Anies Baswedan Nyapres, Jika....


Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

Nama Anies Baswedan semakin populer. Baik karena cara dan pilihan kerja maupun kemampuannya menyampaikan kata-kata. Seiring waktu, rakyat makin suka. Situasinya terasa ketika Anies diperlakukan tidak semestinya. Rakyat bilang “terdzalimi”. Dunia medsos ramai memberi dukungan.

Wajar dan masuk akal jika Istana makin khawatir dan ketakutan. Sebab, Anies berpotensi menjadi ancaman serius bagi Jokowi di tahun 2019. Sejumlah survei telah menominasikan Anies sebagai pesaing terberat Jokowi. Ada yang menulis, Anies adalah kuda hitam.

Status Anies sebagai Gubernur DKI itu "branded". Media darling. Semua media menyorot. Ini faktor suplai popularitas yang tak bisa dihalangi. Siapapun gubernur DKI, ia pasti populer.

Popularitas adalah pintu bagi seseorang untuk mengenalkan diri pada publik. Lalu, disukai atau tidak, bergantung performance.

Anies memiliki performance yang cukup menarik. Pertama, smart. Baik dalam konsep maupun kerja. Ok Oce, DP 0% dan kampung Aquarium adalah contoh dimana Anies, dibantu Sandi, mampu menyajikan sesuatu yang berbeda dalam menata kota Jakarta. “Out of The Box”. Apalagi ketika Anies, dan juga Sandi, menegaskan posisinya membela rakyat kecil. Penghentian reklamasi, memberi lahan buat pedagang kaki lima Tanah Abang, dan membela abang becak, adalah bagian dari keberpihakan yang nyata dan terasa. Soal kerja, 23 janji politiknya terukur dan hampir tuntas dalam waktu kurang dari enam bulan. Hal yang layak jadi referensi untuk mengukur tingkat keberhasilan kepala daerah, bahkan presiden dan anggota DPR. Kedua, pola komunikasi sosial Anies menarik. Cara bicaranya tertata, jelas dan tegas, tapi santun. Tidak ada kesan arogansi dan defensif. Ketiga, tingkat emosional (kesabaran) Anies cukup matang.

Berbagai tragedi politik, mulai dari pencopotan Anies sebagai menteri, proses pencalonannya di Pilgub DKI, acara pelantikan dan pidato perdananya, kasus reklamasi sampai tragedi GBK, Anies menghadapi perlakuan yang tidak semestinya. Kesabaran Anies menghadapi tekanan itu justru menjaring empati dan mendapatkan respon positif publik. Soal ini, Anies memang layak diapresiasi.

Belum lagi soal kalkulasi elektabilitas. Di pilgub DKI 2012 Jokowi-Ahok dapat suara 53,82%. Pilgub 2017 Anies-Sandi memperoleh suara 57,96%. Anies-Sandi lebih unggul dibanding Jokowi-Ahok. Kendati tidak matematis, beda waktu dan lawan, ini layak menjadi pertimbangan jika takdir mempertemukan Anies dan Jokowi bertarung di pilpres 2019 nanti.

Fakta bahwa Jokowi nyapres ketika masih menjabat sebagai gubernur DKI dianggap telah membuka jalur baru pemprov DKI ke istana. Hal ini memberi peluang Anies. Sebagai gubernur DKI saat ini, banyak pihak mendesak Anies nyapres. Apalagi, Anies punya latar belakang yang jauh lebih baik dari sisi kwalitas. Pendidikan S3 (doktor), mantan rektor dan pernah menjabat sebagai menteri. Background pendiri “Indonesia Mengajar” ini lebih menjual jika dibandingkan dengan Jokowi. Disamping kesan “terdzalimi” yang memperbesar peluang Anies untuk menjadi presiden menggantikan Jokowi. Hal yang sama pernah terjadi pada SBY.

Jelas ada kekhawatiran. Karenanya, Anies mesti dihentikan. Begitulah kira-kira logikanya. Oleh siapa? Publik pasti paham. Ada tangan-tangan profesional yang bekerja untuk ini. Tidak fair? Dalam politik, berbagai strategi seolah menjadi sah dan halal. Yang penting adalah kemenangan!

