[PORTAL-ISLAM.ID] Gugatan presidential threshold 20 persen terus berdatangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga datang dari WNI di berbagai penjuru dunia. Mereka satu suara meminta presidential threshold diubah dari 20 persen menjadi nol persen.
Gugatan sebelumnya datang dari dalam negeri, seperti diajukan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan anggota DPR Fahira Idris. Nah, berdasarkan berkas permohonan yang dipublikasi MK, Senin (3/1/2022), kini permohonan serupa datang dari WNI yang berada di berbagai negara di dunia. Yaitu:
- Tata Kesantra, tinggal di New York, Amerika Serikat
- Ida irmayani, tinggal di New York, Amerika Serikat
- Sri Mulyanti Masri, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
- Safur Baktiar, tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat
- Padma Anwar, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
- Chritsisco Komari, tinggal di California, Amerika Serikat
- Krisna Yudha, tinggal di Washington, Amerika Serikat
- Eni Garniasih Kusnadi, tinggal di San Jose, California, Amerika Serikat
- Novi Karlinah, tinggal di Redwood City, California, Amerika Serikat
- Nurul Islah, tinggal di Everett, Washington, Amerika Serikat
- Faisal Aminy, tinggal di Bothell, Washington, Amerika Serikat
- Mohammad Maudy Alvi, tinggal di Bonn, Jerman
- Marnila Buckingham, tinggal di West Sussex, United Kingdom
- Deddy Heyder Sungkar, tinggal di Amsterdam, Belanda
- Rahmatiah, tinggal di Paris, Prancis
- Mutia Saufni Fisher, tinggal di Swiss
- Karina Ratna Kanya, tinggal di Singapura
- Winda Oktaviana, tinggal di Linkuo, Taiwan
- Tunjiah, tinggal di Kowloon, Hong Kong
- Muji Hasanah, tinggal di Hong Kong
- Agus Riwayanto, tinggal di Horoekimae, Jepang
- Budi Satya Pramudia, tinggal di Beckenham, Australia
- Jumiko Sakarosa, tinggal di Gosnells, Australia
- Ratih Ratna Purnami, tinggal di Langford, Australia
- Fatma Lenggogeni, tinggal di New South Wales, Australia
- Edwin Syafdinal Syafril, tinggal di Al-Khor, Qatar
- Agri Sumara, tinggal di Al-Kohr, Qatar
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian permohonan para pemohon.
Gugatan ini daftarkan secara online ke MK pada 31 Desember 2021 jelang tengah malam. Pasal 222 yang diminta dihapus itu berbunyi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Salah satu alasan pemohon meminta Pasal 222 UU Pemilu dihapus adalah partai politik dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mengusung capres sering kali mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyak calon pemimpin bangsa dan lebih banyak mengakomodasi kepentingan pemodal (oligarki politik).
"Penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan," beber pemohon.
Selain itu, pemohon menilai masalah yang terkait dengan presidential threshold ini bukanlah masalah yang biasa-biasa saja dan bisa dipandang ringan bagi kelangsungan bangsa Indonesia ke depan. Para pemohon memandang ini masalah pokok utama terkait pengembangan demokrasi ke depan.
"Membiarkan presidential threshold terus dipraktikkan sama artinya membiarkan bangsa ini terjebak dalam cengkeraman politik oligarki, politik percukongan, yang dapat membahayakan eksistensi bangsa ini. Itulah sebabnya, kendati sudah ditolak berkali-kali oleh Mahkamah Konstitusi, permohonan penghapusan presidential threshold ini tetap Para Pemohon ajukan, bukan sekadar untuk kepentingan Para Pemohon, melainkan kepentingan seluruh masyarakat yang mendambakan hadirnya pemimpin yang amanah melalui proses pemilu yang jujur dan adil (free and fair election)," beber pemohon.
Selain 27 nama penggugat di atas, berikut daftar pemohon yang telah duluan mengajukan ke MK:
1. Ferry Joko Yuliantono
Waketum Partai Gerindra itu menggugat presidential threshold dari 20 persen menjadi 0 persen dengan alasan aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki.
2. Gatot Nurmantyo
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menggugat syarat ambang batas pencapresan (presidential threshold) 20 persen menjadi 0 persen ke MK. Menurutnya, dalam ilmu hukum secara teoretik dikenal prinsip 'law changes by reasons'. Dalam tradisi fikih juga dikenal prinsip yang sama, yaitu 'fikih berubah jika illat-nya (alasan hukumnya) berubah'.
3. Dua Anggota DPD
Dua anggota DPD, Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung, menggugat ke MK pekan lalu soal presidential threshold (PT) agar menjadi 0 persen. Fachrul Razi meminta doa dukungan kepada seluruh Indonesia agar demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan.
"Kedua, kita doakan kepada Allah SWT semoga tergugah hati Hakim MK memperhatikan dan memutuskan seadil-adilnya dalam rangka yang terbaik terhadap demokrasi Indonesia dan kita harapkan nol persen jawaban terhadap masa depan Indonesia. Salam PT nol persen," tegas Fachrul Razi.
4. Lieus Sungkharisma
Lieus beralasan, suatu hak yang diberikan konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional (constitutional right) tidak boleh dihilangkan/direduksi dalam peraturan yang lebih rendah (undang-undang). Ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 yang menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilihan umum jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945.
"Terutama Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Sudah seharusnya pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat," ujar Lieus.
5. Tiga Anggota DPD
Fahira Idris, Tamsil Linrung, dan Edwin Pratama Putra mengajukan gugatan serupa. Menurut Fahira Idris dkk, Norma Pasal 222 UU a quo bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan (3) yang memberikan kesempatan kepada:
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, serta untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
"Bahwa dengan berlakunya pasal a quo, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu, khususnya terkait dengan sistem pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden," beber Fahira Idris yang memberikan kuasa ke Ahmad Yani itu. [detik]