Wartawan Senior UNGKAP Para Taipan Tuan Tanah di Sekeliling Jokowi


[PORTAL-ISLAM.ID]  “Jangan kerdil jadi presiden. Kebijakannya berlaku untuk semua orang, bukan untuk orang per orang.”

B tanggapan Rizal Ramli atas pidato calon Presiden Joko Widodo perihal kepemilikan Prabowo Subianto atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) di Kalimantan Timur dan Aceh seluas 340.000 hektar (ha).

Ini adalah kali kedua, Jokowi kembali mengungkit soal itu. Yang pertama saat debat Capres kedua 17 Februari lalu.

Dalam pidatonya pada acara bertemakan “Konvensi Rakyat: Optimis untuk Indonesia Maju” di Sentul International Convenstion Center (SICC), Bogor, 29 Juni 2017, Jokowi mengatakan dirinya sedang menunggu kesediaan para penerima konsesi lahan dengan ukuran besar untuk mengembalikan kepada negara.

Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) menerjemahkan kerdil adalah tidak berkembang, tidak maju; picik (tentang pikiran, pandangan dan sebagainya). Kerdil yang dimaksud Rizal tentu adalah picik. KBBI menerjemahkan picik adalah tidak luas (tentang pandangan, pikiran, dan sebagainya).

Begitukah kualitas Jokowi di mata mantan Menko Ekonomi itu? Boleh jadi Jokowi saat pidato tengah larut dalam kampanye. Dia sadar betul dengan mengangkat HGU akan mengundang tepuk riuh. Dan nyatanya memang begitu. “Saya tunggu, saya tunggu, saya tunggu, sekarang dan saya akan bagikan untuk rakyat kecil karena masih banyak rakyat yang membutuhkan,” katanya menunggu HGU itu dikembalikan. Ucapan Jokowi ini, ditingkahi teriakan dan tepuk tangan heroik pendukungnya.

Jokowi mungkin tersadar bahwa program Nawa Cita tentang reforma agraria sejauh ini masih mentok dalam janji saja. Tapi dia melupakan bahwa  orang-orang di sekitar dirinya adalah para tuan besar yang juga tuan tanah.

Tepat apa yang dikatakan Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjutak, dalam menanggapi pidato Jokowi itu dengan tantangan. Ia minta orang-orang di sekeliling Jokowi seperti Erick Thohir, Luhut Binsar Panjaitan, Sinar Mas, mengikuti permintaan jokowi tersebut.

Di sisi lain, banyak pihak juga menuntut agar pemerintah segera membuka dokumen HGU perkebunan kelapa sawit kepada publik. Jokowi yang mengaku hanya takut kepada Allah, nyatanya tak berani melakukan itu. Padahal membuka HGU merupakan amanah konstitusi.

Sekadar mengingatkan, dokumen HGU dianggap sebagai informasi publik dimulai dari proses gugatan Forest Watch Indonesia (FWI) di Komite Informasi Publik  (KIP) pada Desember 2015. FWI menggugat kementerian ATR/BPN untuk membuka data HGU di Kalimantan, daerah yang paling banyak terdapat lahan sawit.

Permohonan data HGU itu untuk keperluan riset analisis terjadinya konflik lahan, yang hasilnya hendak direkomendasikan kepada pemerintah. Selanjutnya, majelis komisioner KIP pada Juli 2016 memutuskan dokumen HGU merupakan informasi publik yang masuk dalam kategori informasi tersedia setiap saat. KIP memandang dokumen HGU bukan merupakan data pribadi, karena merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai negara.

Merespons putusan KIP, kementerian lantas mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN membuat putusan pada 14 Desember 2016 yang menguatkan hasil KIP. Selanjutnya di tingkat kasasi, MA pada Maret 2017 mengeluarkan putusan yang juga menolak gugatan kementerian.

Nah, sejak keputusan hakim berkekuatan hukum tetap itu, kementerian belum juga membuka dokumen HGU. Berdasarkan data BPN pada 2010 sebanyak 56% aset nasional (dalam bentuk tanah sebanyak 62-87%) dikuasai hanya oleh 0,2% penduduk Indonesia.

