Konsep Al-Quran Menyikapi Perbedaan Dalam Berjamaah


Oleh: Hasmi Bakhtiar
(Alumni Al-Azhar, S2 HI Lille)

Konsep AlQuran menyikapi perbedaan dalam berjamaah.

Jamaah di sini bisa dalam artian negara, partai bahkan rumah tangga. Semua yang di bawahnya ada banyak kepala dan hati bisa disebut jamaah.

Berbeda pandangan dalam berjamaah adalah sunnatullah dan syarat berjamaah itu sendiri. Itu sebabnya dalam jamaah ada yang namanya aturan, dalam negara kita mengenal konstitusi. Kenapa? Karena sejak awal berjamaah manusia telah sadar bahwa perbedaan mutlak akan terjadi.

Banyak yang salah paham bahwa jamaah bisa melekat pada Pimpinan, atau negara adalah Presiden. Sehingga ketika ada yang berbeda pandangan dengan pemimpin dibilang pemberontak, ketika berbeda pandangan dengan presiden dianggap anti NKRI.

Dalam banyak kasus, seringkali narasi yang dimunculkan adalah “kader memberontak pada pimpinan” atau “rakyat memberontak pada negara”. Padahal yang hari ini sering terjadi adalah pemimpin memberontak pada rakyat kemudian berlindung di balik institusi.

Salah satu point kritik Fuqaha’ (ahli Fiqih) hari ini adalah dalam bahasan Fuqaha’ sebelumnya selalu memposisikan hubungan pemerintah dengan rakyat atas bawah. Itu sebabnya dalam kitab-kitab Fiqh selalu kita temukan yang disebut pemberontak adalah rakyat bukan pemimpin.

Contoh kasus perseteruan Fahri Hamzah vs oknum petinggi PKS. Narasi yang dibangun adalah FH memberontak pada partai, padahal yang dilawan FH adalah oknum pimpinan partai. Tapi narasi abad pertengahan ini terus dipakai agar oknum tersebut bisa berlindung di balik nama besar partai.

Kalau kita kaji konsep Alquran menyikapi ini sudah sangat jelas dalam surat Alhujurat ayat 9. Jika dua kelompok dari mukmin berseteru maka damaikanlah mereka. Dalam hal ini yang dimaksud dua kelompok bisa rakyat vs pemimpin bisa kader vs Qiyadah.


AlQuran tidak langsung menuduh salah satu pihak sebagai pemberontak hanya karena tidak mengamini keinginan pihak yang lain. Apalagi sifatnya politis tidak berkaitan dengan syariat. Jadi penggunaan istilah “pemberontak” terhadap FH sungguh keliru. Kenapa?

Dalam ayat tsb Allah melanjutkan: فان بغت احداهما...jika salah satu pihak melanggar maka perangilah yang melanggar. Dalam kitab tafsir kita temukan arti kata “بغت" adalah dzalim atau melewati batas.

Oknum Qiyadah PKS telah menawarkan banyak tawaran pada FH dan terkahir tawaran Islah dari habib Salim. FH menyanggupi tapi akhirnya semua dilanggar oleh MSI cs. Putusan pengadilan juga dilanggar. Jadi dalam terusan ayat tadi jelas pihak yang melewati batas adalah MSI cs.

Makanya gw suka lucu ada yang bilang FH ini pemberontak. Padahal jika konflik ini kita baca dengan konsep AlQuran justru oknum Qiydah PKS yang melewati batas dan harus diperangi (dilawan).

Dan istilah “pemberontak” yang dipakai sejak awal itu ternyata bertentangan dg konsep AlQuran. Ust @hnurwahid boleh bantah kalau ga setuju.

Kalau kita teruskan ayat selanjutnya yaitu ayat ke-10 maka lagi-lagi konsep perbedaan dalam jamaah ini adalah konsep persaudaraan dalam bingkai egaliter. Tapi lagi-lagi PKS menabrak ayat ini. Kader tidak boleh berhubungan dengan FH. Sekedar meminta klarifikasi bisa berujung pemecatan.


AlQuran sudah mawanti-wanti agar tidak menggunakan cara-cara kotor menyikapi perbedaan dalam berjamaah. Allah perjelas dalam ayat 11 agar tidak mencaci maki, juga dalam ayat 12 agar tidak berburuk sangka.


Tapi faktanya? Anak buah MSI yang bilang istri AM agen yahudi bahkan anak buah ust @hnurwahid bilang AM tukang kawin. Sepertinya konsep-konsep yang sudah dijelaskan AlQuran semua mentah di tangan oknum-oknum ini.

Konsep mengelola perbedaan ini Allah matangkan pada ayat 13. Bahwa yang namanya perbedaan adalah sunnatullah dan hanya ketaqwaan yang menjadi pembeda di mata Allah. Terlepas jabatannya Qiyadah atau Jundi.

Dalam konteks Agama, ketaqwaan diukur dari sejauh mana ketaatan terhadap rambu-rambu Allah. PKS menabrak rambu-rambu Allah pada ayat 10, 11, dan 12. Ini dilakukan dengan alasan taat Qiyadah. Ketaatan pada Qiyadah di atas ketaatan pada AlQuran? Wowww

Dalam konteks Negara, ketaqwaan diukur sejauh mana ketaatan pada konstitusi. Lagi-lagi dalam hal ini PKS melanggar dan cenderung melawan. Jadi sekarang siapa yang layak diberi gelar pemberontak? Fa’tabiruuuuu ya Ikhwaaaan. #JumatBerkah

(Lille, 8 Feb 2019)


Baca juga :