[ANALISA] Benarkah Elektabilitas Jokowi Masih Aman? Masih Percaya Survei SMRC-Kompas?


Benarkah Elektabilitas Jokowi Masih Aman?

Oleh Hersubeno Arief
(Konsultan Media dan Politik)

“Elektabilitas Presiden Jokowi dan PDIP tidak terpengaruh Pilkada DKI”. Judul berita sebuah media massa tersebut mengutip hasil pemaparan jajak pendapat terbaru yang digelar oleh SMRC (9/6/2017).

Jajak pendapat yang dilakukan oleh SMRC ini melengkapi survei sebelumnya yang digelar oleh harian Kompas. Tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi tetap tinggi dan elektabilitasnya belum tersaingi.

Pesan yang ingin disampaikan kepada publik dan tentu saja kepada Presiden Jokowi adalah: Semuanya baik-baik saja. Pemerintahan Jokowi dan PDIP sebagai partai pendukung utama telah berjalan sesuai dengan jalur yang benar. On the right track.

Bagi pemerintah dan penguasa, jajak pendapat semacam ini membuat nyaman, pede (percaya diri). Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Berbagai hiruk pikuk politik yang menyertai Pilkada DKI ternyata hanyalah sebuah riak. Kagak ngaruh.

Demo besar-besaran dari berbagai kalangan, protes atas berbagai penangkapan, kekalahan di Pilkada DKI dan beberapa daerah penting lainnya, tidak signifikan.

Semua itu hanya gelembung busa yang nampaknya besar di permukaan, tapi kosong melompong di dalamnya. Lagi pula siapa yang takut dengan gelembung busa? Itu kan mainan yang menyenangkan bagi anak-anak.

Karena itu semua program masih bisa diteruskan. Semua kebijakan pemerintah, termasuk dalam bidang sosial, budaya, politik, eknomi, keamanan, dan pembangunan berbagai proyek-proyek mercusuar masih bisa terus berlanjut. Tidak perlu ada perubahan. Tidak perlu ada revisi. Itu bila pesan di balik kedua survei tersebut dibaca secara leterlijk, linier, tanpa catatan kritis apapun.

Sikap semacam itu biasanya banyak menghinggapi para penguasa. Tidak perlu kaget. Tabiat para penguasa dimanapun hampir sama. Mereka hanya senang mendengar suara-suara yang menyenangkan, melenakan, namun abai bahkan cenderung sensitif, over reaktif ketika mendengar suara kritis.

Filosofi kekuasaan itu seperti orang yang berdiri pada sebuah ketinggian. Orang bisa mengalami disorientasi. Dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai kekacauan kiblat; kesamaran arah dan pandangan. Padanannya dalam bahasa Jawa adalah singunen. Cukup pendek, cekak aos.

Bagi yang tidak percaya, silakan berdiri pada sebuah gedung yang sangat tinggi. Lalu melongoklah ke bawah. Sudah bisa merasakan apa yang terjadi?

Semakin tinggi tempat kita berdiri, akan semakin besar pengaruh dis-orientasi. Begitu pula dengan jabatan. Semakin tinggi jabatan, semakin banyak kepentingan, Anda akan semakin mengalami dis-orientasi. Susah membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Orang bijak menyarankan, berhati-hatilah dengan sebuah riak. Ketika jutaan riak berkumpul, maka dia akan menjadi gelombang. Berhati-hatilah dengan kerikil. Karena orang sering tersandung kerikil, bukan batu besar. Berhati-hatilah dengan angin survei yang berhembus semilir, dia bisa melenakan.

Coba perhatikan seekor monyet yang menggelayut di sebuah dahan pada pohon yang tinggi. Ketika angin bertiup kencang, dia akan memeluk erat-erat dahan atau pokok pohon tempat dia bergelayut. Namun ketika angin semilir menerpanya, dia terlena, terkantuk-kantuk dan ketika tersadar, sudah terjatuh dari pohon tinggi.

Lantas apa urusannya dengan jajak pendapat SMRC dan Kompas? Jajak pendapat model begini selain sangat menggembirakan, tapi juga bisa melenakan. Pilkada DKI 2017 dan Pilpres Amerika Serikat 2016 bisa menjadi pelajaran sangat berharga.

Survei SMRC dan Kompas di Pilkada DKI

Masih ingat dengan jajak pendapat SMRC pada putaran kedua Pilkada DKI?


Hasil jajak pendapat yang dirilis hanya enam hari menjelang Pilkada menyebutkan bahwa selisih suara pasangan Ahok-Djarot 46.9 persen, hanya kalah 1 persen dari Anies-Sandi yang memperoleh 47.9 persen.

Dengan memperhitungkan margin error 4.7 persen, maka suara Ahok-Djarot bisa melampaui Anies-Sandi. Apalagi temuan SMRC di lapangan suara Ahok-Djarot terus meningkat, sementara Anies-Sandi mengalami penurunan.

Logika dan pesan yang ingin dibangun bahwa Ahok-Djarot akan memenangkan Pilkada.

Biasanya bila sudah mendekati hari H, kandidat yang suaranya meningkat, maka lajunya juga akan terus meningkat. Sebaliknya yang sudah menurun, sulit untuk menahannya, kecuali mendapat momentum. Dan itu sangat jarang bisa didapatkan.

Hasilnya ternyata sangat jauh berbeda. Anies-Sandi mendapat 57.96 persen, sementara Ahok hanya memperoleh 42.04 persen. Ada selisih suara 15.92 persen. Sebuah prediksi yang meleset sangat jauh. Kalau toh mau disebut masih dalam rentang margin error, maka ini adalah margin error banget.!

