"Dia bersemayam di atas Arasy"
Dia bersemayam sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya; bukan seperti bersemayamnya para raja di atas singgasana mereka, sebab Zat Allah Ta'ala tidak seperti zat para makhluk, demikian pula sifatnya tidak sama dengan sifat makhluk-Nya.
Kita tentu tidak tahu menahu sifat Arasy itu, sehingga kita juga tidak tahu kaifiat (bagaimana) Dia bersemayam di atasnya atau kaifiat Dia turun darinya. Sebab itu, tidak ada jalan bagi kita kecuali menetapkan bahwa Allah bersemayam dan juga turun dari Arasy, sembari kita tidak menentukan kaifiat keduanya.
Kita hanya menyatakan; bahwa bersemayamnya Allah dan turun-Nya tidaklah sama dengan bersemayamnya makhluk dan turunnya, karena "Dia tidak ada yang serupa dengan-Nya". Tetapi, bersemayam dan turun-Nya tersebut sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
Juga kita tidak boleh menakwilkan "bersemayam di atas Arasy" dengan makna "istila' (menguasai atau berkuasa)" sebagaimana yang diyakini banyak ulama khalaf (belakangan), karena Dia (sejak awal) tidak hanya menguasai Arasy saja, tapi juga seluruh makhluk.
(Disadur dari: Tafsir Abdul Hamid bin Ahmad Khatib Minangkabau)