MELURUSKAN TAFSIR SURAT AN-NUR 26: TAK TERKAIT BAB NIKAH


MELURUSKAN TAFSIR SURAT AN-NUR 26

Sering kita jumpai adanya kesalahan dalam memahami suatu dalil dan menempatkannya. Lalu kesalahan tersebut tersebar luas di masyarakat awam, bahkan juga di kalangan sebagian pembelajar (dai/ustadz). Saking banyaknya orang yang memahami demikian dan menyebarkannya, akhirnya dianggap sebagai suatu kebenaran. Akhirnya tiap orang ikut-ikutan berdalil dengannya tanpa tahu benar tidaknya pendalilan tersebut.

Diantara contohnya, firman Allah Ta’ala:

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” [QS. An-Nur : 26]

Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian orang dalam “Bab Pernikahan”, dimana wanita yang baik akan berjodoh dengan laki-laki yang baik, dan wanita yang buruk akan berjodoh dengan laki-laki yang buruk. Pemahaman ini tidak tepat, baik dilihat dari sisi tafsir ayatnya dan juga fakta/kenyataan yang ada.

Ayat di atas tidak ada hubungannya sama sekali dengan Bab Pernikahan. Jika kita lihat asbabul nuzulnya, ayat di atas turun berkenaan dengan kisah “Haditsul ifki” (berita bohong) yang disebarkan oleh orang-orang munafikin berupa tuduhan keji kepada ibunda Aisyah ra. Para ulama ahli tafsir menyebutkan dua kemungkinan tafsir. Dan keduanya tidak ada yang mendukung pemahaman tentang Pernikahan. Keduanya adalah:

(1) Ucapan yang keji untuk laki-laki yang keji, laki-laki yang keji pantas mendapatkan ucapan yang keji. Ucapan yang baik untuk laki-laki yang baik, laki-laki yang baik pantas mendapakan ucapan yang baik. Demikian juga untuk wanita. Ini merupakan tafsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Said bin Zubair, Hasan Al-Bashri dan selain mereka. Dan ini merupakan tafsir dari jumhur (mayoritas) ulama ahli tafsir, seperti Imam Abu Ja’far Ath-Thabari, Imam Al-Baghawi, dan selain mereka berdua.

(2) Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, wanita yang keji untuk laki-laki yang keji, dan sebaliknya. Maksud dari kalimat ini sebagai bentuk penekanan, bahwa ibunda Aisyah seorang wanita yang baik, karena beliau istri dari laki-laki yang baik, yaitu Rasulullah ﷺ. Dengan ayat ini, Allah ingin membersihkan Aisyah ra dari tuduhan keji orang-orang munafikin. Oleh karena itu di akhir ayat Allah menyatakan: “Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” Ini tafsir dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.

Dan fakta pun menunjukkan, bahwa laki-laki yang baik tidak mesti berjodoh dengan wanita yang baik. Demikian juga sebaliknya. Adakalanya laki-laki yang baik, istirnya wanita yang buruk, dan terkadang wanita yang baik, suaminya laki-laki yang buruk. Firaun laki-laki yang buruk, tapi istrinya, Asiah, seorang wanita yang baik. Nabi Nuh dan Luth laki-laki yang baik karena keduanya nabi, tapi istri keduanya buruk, bahkan Allah berfirman untuk keduanya “Masuklah kalian berdua ke Neraka bersama orang-orang yang masuk.”

Dari keterangan di atas dapat kita ambil pelajaran, bahwa untuk memahami suatu dalil dengan benar lalu menempatkannya dengan tepat, kita butuh penjelasan dari para ulama yang memang memiliki kapabilitas untuk itu. Tidak bisa hanya kita pahami secara “letterlijk”, lalu kita buat kesimpulan sendiri. Ingat! dalil itu ‘barang mentah’, dan yang bisa ‘mengolahnya’ menjadi sesuatu yang ‘siap santap’ hanyalah para ulama. Ini baru satu contoh, dan masih banyak contoh-contoh yang lain.

Wallahu a’lam

7 Muharram 1442 H

(Ustadz Abdullah Al Jirani)

*****
Referensi : Tafsir Ath-Thabari (19/144), Tafsir Al-Baghawi (3/396),Tafsir Ibnu Katsir (6/32), dan Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Jalalain.

Baca juga :