dipengaruhi gerakan atau ajaran syekh Muhammad bin Abdil Wahhab (Mallampalli, 2017).
#ngopi_dulu...
*sumber bacaan: Chandra Mallampalli, "A Muslim Conspiracy in British India? Politics and Paranoia in the Early Nineteenth-Century Deccan", terbitan Cambridge University Press thn 2017.
(By Ibnu Rajab)