Upaya menghentikan langkah Anies nyalon presiden tercium media. Lalu, media mulai membeberkan. Kali ini oleh majalah Tempo. Di edisi 25 Maret 2018 halaman 30, Tempo buat berita mengejutkan. Tergolong sangat berani untuk ukuran media yang hidup di zaman sekarang. Tulis tempo: ada “tim khusus” yang bertugas memastikan Anies tidak maju di pilpres 2019.

Sebelumnya, juga santer kabar bahwa ada dua petinggi negara datang ke seorang pengusaha pribumi. Pesannya sama: minta agar tidak mendorong Anies nyapres. Dua berita ini memberi kesimpulan; Anies yang paling diperhitungkan.

Berita Tempo seolah mengingatkan publik atas sejumlah tragedi yang pernah menimpa Anies sebelumnya. Saat nyalon gubernur, istana dianggap sangat transparan mendukung lawannya. Terakhir adalah tragedi GBK. Anies dihadang paspampres saat mau menemani tim persija menerima piala. Nama Anies pun dicoret panitia menjelang penyerahan piala.

Kabarnya, banyak cerita model ini yang tidak diketahui publik. Ada pihak-pihak yang secara sistematis berupaya membonsai Anies agar tak muncul ke publik. Dengan begitu, Anies tak punya kesempatan “ngebrand” sehingga tidak berpeluang nyapres.

Ketika ditanya soal nyapres 2019, Anies menjawab: “itu fardhu kifayah”. Sebuah jawaban deplomatis. Apa maksudnya? Anies nyalon kalau bangsa ini membutuhkannya.

Tafsirnya kira-kira begini, Anies nyalon jika pertama, Prabowo tidak nyalon. Kenapa harus bergantung kepada Prabowo? Ini soal moral yang paling mendasar. Anies dicalonkan menjadi gubernur oleh Gerindra dan PKS. Alasan Anies bisa dimengerti jika ia menghormati prabowo dan sekutunya PKS. Tak menguntungkan jika ia melangkahi, apalagi menghianati. Ini menyangkut soal etika dan karir politik Anies. Jika Anies bisa konsisten soal ini, publik akan mengapresiasi masa depannya. Ini sekaligus akan membedakan Anies dengan Jokowi, Ahok dan Ridwan Kamil yang memilih berpisah dari Prabowo.

Kedua, ada partai yang mengusung. Minimal Gerindra-PKS sebagai koalisi oposisi. Tak strategis (juga tak elok) berseberangan dengan kapal yang membesarkannya. Loyalitas akan jadi catatan sejarah (track record) buat setiap pemimpin, termasuk Anies.

Ketiga, rakyat menghendaki. Ukurannya? Trend elektabilitas. Nampaknya Anies punya kans besar di sisi ini. Diantara nominator capres-cawapres 2019, hanya Jokowi dan Anies yang punya peluang lebih besar untuk “branding”.

Elektabilitas Anies merangkak naik. Nomor tiga setelah Jokowi dan Prabowo. Lalu, apakah Prabowo legowo untuk menyerahkan estafet pencapresan kepada Anies? Jika potensi Anies untuk menang atas Jokowi besar, Gerindra-PKS pun akan bersikap realistis. Begitu juga partai yang lain. Sebab, elektabilitas itu godaan yang paling realistis.

Bagaimana jika Anies dilamar Jokowi jadi wakil? Jika naiknya Anies tak terbendung, tak ada yang mustahil. Pertama, apakah Anies mau? Kedua, apakah Prabowo-PKS mengijinkan? Melihat rangkaian fakta dan berbagai pernyataan Anies, juga Gerindra-PKS, sulit membayangkan kemungkinan Anies bersedia. Beda dengan Gatot Nurmantyo dan Muhaimin Iskandar misalnya. Komunikasi dan konstalasi dengan istana dalam formulasi capres-cawapres memiliki sejarahnya sendiri. Anies tidak. Malah sebaliknya.

Sejak dicopot dari jabatan menteri, Anies dipahami publik sebagai ancaman buat istana. Ketika gagal dihentikan di pilgub, nama Anies justru makin berkibar. Inilah yang menjadi faktor utama mengapa istana makin gusar.***

Sumber: Kanigoro

Baca juga :