Mengedit al-Qur’an
Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Sering sekali ketika membaca al-Qur’an atau kitab Ulumul Qur’an, saya terngiang ucapan seorang dosen alumni Barat yang salah satu jualannya adalah kritik terhadap al-Qur’an. Dia pernah berkata bahwa al-Qur’an yang ada sekarang diedit atau direvisi di Mesir tahun 1918 dan 1924. Wow, al-Qur’an diedit.
Banyak pembaca awam dan non-muslim yang terperangah dengan "fakta" ini dan ikutan latah menyebarkan jualan sang dosen bahwa al-Qur’an yang kita pakai sekarang ternyata adalah hasil editan abad ke-20, dan sebagian pembaca lain meresponnya dengan komentar yang terlalu emosional.
Sebenarnya, yang bermasalah hanyalah penggunaan kata "edit" dan "revisi" yang terkesan terlalu bombastis. Seolah-olah kesannya konten al-Qur’an sendiri awalnya masih kacau dan tidak standar lalu diedit di masa belakangan. Padahal yang terjadi hanya soal penyeragaman tanda baca dan penomoran, bukan soal isi al-Qur’annya sebagai firman Allah yang dijamin selalu terjaga (QS 15: 9).
Kata editing mencakup seluruh perubahan kecil meskipun bukan perubahan yang substantif. Ketika foto yang anda ambil sedikit dicerahkan cahayanya atau dipotong sudutnya, maka itu sudah disebut diedit, tetapi gambar tersebut tetap gambar asli. Demikian juga ketika status yang anda posting di facebook anda ubah lagi dengan memberi tambahan koma atau titik dua, maka facebook akan mencatatnya sebagai editing, meskipun substansinya tetap sama.
Kasusnya sama dengan al-Qur’an, ia mengalami editing berkali-kali sepanjang sejarah, bahkan hingga kini saat anda membaca tulisan ini. Awalnya ia tidak bertitik dan tidak berharakat sehingga huruf ba', ta', tsa' dan ya' terlihat sama. Kemudian diedit dengan tambahan titik untuk membedakan masing-masing huruf dan diberi harakat.
Bentuk harakat pun awalnya berbeda-beda, semisal fathah awalnya ditulis sebagai alif kecil yang tegak lalu berubah ditulis sebagai alif kecil yang miring seperti sekarang, dan begitu juga bentuk harakat lainnya.
Demikian juga soal tanda waqaf dan mad, penulisan dan bentuk simbolnya juga bagian dari editing yang tidak langsung semua seragam.
Penomoran halaman dan pembagian halaman juz juga mengalami editing sehingga kita lihat dalam kebanyakan mushaf sekarang semua sama bahwa setiap juz ditulis dalam 10 lembar keculi juz akhir dan awalan juz selalu di awal halaman.
Sebagian mushaf modern juga diedit lebih kreatif lagi dengan diberi warna-warni untuk membedakan tajwidnya. Ada juga yang diberi garis-garis pembatas dan nomer baru untuk keperluan hafalan. Ada juga yang dicetak dengan huruf braille.
Sebagian kecil mushaf yang beredar di dunia saat ini dicetak dengan harakat sesuai qira'ah imam tertentu yang berbeda dengan standar imam Hafsh yang beredar luas.
Beberapa kasus perbedaan harakat itu mencuat di medsos beberapa tahun lalu dan tersebar dengan narasi al-Qur’an palsu atau al-Qur’an salah cetak, padahal itu benar tetapi memang dicetak sesuai riwayat Imam tertentu.
Itu semua adalah bentuk "editing" terhadap al-Qur’an, lebih tepatnya terhadap mushaf al-Qur’an, dan lebih akuratnya lagi terhadap penulisan tanda baca dan tanda bantu dalam mushaf.
Sama sekali bukan bentuk perubahan terhadap substansi al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’annya sendiri tetap asli dan sama sekali tidak mengalami secuil pun perubahan sejak masa Nabi Muhammad hingga kini sampai kiamat.
Jadi, itulah yang dimaksud "editing al-Qur’an" atau mengedit al-Qur’an. Tidak perlu dibesar-besarkan atau disangka seolah ada konspirasi di dalamnya. Semoga bermanfaat.