The Power Of Emak-Emak


[PORTAL-ISLAM.ID]  Pilpres 2019 memunculkan fenomena politik baru yakni antusiasme kaum wanita dalam aksi dukungan Capres/Cawapres. Karena selalu hadir menonjol dan atraktif maka fenomena ini menjadi suatu model gerakan yang layak disebut sebagai "the power of emak emak".

Komunitasnya semakin strategis dalam proses politik. Khususnya dalam gumpalan perlawanan terhadap "status quo" karena memang emak emak ini muncul pada barisan pendukung Prabowo Sandi, bukan pada Jokowi Ma"ruf.

Prabowo sebagai seorang tentara, mantan Danjen Kopassus, meski cukup berusia namun masih gagah. Dengan kacamata dan peci nampak seperti Presiden Soekarno. Sementara Sandiaga Uno adalah sosok yang muda dan ganteng. Aksi "milenial" khasnya seperti atraksi selfie dan "performance" bebas membuat akrab dan menyenangkan bagi komunitas yang bangga dan suka disebut kaum "emak emak" tersebut.

Ketika Pemilu 2019 dinilai tidak jujur dan penyelenggara Pemilu diduga terlibat dalam proses pemenangan pasangan petahana. Reaksi publik cukup keras terlebih dari pendukung Prabowo Sandi. Rupanya emak emak selalu mengambil posisi di depan dan seolah sedang mengubah paradigma "turut suami" yaitu biasa di belakang. Dalam aksi aksi dimana aparat keamanan menurunkan pasukan "tempur" yang komplit sering terujar kalimat nada sinis "wah pasukan perang dikerahkan hanya untuk menghadapi emak emak, malu atuh". Emak emak adalah kekuatan.

Dalam sejarah perjuangan Indonesia muncul militansi dan kepahlawanan wanita seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, Martha Tiahohu dan lainnya. Dalam agama Islam terabadikan peran luar biasa Siti Khadijah Ra pembela Nabi, ketangguhan Asiah yang dihukum mati suaminya Fir"aun, Siti Masyitah penggengam tauhid, atau Sumayyah syahidah pertama dalam perjuangan Islam. Banyak catatan sejarah untuk keberanian dan militansi ini.

Kini pada perlawanan terhadap kezaliman demokrasi dalam kecurangan Pemilu, emak emak mengambil peran dan mewarnai gerakan. Terus hadir bereskalasi di medan perjuangan. Menantang gerakan kerakyatan yang pada era reformasi dahulu dominan yakni mahasiswa.

Entah kenapa mahasiswa saat ini seolah kehilangan semangat juang atau sulit membangun gerakan yang lebih masif. Nampaknya pragmatisme telah sukses mematikan militansi dan idealisme. Kampus berhasil dilumpuhkan. Alumni mencoba memancing dengan sikap yang lebih berani tampil, namun nampaknya belum berhasil "mengajak" adik adik. Satu dua gerakan mahasiswa yang muncul justru menjadi barang aneh.

Dulu Fir'aun memproteksi kekuasaan dengan cara "yudzabbihu abnaa-ahum wa yastahyi nisaa-ahum" (membunuh anak laki laki membiarkan perempuan). Apakah fenomena firaunisme ini berulang kini dalam dimensi yang lain? Mahasiswa yang terbunuh karakter kekesatriaanya sebagai pejuang kebenaran lalu memunculkan kekuatan emak emak yang "terbiarkan" dan bereskalasi tak terduga? Sejarah perubahan bangsa saat ini sedang mencari bukti-bukti.

Yang jelas umat Islam yang merasa "tertindas" sedang berhadapan dengan keangkara murkaan kekuasaan sombong dan merusak. People power cukup menakutkan dan  people power telah menemukan pasangan serasi perjuangan perubahan politiknya  yaitu the power of emak emak.

Salam perjuangan. Hidup emak emak..!

Bandung, 18 Mei 2019

Penulis: M Rizal Fadillah
Baca juga :