ANTARA JAE & WAN ABUD, IBARAT BUMI DAN LANGIT


ANTARA JAE & WAN ABUD, IBARAT BUMI DAN LANGIT

Setiap hari Jae berlama-lama di depan televisi. Memang itu suatu keasyikan tersendiri baginya. Namun, tiap kali Wan Abud nongol di layar kaca, cepat-cepat Jae mematikan televisi sambil mengumpat. Perutnya pun mual.

Tidak jelas apa salah Wan Abud sehingga Jae makin hari makin membencinya. Yang bisa dikatakan secara lebih pasti adalah karena Wan Abud menyingkirkan Ahong dalam Pilgub Jakarte. Dulu, Ahong adalah wakil Jae dalam mengurus ibu kota sekaligus sahabat dekatnya yang banyak menyimpan rahasianya. Seiring dengan kekalahan Ahong, hancur pula mimpi-mimpi indah Jae di ibu kota.

Yang juga membuat Jae jengkel, Wan Abud menghentikan proyek reklamai pantai utara ibu kota. Padahal, proyek ratusan triliun itu adalah hasil kongsi Jae-Ahong-taipan. Dengan mematikan proyek itu, Jae merasa Wan Abud tidak menghormatinya. Bahkan melecehkannya.

Di atas segalanya, Wan Abud terlalu mempesona yang muncul dari kharisma, kecerdasan, integritas, dan leadership. Semua itu tak dimiliki Jae. Maka menjulang tinggilah Wan Abud dengan cahaya gemerlap yang memancar ke segala arah. Tanpa diperintah, mata rakyat pun tertuju pada Wan Abud yang bersinar indah bak kembang api. Sebaliknya, sinar Jae sudah lama redup. Salah satu yang meredupkannya adalah sinar Wan Abud yang terlalu terang, yang melenyapkan api kecil Jae.

Penyebab lain, Wan Abud selalu lebih cepat muncul dengan gagasan-gagasan besar yang cemerlang dalam merespons situasi melebihi gagasan dangkal dan lamban dari Jae. Seperti yang terlihat dalam hal menangani virus corona. Sekali lagi, kehebatan Wan Abud itulah yang semakin menenggelamkan Jae. Karena mau tak mau rakyat membanding-bandingkan kualitas Jae dan Wan Abud. Dan perbandingan itu memunculkan keunggulan Wan Abud, yang terlihat dari tingginya  kualitas Wan Abud menangani covid-19, yang kemudian diikuti rezim.

Sebenarnya tak layak membanding-bandingkan Jae dengan Wan Abud karena seperti langit dan bumi. Tak layak juga membandingkan akhlak keduanya. Toh, Wan Abud dikenal jujur dan tulus. Sedangkan Jae pembohong dan culas. Tapi perbandingan itu perlu karena Jae adalah kepala negara, sedangkan Wan Abud hanya gubernur. Lain halnya kalau Wan Abud adalah presiden dan Jae hanya seorang camat.

Perbandingan itu perlu dilakukan untuk menyadarkan kita bahwa telah terjadi kesalahan besar dalam pilpres 2014, kecelakaan politik yang menyebabkan orang seperti Jae yang tak punya pikiran bisa terpilih. Hal ini bisa jadi pemicu literasi politik publik untuk lebih cerdas dalam menilai calon pemimpin. Dan menjadi kesadaran para tokoh bangsa dan intelektual untuk memeriksa ulang sistem ketatanegaraan kita dan UU tentang  Pilpres sehingga kecelakaan politik yang membuat kita menderita lahir batin dan kerusakan negara tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Sesudah mematikan televisi biasanya diikuti dengan penyesalan Jae telah memberhentikan Wan Abud dari jabatan menteri pendidikan dan kebudayaan tanpa alasan yang bisa diterima akal dan nurani. Tidak ada kesalahan yang dibuat Wan Abud. Kinerja dan kompetensinya pun tak diragukan. Yang juga tak bisa dilupakan, Wan Abud adalah salah satu figur kunci yang berhasil membawa Jae ke istana. Secara arogan, pengecut, dan bodoh dia menyingkirkan Wan Abud. Hal yang mestinya menohok harga diri Wan Abud.

Kembali Jae merenung penuh penyesalan. Sekiranya Wan Abud tetap di kabinet tentu dia tak akan bersinar karena dia tetap harus menjalankan visi Jae yang tidak jelas. Lebih penting lagi, Wan Abud adalah bawahannya langsung yang bisa disuruh-suruh ke sana kemari. Dengan menjadi gubernur ibu kota yang prestisius, Wan Abud lebih leluasa mengeluarkan gagasan-gagasannya sendiri yang kemudian dieksekusi dengan hasil yang membuat orang berdecak kagum. Prestasi-prestasi yang melampaui kerja-kerja rezim Jae sehingga Wan Abud terlihat sebagai gubernur rasa presiden. Dan puluhan penghargaan internasional diberikan kepadanya dalam waktu sangat singkat. Ini pun tidak pernah dikatakan Wan Abud kepada publik karena ia tidak menganggap hal itu penting. Rakyat mendengarnya dari media domestik maupun internasional.

Penghargaan-penghargaan itu didapat bukan melalui sogokan, tapi hasil pengamatan langsung atas hasil kerja Wan Abud dan gagasan-gagasan cemerlangnya yang disampaikan dalam ceramah-ceramahnya di kota-kota besar dunia.

Apa boleh buat nasi telah jadi bubur. Wan Abud akan semakin bersinar yang datang dari mata hati, ilmu, dan pengalaman. Begitu besar sinarnya sehingga menelan semua sinar kecil lain dan barangkali akan menakdirkannya menjadi presiden negeri ini di masa depan. Tak ada gunanya menertawakan terus-menerus kebijakan-kebijakan Wan Abud secara tidak jujur. Karena Prestasi besar Wan Abud dengan mudah dapat dilihat rakyat. Propaganda-propaganda jijik yang dijalankan para influencer dan buzzer bayaran untuk menenggelamkan Wan Abud justru akan semakin menjulangkan namanya dan menghancurkan reputasi mereka yang memusuhinya.

Tentu kritik sangat perlu, apalagi Wan Bud bukan dewa. Wan Abud sendiri menganggap pengeritik dan  lawan debatnya sebagai teman berpikir. Tapi ada perpedaan besar antara kritik dan caci maki. Kritik didasarkan pada rasionalisme, sedangkan caci maki didasarkan pada emosi dan kedunguan.

Kita berharap Jae tidak lagi mematikan televisi saat Wan Abud nongol. Pandanglah dia baik-baik, dengar dengan saksama apa yang dikatakannya, perhatikan hasil karyanya, dan ambil ilmunya. Kalau ada yang salah, sampaikan dengan jujur walaupun dengan suara keras. Sehingga orang-orang hebat, yang mungkin dapat memajukan bangsa ini, diperlakukan dengan pantas dan adil. Dan dengan begitu, Jae dilihat sebagai orang bodoh yang tahu akan kebodohannya dan mau belajar dari kesalahan-kesalahannya.

Penulis: Smith Alhadar
(Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education)

Baca juga :