Main Tembak Mati Tersangka Terorisme

Body
[Editorial Koran Tempo]
Main Tembak Mati Tersangka Terorisme

Terorisme membuat masyarakat takut dan merasa tidak aman. Aksi teroris juga telah merenggut banyak korban tak berdosa. Publik membenci terorisme yang menghalalkan segala cara dan menerabas hukum demi mencapai tujuan.

Itu sebabnya terorisme tak bisa ditoleransi dengan alasan apa pun. Polisi mesti memberantasnya. Hanya, polisi tidak boleh menggunakan cara-cara yang sama dengan pelaku teror. Polisi tetap harus melakukannya sesuai dengan prosedur yang benar, menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.

Tindakan berlebihan polisi hanya akan memantik kecurigaan publik, seperti saat polisi menembak mati tersangka teroris, dokter Sunardi, di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Rabu malam, 9 Maret lalu. Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menembak tersangka, yang disebut polisi pernah menjabat deputi dakwah dan informasi Jamaah Islamiyah. Alasan polisi, tersangka berusaha kabur dan berusaha menabrakkan mobilnya ke arah aparat saat hendak ditangkap.

Polisi tidak boleh main tembak mati seorang tersangka, bahkan dalam kasus terorisme sekalipun. Apalagi, menurut keluarganya, Sunardi pernah mengalami kecelakaan saat menjadi relawan gempa Yogyakarta pada 2006 yang menyebabkan kakinya cedera. Akibatnya, selama hidupnya ia harus menggunakan alat bantu untuk berjalan sehingga diragukan bisa menyetir mobil.

Semua orang harus dianggap tidak bersalah sampai terbukti di pengadilan. Pembunuhan di luar pengadilan menutup peluang tersangka teroris membela diri secara hukum. Karena Sunardi ditembak mati sebelum membela diri, kebenaran informasi yang ada saat ini hanya kebenaran sepihak versi polisi.

Katakanlah hasil penyelidikan polisi benar bahwa Sunardi terlibat dalam jaringan terorisme. Namun itu tak bisa menjadi alasan pembenar untuk menghabisi dia tanpa proses hukum. Sebaliknya, kasus Sunardi seharusnya menyadarkan pemerintah dan polisi bahwa program deradikalisasi yang selama ini digaungkan belum berjalan efektif. Ancaman terorisme tetap ada, bahkan kini memasuki orang-orang dengan profesi terhormat.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah seharusnya menyelidiki penembakan Sunardi untuk mengungkap apakah tembak mati itu sesuai dengan prosedur atau di luar hukum (extrajudicial killing). Kepolisian seharusnya terbuka dan mendukung penyelidikan Komnas HAM. Ini merupakan kesempatan bagi Densus 88 Antiteror membeberkan bukti-bukti yang mendukung klaim mereka bahwa penembakan Sunardi itu sudah sesuai dengan prosedur.

Pemberantasan terorisme memang operasi tertutup. Tidak semua kalangan mengetahui sepak terjang polisi dalam memburu terduga dan tersangka teroris. Namun bukan berarti operasi polisi bisa berlangsung tanpa kendali. Kewenangan polisi bukan tanpa batas. Ada koridor hukum dan HAM yang harus mereka patuhi.

Polisi harus lebih bertanggung jawab melaksanakan operasi menangkal terorisme. Tanpa akuntabilitas, publik tidak mengetahui operasi mana yang dilakukan dengan prosedur yang benar dan mana yang salah. Setiap operasi penangkapan terorisme seharusnya dilakukan benar-benar untuk kepentingan keamanan, bukan untuk kepentingan politik, apalagi demi catatan "prestasi" segelintir orang yang hendak naik jabatan. Jika tidak berbenah, polisi akan semakin kehilangan kepercayaan masyarakat.

(Sumber: Koran Tempo edisi Selasa, 15 Maret 2022)

Baca juga :