[PORTAL-ISLAM.ID] Sukarno punya sisi kemanusiaan yang tinggi. Ia depresi ketika harus menandatangani surat eksekusi mati Kartosuwiryo, teman “seperguruan’’ dalam belajar politik & ideologi, sahabat kosnya di rumah Cokroaminoto, sewaktu mereka muda, di awal tahun ‘20-an. Sampai-sampai berkas-berkas berupa surat eksekusi mati tersebut dihambur-hamburkannya ke lantai istana.
Menurut cerita, Sukarno hanya pernah menangis sesenggukan untuk dua orang. Pertama, saat dengar Kartosuwiryo dieksekusi mati. Kedua, waktu ziarah ke makam Jenderal Yani.
Sukarno, sebagaimana banyak dikisahkan, tak dapat menahan air mata menerima kenyataan bahwa jenderal kepercayaan dan kesayangannya itu gugur dengan cara yang sangat tragis & jadi korban kebiadaban.
Suatu hari ketika naik pesawat melintasi langit Boven Digul, Irian Jaya, Sukarno mengajak rombongan mengheningkan cipta untuk mengenang jasa para pahlawan yang dibuang Belanda ke wilayah hutan belantara itu, kawasan penuh buaya, ular beludak, dan malaria.
Disitulah berserakan makam-makam para tokoh pergerakan yang pernah berjuang memerdekakan negeri ini, baik yang dikenal maupun yang tak dikenal, yang di antaranya adalah teman-teman seperjuangan Sukarno.
Di tahun ‘70-an terbit buku yang ditulis Guntur. Isinya kebiasaan sehari-hari Sukarno & keluarga di istana. Di dekat meja makan Sukarno pasang lukisan pengemis kurus kering, yang intinya mengingatkan supaya anak-anak Sukarno selalu berbagi dengan sesama dan berlaku adil.
Suatu hari ada tamu ke istana dan berusaha cari muka dengan kasih barang-barang bagus, termasuk ngasih seekor burung sangat indah & mahal.
Sukarno menolak, tapi tiada sangka Sukarno menerima burung tersebut. Namun saat itu juga dia membuka sangkarnya, dan melepaskan sang burung terbang bebas di langit lepas.
Sukarno mencintai kebebasan (kemerdekaan), dan selalu ingin bertindak adil.
Saya juga terkenang ketika hampir saban hari harus berdiri di depan sebuah gedung tua di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, markas PDI (P) waktu itu, beberapa minggu menjelang penyerbuan yang berekor kerusuhan Sabtu kelabu 27 Juli 1996.
Megawati dizalimi oleh yang kuasa waktu itu. Partainya dibelah, dan yang kuasa menunjuk Soerjadi, Butu Hutapea, Fatimah Ahmad, Budi Hardjono Cs, sebagai boneka. Oleh yang kuasa waktu itu mereka dijadikan petugas partai.
Dalam rentang episode itulah sering saya melihat Megawati menangis atau berkaca-kaca oleh linangan air mata, baik saat memberikan keterangan pers atau menerima berbagai jenis rombongan yang datang dari berbagai tempat, termasuk pula rombongan ibu-ibu yang seringkali memeluk dan menciumi putri sang Proklamator itu dengan tulus, haru, dan penuh simpati, di tengah hiruk pikuk dan bisingnya mimbar bebas yang dilakukan oleh para tokoh pro demokrasi saat itu.
Waktu itu Megawati adalah sosok dan simbol perubahan yang disakiti dan dicurangi oleh yang kuasa, yang diharapkan oleh mayoritas rakyat negeri ini dapat meluruskan jalannya demokrasi, yang diharapkan dapat menunjukkan cahaya keadilan masih dapat bersinar di atas negeri dimana ayahandanya Sukarno turut menyumbang kepada kemerdekaannya.
Saya terkenang kepada Jenderal Ali Sadikin, nasionalis patriot yang bersuara lantang menghalau penyerbuan markas PDI (P) Sabtu pagi itu sambil pakai baju piyama, berlari cepat dari kediamannya di Jalan Borobudur yang hanya beberapa ratus meter dari markas PDI (P).
Saya juga teringat kepada maestro wartawan Indonesia Rosihan Anwar yang di sela-sela rutinitasnya berolah raga jalan pagi dari rumahnya di Jalan Surabaya, tak menyana ikut jadi saksi penyerbuan sadis itu.
Kini di atas sekelumit kisah-kisah itu berkembang pertanyaan: kenapa Megawati Sukarnoputri sekarang cuma diam melihat demokrasi yang dulu pernah diperjuangkannya terancam dihancurkan akibat adanya indikasi kecurangan-kecurangan di dalam Pilpres.
Meskipun mungkin pertanyaan ini terkesan sangat naïf, rakyat sebenarnya sangat berharap, sebagaimana ayahandanya dulu, Sukarno, Megawati hendaknya mampu bersikap negarawan, mengedepankan persatuan, keadilan, dan kemanusiaan demi demokrasi yang esensial berdasarkan suara dan keinginan rakyat hari ini.
Penulis: Arief Gunawan