Jokowi dan Petruk Dadi Ratu


Jokowi dan Petruk Dadi Ratu

Presiden Jokowi baru saja membeli sebuah lukisan menarik. Penuh simbol dan makna.

Lukisan karya mantan tahanan politik Joko Pekik itu berjudul “Petruk Dadi Ratu. Semar Kusirnya.”

Rencananya lukisan besar berukuran 5 X 2 meter itu akan di pasang di istana negara yang baru di Kalimantan Timur.

Dalam artikel di majalah Tempo Edisi 22 Februari 2020 dengan judul “Lukisan Petruk Untuk Istana Baru” Joko Pekik mengaku lukisan itu dibeli Jokowi dengan harga sangat mahal. Miliaran rupiah. Tapi tak dijelaskan berapa harga pastinya.

Dalam lukisan mantan seniman Lekra (organisasi seniman onderbouw PKI) yang pernah lama mendekam di penjara itu, Petruk sedang menyalami kerumunan rakyat jelata yang mengelu-elukannya. Ada petani dan ibu-ibu yang menggendong anaknya.

Di seberang mereka, dibatasi jalan yang membelah kerumunan, berdiri orang-orang berdasi dan berjas, juga deretan gedung yang menjulang. Di belakang Petruk, Semar terlihat mengemudikan kereta kencana.

Kisah "Petruk Dadi Ratu" adalah salah satu episode yang sangat terkenal dalam dunia pewayangan. Ceritanya berupa pasemon, sindiran sekaligus nasehat tentang mengelola sebuah negara.

Petruk adalah seorang raja yang memperoleh kekuasaannya secara tidak sah. Tidak diridhoi dan diberkahi para dewa. Akibatnya negara yang dipimpinnya kacau balau.

Dia seorang punakawan, abdi dalem anak Semar dengan kemampuan intelektual yang terbatas. Namun dia pandai melucu. Menghibur para tuannya. Bersama dua saudaranya Gareng dan Bagong,  mereka bertugas mengocok perut para penonton yang sudah mulai mengantuk.

Mereka biasanya muncul lewat tengah malam dalam babak Goro-goro. Para punakawan ini bercanda, sindir kiri kanan, kritik sana-sini. Semar akan tampil sebagai orang bijak. Dia memberi petuah tentang kehidupan, maupun berbangsa dan bernegara.

Petruk digambarkan bertubuh tinggi kurus, dengan tampilan sangat bersahaja. Ciri khas lainnya, hidungnya sangat panjang. Tapi ini hidung asli. Beneran. Beda dengan Pinokio yang hanya memanjang kala dia berdusta.

Alkisah, dalam episode "Petruk Dadi Ratu" disebutkan dia menggelapkan jimat Kalimasada yang dititipkan oleh seorang kesatria Bambang Priyambada kepadanya.

Dia khianat dan menguasai jimat Kalimasada,  dan menggunakannya untuk meraih kekuasaan. Dia menjadi raja dengan gelar Prabu Kantong Bolong Belgeduwelbeh Tongtongsot.

Karena tidak punya kapasitas yang memadai dan memperoleh kekuasaan secara tidak sah, Petruk memerintah seenak udelnya.

Dia mengangkat petinggi negara dari kalangan inner circlenya tanpa memperdulikan kapasitas dan kemampuannya. Gareng dan Bagong diangkat menjadi petinggi istana.

Tatanan dalam dunia pewayangan dia jungkir balikkan. Situasi negara kacau balau.

Negara Amarta dan Astina yang secara tradisonal bermusuhan, bersatu padu. Mencoba mengalahkan Prabu Kantong Bolong. Semuanya kalah. Petruk punya kekuatan tak tertandingi, yakni  jimat Kalimasada.

Ada yang menafsirkan jimat itu adalah dua kalimat sahadat dalam lafal Jawa. Hal ini tampaknya erat kaitannya dengan strategi dakwah para Wali yang menggunakan medium pewayangan.

Akhirnya Prabu Belgeduwelbeh dapat dikalahkan oleh Semar yang menyamar menjadi salah satu petingginya. Rahasianya terbongkar. Dia kembali menjadi rakyat jelata, punakawan yang kerjanya tukang melucu.

Tatanan dunia pewayangan kembali tata tentrem setelah jimat dan singgasana kerajaan dikembalikan kepada yang berhak.

Tafsir yang berbeda

Dalam tafsir Joko Pekik seperti dilansir Tempo, ceritanya agak berbeda. Menurut Pekik, karyanya menggambarkan Dewa Semar yang memegang kendali bangsa Indonesia pasca-reformasi. Sedangkan Petruk didapuk sebagai pelaksana pemerintahan.

“Sekarang Dewa Semar mengendalikan kereta kencana karena Petruk jadi ratu,” ujarnya.

Kisah Petruk Dadi Ratu memang bukan cerita pewayangan biasa. Banyak menjadi kajian sejumlah peneliti kebudayaan Jawa. Sejumlah Indonesianis seperti Ben Anderson, bahkan Denys Lombard pernah mengkaji dan menuliskannya.

Cerita ini juga sering digunakan untuk menyindir penguasa yang diaggap lalim.

Sebagai presiden yang tengah berkuasa, pasti Jokowi tidak punya niat untuk menyindir atau mengkritik diri sendiri.

Lukisan ini bisa jadi pengenget (pengingat) bagi dirinya dan tentu saja bagi para presiden penggantinya kelak.

Itu juga kalau benar lukisan jadi di pasang di istana negara yang baru. Dengan catatan istananya ada, dan ibukota barunya jadi dibangun. end.

(Oleh Hersubeno Arief)

Baca juga :