Memang bukan hanya SMRC yang salah membaca. Lembaga survei lain kebanyakan juga tidak memperkirakan perolehan suara Ahok-Djarot dengan Anies-Sandi berada dalam rentang margin error banget. Namun hampir semua sudah memperkirakan Ahok-Djarot bakal kalah.

Jadi kalau toh salah, kesalahannya hanya “sedikit” dan masih bisa dimaklumi. Namanya juga prediksi.

Namun dosa SMRC yang cukup berat itu menjadi tidak terlalu berat bila dibandingkan dengan lembaga survei lain yang membuat kesalahan lebih parah. Masih ingat dengan Charta Politika yang digawangi pengamat politik Yunarto Wijaya?

Empat hari sebelum hari H Charta memprediksi Ahok-Djarot akan memenangkan Pilkada dengan perolehan suara 47.3 persen mengalahkan Anies-Sandi 44.8 persen.

Coba perhatikan hari ketika kedua lembaga survei tersebut mempublikasikan jajak pendapatnya. Enam hari menjelang Pilkada SMRC melansir selisih suara hanya 1 persen. Trend suara Ahok-Djarot terus meningkat, Anies-Sandi menurun. Jadi wajar bila dua hari kemudian Charta melansir suara Ahok-Djarot sudah melampaui suara Anies-Sandi.

Sebuah logika elektabilitas yang masuk akal. Seperti sebuah orchestra, hasil survei tersebut seakan sudah ditulis dalam sebuah partitur indah yang merdu di telinga. Di mulai dengan nada dasar rendah, kemudian terus meninggi. Charta tinggal memukul GONG. Sempurna!

Bagaimana dengan Kompas? Litbang Kompas adalah salah satu lembaga survei yang selama ini kredibilitasnya cukup terjaga. Publikasi jajak pendapatnya selalu dinanti dan menjadi rujukan.

Pada putaran pertama Kompas dengan tepat memprediksi Ahok-Djarot akan memimpin perolehan suara 36.2 persen, diikuti Anies-Sandi 28.5 persen. Sementara Agus-Silvy tersingkir dengan perolehan suara 28.2 persen. Padahal pada beberapa jajak pendapat sebelumnya elektabilitas Agus-Silvy selalu paling tinggi.

Masalahnya pada putaran kedua, Kompas membuat banyak kalangan bertanya-tanya. Pada momen yang sangat penting tersebut Kompas sama sekali tidak membuat publikasi hasil jajak pendapat mereka. Ini sebuah misteri. Sungguh aneh tapi nyata.

Tidak mungkin harian sekaliber Kompas melewatkan momen putaran kedua Pilkada DKI yang sangat dinanti-nanti. Sumber internal menyebut, Litbang Kompas membuat jajak pendapat, tapi hasilnya “tidak menggembirakan.” Jadilah urung dipublikasikan.

Kompas tidak sedang berdusta. Mereka hanya sedang “malas” saja menyajikan fakta. Tidak mood, lagi ilfil. Namanya juga sedang malas, tentu kita tidak bisa mempersoalkannya. Suka-suka dia.

Keanehan Kompas tidak hanya berhenti disitu. Melewatkan jajak pendapat, Kompas justru membuat polling saat debat kandidat. Kali ini mood Kompas sedang baik. Hasilnya menunjukkan, dari skala 1 hingga 10, Ahok-Djarot mendapat 7,72 terkait penguasaan masalah, sedangkan Anies-Sandi mendapat 6,90.

Kemudian terkait program kerja, Ahok-Djarot mendapat 8,04 dan Anies-Sandi mendapat 6,71. Dari segi cara berkomunikasi, Ahok-Djarot mendapat 7,63 dan Anies-Sandi 7,26.

Secara umum, Ahok-Djarot unggul dengan mendapat poin 8,13 dan Anies-Sandi mendapat 7,27. Artinya kalau hasil polling tersebut dijadikan patokan, Ahok-Djarot akan memenangkan pilkada. Menarik bukan?

Dibandingkan dengan polling, jajak pendapat akurasi dan kredibilitasnya sangat jauh berbeda. Mengabaikan jajak pendapat dan lebih mengutamakan polling merupakan sebuah keajaiban yang nyata.

Namun begitulah tabiat dunia. Dengan berbagai keajaiban, bukankah dunia menjadi jauh lebih menarik?

Nah sekarang Kompas dan SMRC membuat sebuah jajak pendapat yang hasilnya masih mengunggulkan elektabilitas Presiden Jokowi. Tingkat kepuasan publik cukup tinggi. Belajar dari Pilkada DKI, diunggulkan dalam jajak pendapat tidak berarti juga akan unggul dalam kontestasi nyata.

Tingkat kepuasan publik juga tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat keterpilihan.
Dibandingkan Jokowi, tingkat kepuasan publik atas kinerja Ahok juga masih lebih tinggi.

Ngomong-ngomong, kesalahan prediksi dalam jajak pendapat ternyata bukan hanya monopoli lembaga survei di Indonesia. Dalam Pilpres AS 2016, puluhan lembaga survei juga salah memprediksi dengan menyatakan Hillary Clinton akan mengalahkan Donald Trump. Hasilnya ternyata malah sebaliknya.

Masalahnya yang terjadi di pilpres AS justru kebalikan dari yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta. Dari dua puluh lembaga survei, hanya satu yang dengan tepat memprediksi Trump akan memenangkan Pilpres. Sementara di Jakarta dari beberapa lembaga survei hanya Charta Politika yang menyatakan Ahok-Djarot memenangkan Pilkada. Hasilnya?


*Sumber: TS


Baca juga :