Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman resmi dilebur dengan Badan Riset dan Invoasi Nasional (BRIN). Macam-macam sebab kekhawatiran terhadap nasib dunia ilmu pengetahuan muncul.
Tapi kalau dipikir-pikir, apa juga yang bisa diharapkan dari negara yang mengalokasikan anggaran lebih besar untuk influencer ketimbang riset?
Akhir pekan kemarin, di penghujung 2021, akun Twitter @Eijkman_inst mengunggah kabar perpisahan. Unggahan tersebut juga menjelaskan kegiatan deteksi COVID-19 akan diambil alih oleh Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN.
Dampak lain peleburan adalah pemberhentian 113 tenaga honorer yang bekerja untuk Eijkman. Dari jumlah itu, 71 di antaranya adalah periset. Kontrak mereka tidak diperpanjang. Pemberhentian yang disebut mendadak.
"113 orang (dipecat). Sekitar 71 adalah tenaga honorer periset," tutur Plt Kepala Eijkman Wien Kusharyoto, dikutip dari Kompas.com, Senin, 3 Januari 2022.
Di Indonesia, anggaran riset selalu jadi masalah.
Seperti yang dikatakan Ketua Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro: kecil, ketat, berisiko. Tapi di rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), masalah bertambah.
Ternyata balik lagi ke political will karena pemerintah nyatanya bisa menganggarkan uang yang sangat banyak, yang sayangnya bukan untuk kemajuan pengetahuan melainkan kontrol opini lewat buzzer. Pandemi COVID-19 membuka mata kita soal banyak hal. Termasuk ini.
Pada pertengahan 2020 lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) membuka temuan soal pemerintahan Jokowi yang menggelontorkan dana sekitar Rp90,45 miliar. Dana itu dialokasikan hanya untuk influencer sejak 2014.
"Pemerintah terkesan lebih mementingkan citra daripada kesehatan dan keselamatan rakyat," tutur anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto saat itu.
Perkataan Mulyanto beralasan karena waktu itu Indonesia tengah kebingungan menghadapi keganasan virus corona. Apalagi saat itu juga terungkap anggaran untuk lembaga riset yang tengah berjibaku dengan penyediaan vaksin hanya berkisar di angka Rp5 miliar.
"Ketimpangan alokasi anggaran ini sangat tidak wajar dari segi kepentingannya. Saat ini orang lebih butuh vaksin hasil riset para peneliti daripada celoteh para influencer."
Kala itu Eijkman jadi salah satu lembaga riset yang dimaksud Mulyanto. Eijkman memotori Konsorsium Riset Covid Kementerian Riset dan Teknologi yang andil dalam pengembangan vaksin Merah Putih.
Pengembangan dilakukan Eijkman bersama sejumlah lembaga litbang nasional lain, termasuk Kimia Farma dari sisi industri BUMN. Kondisi ini menurut Mulyanto menunjukkan rendahnya political will pemerintah Jokowi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan ketika pengembangan vaksin mendesak.
“Ini perlu mendapat perhatian Presiden Jokowi, agar kita tidak sekedar menjadi Negara pengguna dan pembeli tetapi mari kita dorong Indonesia menjadi Negara pembuat. Kita bisa kalau kita mau,” kata Mulyanto.
Kembali ke anggaran jumbo influencer. Peneliti ICW Egi Primayogha menuturkan data itu didapat ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Di LPSE ICW melakukan penelusuran kata kunci "influencer" dan "key opinion leader".
Hasilnya ada 40 paket pengadaan yang merujuk dua kata kunci tersebut. Secara umum ICW mencatat total anggaran belanja pemerintah pusat yang terkait aktivitas digital mencapai Rp1,29 tirilun sejak 2014. Kenaikan signifikan terjadi di 2016 ke 2017.
Pada 2016, anggaran untuk aktivitas digital tercatat cuma berkisar Rp606 juta untuk satu paket pengadaan saja. Di 2017, jumlah paket pengadaan melonjak hingga 24, dengan total anggaran mencapai Rp535,9 miliar.
“Karena kami tak lihat dokumen anggaran, dan LPSE itu terbatas, maka tak menutup kemungkinan ini secara jumlah sebenarnya lebih besar. Bisa jadi lebih besar dari Rp1,29 triliun, apalagi jika ditambah pemerintah daerah,” kata Egi.
(Sumber: VOI)