IBU NEGARA YANG SANGAT SEDERHANA

IBU NEGARA YANG SANGAT SEDERHANA

Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq 

1. Fatimah binti Abdul Malik rahimahallah adalah salah satu dari deretan muslimah yang namanya paling bersinar di pentas sejarah. Ia nyaris menjadi sosok yang sempurna, berparas cantik, shalihah, cerdas dan berkedudukan mulia lagi terpandang. 

Bagaimana tidak? Ayah dan kakeknya adalah khalifah. Saudara-saudara laki-lakinya juga menjadi khalifah. Dan dia kemudian ia bersuamikan seorang laki-laki yang shalih, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah.

Seorang khalifah terbaik dari dinasti Umayyah atau bahkan juga dari seluruh dinasti kekhalifahan Islam, yang disepakati oleh mayoritas ulama sebagai mujaddid atau pembaharu Islam di abad pertama hijriyah.

Dikatakan dalam bait-bait sya’ir:

‌بنت ‌الخليفة ‌والخليفة ‌جدها … أخت الخلائف والخليفة زوجها

“Dia anaknya Khalifah, kakeknya juga seorang khalifah. Dia saudarinya para khalifah dan khalifah juga yang menjadi suaminya.”[1]

Zubeir bin Bakar berkata :

لا يعرف امرأة تستحق هذا البيت غيرها، وكان لها ثلاثة عشر محرما كلهم خليفة

 “Tidak diketahui adanya seorang wanita yang memiliki kedudukan mapan seperti dia.  Dia punya 13 mahram (keluarg dekat) semuanya menjadi khalifah.”[2]

2. Fatimah meskipun hidup di lingkungan istana yang bergelimang dengan harta dan fasilitas, namun itu tidak menghalanginya untuk tekun belajar.  Ia terdidik dengan baik dalam masalah agama dan juga keilmuan lainnya. 

Setelah menjadi ibu negara kekhalifan Islam, penampilannya justru berubah drastis. Fatimah menanggalkan semua fasilitas dan perhiasan serta harta yang ia miliki. Sehingga sebagian ahli sejarah mengungkapkan tentang dirinya :

كانت من أحسن النساء إنه رد جهازها وما كان من أموالها إلى بيت المال، وقد كان دخله في كل سنة قبل أن يلي الخلافة أربعين ألف دينار، فترك ذلك كله

“Dia termasuk dari wanita terbaik. Dia menanggalkan semua perhiasan miliknya dan juga semua hartanya ke baitul mal. Dahulu sebelum suaminya menjadi khalifah, penghasilannya (sebagai putri khalifah) setiap tahunnya sekitar 40.000 dinar (sekitar 160 M), yang kemudian dia tinggalkan / tidak mau menerimanya.”[3]

3. Ayahnya Khalifah Abdul Malik bin Marwan sangat mencintainya. Ketika Fatimah telah tumbuh dewasa, ia selalu memikirkan suami untuk putri tercintanya tersebut. 

Dan diantara yang dipandang oleh Abdul Malik cocok untuk putrinya adalah Umar, putra saudaranya Abdul Aziz bin Marwan. Karena umar dikenal sebagai pemuda yang shalih, berilmu, berani dan memiliki akhlaq yang mulia lainnya.

4. Suatu hari Abdul Malik pernah berkata di hadapan orang-orang yang disitu ada Umar bin Abdul Aziz :

 يعجبني قول الحسن البصري لما جاءه مَنْ يسأله: إن لي بنية؛ فمن ترى أن أزوجها؟! قال الحسن: زوجها ممن يتقي الله، فإن أحبها أكرمها، وإن أبغضها لم يُهنها

 “Aku kagum dengan jawaban imam Hasan al Bashri ketika ada yang bertanya kepadanya : ‘Aku punya anak gadis, menurut pendapatmu kepada siapa aku nikahkan dia ?’ 

Maka imam Hasan menjawab : ‘Nikahkah dia dengan orang yang bertaqwa kepada Allah. Karena kalau suami seperti itu mencintai istrinya, dia akan memuliakannya. Dan kalau dia tidak mencintainya, ia tidak akan merendahkannya.”[4]

Abdul Malik kemudian memandang kepada Umar bin Abdul Aziz. Mendapatkan tatapan dari sang khalifah, Umar jadi salah tingkah, ia menunduk. Lalu Abdul Malik berkata : “ Wahai anak saudaraku, amirul mukminin menikahkan putrinya dengan engkau.”

Mendengar itu Umar bin Abdul Aziz menjawab :

‌وصلك ‌الله ‌يا ‌أمير ‌المؤمنين فقد كفيت المسألة وأجزلت العطية

“Semoga Allah senantiasa menyambungkan dirimu (dengan kebaikan) wahai Amirul Mukminin. Permintaan telah engkau penuhi dan engkau memberi sesuatu yang sangat besar.”[5]

5. Saat suaminya, Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah, ia dipanggil dan Umar meminta agar dirinya menyerahkan semua harta dan perhiasannya. Umar berkata :

قد علمت حَال هَذَا الْجَوْهَر لحليها وَمَا صنع فِيهِ أَبوك وَمن أَيْن أَصَابَهُ فَهَل لَك أَن أجعله فِي تَابُوت ثمَّ أطبع عَلَيْهِ وأجعله فِي أقْصَى بَيت ‌مَال ‌الْمُسلمين وَأنْفق مَا دونه فَإِن خلصت إِلَيْهِ أنفقته وَأَن مت قبل ذَلِك فلعمري ليردنه إِلَيْك

 “Engkau telah mengetahui tentang semua asal muasal perhiasan-perhiasan ini dan apa yang telah dilakukan oleh bapakmu. Tidakkah engkau mau memasukkan semuanya ke sebuah peti dan mengemasnya lalu engkau serahkan ke baitul mal kaum muslimin untuk dimanfaatkan ?

