Mohammad Natsir: Menteri Tidak Punya Uang, Tidak Punya Rumah, Beras Dikirim Buya Hamka

Mohammad Natsir: Menteri Tidak Punya Uang, Tidak Punya Rumah, Beras Dikirim Buya Hamka

Oleh: Pizaro Gozali Idrus

Jika para pejabat tinggi di negeri ini kini terus disoroti karena pamer kemewahan (flexing) dari harta yang dimiliki. Para petinggi RI zaman dahulu justru banyak dikenang lewat kesederhanaannya.

Meski memiliki posisi tinggi sebagai elite negeri, para pendiri bangsa hidup sangat sederhana jika tak mau dibilang miskin. Bahkan banyak di antara mereka tidak punya uang. Untuk makan pun, harus dipasok beras oleh koleganya. Tidak ada pemandangan para bapak bangsa itu memakan uang haram. Hidup bergelimang harta lewat deretan jabatan komisaris.

Para bapak bangsa itu bahkan rela hidup miskin ketimbang memakan uang yang bukan haknya. Mereka menghindari gaya hidup perlente karena sadar jabatan adalah amanah.

Salah satu sosok pendiri bangsa yang patut diteladani adalah Mantan Perdana Menteri RI Mohammad Natsir. Amien Rais punya pengalaman sendiri soal ini.

Lewat tulisannya Natsir, Menteri Tak Punya Uang, Tak Punya Rumah (1993), Amien Rais bercerita suatu ketika seorang tokoh umat di Banjarmasin bernama Muis, yang juga sahabat Natsir kehabisan bekal di Jakarta ketika akan pulang ke Banjarmasin.

Merasa sebagai sahabat, ia mencoba meminjam uang dari Natsir yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Apa jawaban Natsir?

“Kalau mau pinjam uang pribadi kebetulan saya tak punya. Tetapi saudara bisa pinjam uang dari majalah yang saya pimpin. Nanti pinjaman itu diperhitungkan..,” tulis Amien Rais seperti diucapkan Natsir.

Waktu mendengar cerita itu, Amien tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin negara, seorang Perdana Menteri, suatu jabatan negara yang demikian tinggi, sampai tidak mempunyai uang.

Amien juga mengatakan saat dikeluarkan dari tahanan Orde Lama, Natsir dihadapkan pada masalah mencari rumah. Tampaknya saat menjadi Perdana Menteri dan Menteri Penerangan, Natsir tidak sempat memikirkan rumah.

“Barangkali, hal seperti itu merupakan sesuatu yang aneh menurut sementara orang. Tetapi itulah tokoh Natsir yang agaknya merupakan manusia langka,” tulis Amien.

Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Sumatra Barat tahun 1908 ini tidak pernah berubah, baik sifat maupun penampilan. Bahkan saat menjadi Menteri Penerangan RI, petinggi Partai Masyumi itu memakai jas bertambal.

“Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan dia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Guru Besar Universitas Cornell, George McTurnan Kahin dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan (1978).

Informasi mengenai kesederhanaan Natsir juga diutarakan oleh cucu Buya Hamka, Minong Arifin.

Ia mengenang pengalaman ibundanya, Azizah Hamka, menemui Natsir atas perintah Buya Hamka. Azizah Hamka datang ke rumah Natsir untuk membawa beras karena pemimpin Masyumi itu hidup miskin dan tidak punya uang

“Saat itu Pak Natsir tidak memiliki beras di rumahnya. Bu Azizah datang untuk memberikannya,” ucap Minong kepada penulis pada Kamis 23 Maret 2023.

Menurut Minong, Buya Hamka selalu teringat Natsir jika memiliki beras berlebih di rumahnya.

“Nambo kalau dapet beras, dia selalu ingat ke Pak Natsir karena suka berlebih di rumah. Dia ambil secukupnya, sisanya dibagi-bagi ke saudara-saudara, padahal anaknya banyak,” tambah Minong.

Dari penjara masih membantu keluarga miskin

Namun meski hidup kekurangan, Natsir tidak pernah melupakan orang lain. Meski raganya di penjara, Natsir adalah orang yang sibuk memikirkan nasib umat, bangsa, dan kawan-kawannya.

Hal itu sebagaimana diutarakan oleh Buchori Tamam yang merupakan salah satu pendiri DDII dan pembantu Natsir. Buchari bercerita saat Natsir di penjara, dirinya selalu diperintahkan itu untuk mengantarkan bantuan kepada para keluarga miskin dan kesulitan.

“Dari karantina politik di Malang, datang tugas dari Pak Natsir. ‘Cari dana untuk si Anu, untuk Pak Anu. Antarkan bantuan untuk keluarga Pak Anu. Untuk keluarga pak Fulan'. Alhamdulillah semuanya dapat saya laksanakan dengan baik,” ucapnya dalam buku 70 Tahun H Buchari Tamam Menjawab Panggilan Risalah (Media Dakwah, Jakarta: 1992).

Di situlah Buchori sangat kagum melihat kebesaran Pak Natsir. Natsir adalah pemimpin yang sebenarnya-benarnya. Rela berkorban dan mencurahkan hidup untuk membantu sesamanya, walaupun ia juga hidup miskin dan hidup di balik jeruji besi.

“Walaupun sedang dipenjara. Pak Natsir tetap memikirkan nasib orang lain. Dan tak pernah berhenti,” kenang Buchari Tamam. (*)
Baca juga :