Selain itu, menurut hasil riset Transformasi untuk Keadilan (TuK) dan Profundo, mengungkap pada 2015, sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi. Dari 5,1 juta hektare (51.000 kilometer persegi), sebanyak 3,1 juta ha telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami. Luas perkebunan sawit di Indonesia kala itu baru sekitar 10 juta hektare. Kini luas perkebunan sawit sudah 14 juta ha.

Riset dengan judul "Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia" itu juga menyebut 25 kelompok perusahaan itu dikendalikan 29 taipan yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek, baik di Indonesia dan luar negeri. Ada 11 perusahaan yang terdaftar di bursa efek di Jakarta, lalu 6 di bursa efek Singapura, 3 di Kuala Lumpur, dan satu perusahaan di bursa efek London.

Namun, perusahaan terbuka tersebut tidak sungguh-sungguh dimiliki publik, karena taipan adalah pemegang saham yang dominan, dengan penguasaan 20-80% saham. Kepemilikan saham dilakukan melalui ‘perusahaan cangkang’ di negara-negara ramah pajak.

Penelitian itu juga mendapatkan data bahwa kekayaan total mereka pada 2013 sebesar US$71,5 miliar atau Rp922,3 triliun. Angka konservatif ini diperoleh dari kajian yang dibuat Forbes dan Jakarta Globe. Sebagian besar kekayaan tersebut didapat dari bisnis perkebunan sawit, dan beberapa bisnis lainnya.

Para taipan–yang dalam bahasa Jepang artinya tuan besar–itu antara lain Grup Wilmar (dimiliki Martua Sitorus dkk), Sinar Mas (Eka Tjipta Widjaja), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto), Batu Kawan (Lee Oi Hian asal Malaysia), Salim (Anthoni Salim), Jardine Matheson  (Henry Kaswick, Skotlandia), Genting  (Lim Kok Thay, Malaysia), Sampoerna (Putera Sampoerna), Surya Dumai (Martias dan Ciliandra Fangiono), dan Provident Agro (Edwin Soeryadjaya).

Lalu, Grup Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo (George Tahija), Bakrie  (Aburizal Bakrie), BW Plantation-Rajawali (Peter Sondakh), Darmex Agro (Surya Darmadi), DSN (TP Rachmat dan Benny Subianto), Gozco (Tjandra Gozali), Harita (Lim Hariyanto Sarwono), IOI (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana Agri (Henry Maknawi), Musim Mas (Bachtiar Karim), Sungai Budi (Widarto dan Santosa Winata), Tanjung Lingga (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi, Stefanus Joko, dan Budhi Istanto), dan Triputra (TP Rachmat dan Benny Subianto).

Di antara mereka, kelompok perusahaan yang paling besar memiliki lahan sawit adalah Grup Sinar Mas, Grup Salim, Grup Jardine Matheson, Grup Wilmar, dan Grup Surya Dumai. Riset yang dilakukan TuK Indonesia dan Profundo menemukan bahwa ke-25 kelompok perusahaan ini menguasai 62% lahan sawit di Kalimantan (terluas di Kalimantan Barat, diikuti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur). Kemudian 32% di Sumatera (terluas di Riau diikuti Sumatera Selatan), 4% di Sulawesi, dan 2% di Papua.

Itu HGU untuk perkebunan kelapa sawit saja. Belum lagi untuk HTI dan perkebunan lainnya. Berdasarkan data Kementerian kehutanan, hingga 2013 luas izin HTI yang telah diterbitkan mencaai 13,2 juta ha. Namun, dari jumlah itu yang ditanami baru 5,1 juta ha. Artinya masih ada 8 juta ha lahan yang telantar.

Melihat data tersebut, rasanya aneh program reforma Jokowi hanya sebatas program sertifikasi tanah. Wajar sekiranya Rizal Ramli mengingatkan Jokowi untuk “jangan kerdil”.

Penulis: Miftah H. Yusufpati

Baca juga :