 Aku akan membelanjakannya untuk kebutuhan umat dan jika ternyata aku mati sebelum menghabiskannya, maka harta itu boleh engkau ambil sisanya.”

Fatimah pun menjawab perkataan suaminya tersebut dengan mengatakan :

افعل ما شئت يا أمير المؤمنين

“Silahkan lakukan apapun untuk hartaku wahai amirul Mukminin.”[6]

6. Ia pernah melihat suaminya menangis sesenggukan dan wajahnya dilelehi oleh air mata, Fatimah pun bertanya : “Mengapa engkau menangis sedemikian dahsyat wahai suamiku ?”

Sayidina Umar bin Abdul Aziz rahimahullah menjawab :

إني قد وليت من أمر هذه الأمة ما وليت، فتفكرت في الفقير الجائع، والمريض الضائع، والعاري المجهود، واليتيم المكسور، والأرملة الوحيدة، والمظلوم المقهور، والغريب، والأسير، والشيخ الكبير، وذي العيال الكثير والمال القليل، وأشباههم في أقطار الأرض وأطراف البلاد، فعلمت أن ربي عز وجل سيسألني عنهم يوم القيامة، وأن خصمي دونهم محمد صلى الله عليه وسلم، فخشيت أن لا يثبت لي حجة عند خصومته، فرحمت نفسي فبكيت

 "Aku telah dijadikan penanggung jawab atas seluruh urusan umat ini. Aku merenungkan tentang keadaan orang yang sedang terasing dan nasib kaum miskin yang sedang kelaparan, telanjang dan sengsara.

Juga orang-orang yang sedang tertindas dan mengalami cobaan berat, kaum tak dikenal dalam penjara, orang-orang tua renta, orang yang punya keluarga besar tetapi penghasilannya sedikit, serta orang-orang dalam keadaan yang semisal di pelosok negeri yang terpencil.

Aku sangat tahu bahwa Tuhanku kelak akan meminta tanggung jawabanku tentang mereka pada Hari Kebangkitan dan aku sangat takut bahwa pembelaan diri yang bagaimanapun tidak akan berguna saat itu. Ketika aku memikirkan semua itu aku pun menangis."[7]

Mendengar itu Fatimah menjawab :

لك الله يا ابن العم، هون عليك، فداك أبي وأمي، لكأنك تحسب أن الله ما خلق النار إلا من أجلك

 “Allah akan menjagamu wahai anak pamanku. Tetaplah tenangkan dirimu, ayah dan ibuku sebagai tebusan untuk dirimu. Sungguh engkau bersikap seolah-olah neraka itu tidaklah diciptakan kecuali khusus untuk dirimu.”

7. Setelah kewafatan suaminya, datanglah menemui dirinya penjaga baitul Mal lalu berkata kepada Fatimah :

إن مجوهراتك يا سيدتي لا تزال كما هي، وإني اعتبرتها أمانة لك، وحفظتها لذلك اليوم، وقد جئت أستأذنك في إحضارها

“Wahai tuan putri, sesungguhnya semua harta perhiasan anda masih ada seperti sedia kala. Aku menilainya saat menyimpan harta-harta itu dalam rangka hanya menjaga titipan anda. Dan Aku meminta izin untuk mengembalikan itu kepada anda sekarang.”

Mendengar ini Fatimah menjelaskan kalau ia dahulu ketika menyerahkan seluruh harta perhiasan itu kepada suaminya, amirul mukmin Umar bin Abdul Aziz adalah sebagai hibah ke baitul mal, bukan titipan. Seraya menjawab tegas saat petugas baitul mal masih bersikeras untuk mengembalikannya :

وما كنت لأطيعه حيُّا، وأعصيه ميتًا

“Aku tidak mungkin mentaatinya saat ia masih hidup, kemudian mendurhakainya saat ia telah wafat.”[8]

Semoga Allah merahmati Fatimah binti Abdul Malik, dan semoga lekas lahir generasi hebat sepertinya di tengah-tengah umat....

 __
[1] Tarikh ad Damasyqi (45/137)
[2] Mar’atuzzaman (10/134)
[3] Al Mausu’ah Darar al Muntaqah (11/278)
[4] Thaba’i an Nisa’ hal. 70
[5] Mukhtashar Tarikh Damsyiq (20/360)
[6] Sirah Umar bin Abdul Aziz hal. 58
[7] Bidayah wa Nihayah (12/627)
[8] ‘Audah al Hijab (2/538)
Baca juga :