Triliunan Aset Gontor Diserahkan ke Umat
Catatan: Luthfi Nur Rosyidi
Diantara komentar negatif orang-orang awam mengenai kasus yang terjadi di Gontor yang sempat saya baca (terus terang saya tidak banyak baca), ada satu yang sedemikian menyakitkan hati saya. Saya sedari awal berkata, kesalahan harus diakui sebagai kesalahan, tapi sangat tidak adil jika menilai selembar kain putih besar, dari satu noda hitam.
Kurang lebih komentarnya begini "Kiai Gontor takut santrinya jadi sedikit, dan hilang sumber pendapatan untuk keluarganya".
Segera saya menjustifikasi, pasti yang komentar tidak tahu fakta-fakta tentang Gontor. Ah, seandainya saja mereka tahu sebagaimana saya menyaksikan sendiri, pasti mereka juga akan ikut sakit hati.
Sedikit dari sekian banyak fakta baik yang saya tahu dan menyaksikan sendiri:
1. Pada tahun 1958, ketika Gontor mulai membesar, secara resmi Pondok Pesantren ini beserta asetnya diwakafkan kepada umat Islam. Artinya para pendiri dan keturunannya tidak bisa mengklaim lagi bahwa pondok adalah aset kekayaan mereka. Dengan kata lain, usaha payah mendirikan pondok dengan uang pribadi dan warisan keluarga, setelah bertambah besar dan terkenal demikian saja langsung diwakafkan. Kiai tidak bertambah kaya dengan bertambahnya aset Gontor. Kiai tidak bertambah sejahtera dengan bertambah atau berkurangnya santri Gontor. Bertambah tanggung jawab iya, bertambah repot iya.
2. Keluarga pimpinan Gontor hidup sangat sederhana. Mempunyai 30 ribu santri aktif, ratusan ribu alumni. Dengan aset pondok yang ratusan trilyun, pastinya jika ingin beli sekedar mobil mewah, sangatlah mudah. Tapi bagi yang tahu keseharian pimpinan dan keluarga pasti akan tahu, bahwa mereka tidak bergelimang harta, tidak punya kendaraan kecuali kendaraan tua. Kemana-mana memakai kendaraan operasional pondok yang sederhana. Bahkan keluarga yang memilih berkarir diluar pondok sebagai pegawai ataupun dosen, lebih sejahtera dari mereka. Pak Sahal pendiri pondok pernah berkata "Kalau makan, minum dan tempat tidur saya lebih baik daripada makan, minum dan tempat tidur anak-anak saya (santri saya), supaya anak-anak protes". Prinsip yang terus dipegang para pimpinan dan pengelola Gontor.
3. Kalau sekedar mencari kaya, menimbun aset, gampang saja. Tinggal dinaikkan saja iuran bulanan di Gontor. Santri di Gontor ditarik kurang dari 800 rb rupiah per bulan, sudah termasuk uang makan tiga kali sehari untuk sebulan penuh, sudah termasuk uang asrama dan SPP sekolah. Sekolah SD swasta di Surabaya, ndak dapat makan, cuman setengah hari SPP nya lebih dari sejuta sebulan, dan itu sudah termasuk murah. Saya pernah membahas ini dalam status. akan saya sertakan link nya di kolom komentar.
4. Karena Gontor diwakafkan kepada umat, maka anak kiai/pengasuh tidak serta merta bisa menggantikan bapaknya. Pimpinan/Pengasuh/Kiai Gontor dipilih oleh anggota Badan Wakaf, yang mewakili umat islam sebagai penerima wakaf, terdiri dari para alumni tokoh masyarakat. Pimpinan sejumlah 3 orang dan dipilih 5 tahun sekali. Lagi-lagi, Gontor semakin besar tidak berarti keluarga pendiri dan anak turunnya akan bertambah sejahtera ataupun berhak atas kekuasaan yang lebih besar.
5. Gontor tambah besar, bukan berarti kiai/pengasuh tambah terkenal. Saya yakin, masyarakat umum di Indonesia lebih dari 50% tahu Gontor. Tapi saya yakin kurang dari 1% yang tahu siapa tiga orang pimpinan Gontor. Kenapa? karena para pimpinan fokus mengasuh santri, mendekap pesantren. Tidak tergoda untuk menjadi terkenal. Tidak butuh menjadi terkenal. Siapa yang tahu KH Akrim Ma'riyat? guru reading saya di KMI, yang sekarang jadi pengasuh PMD Gontor? none of netizen yang berkomentar negatif tentang Gontor itu saya yakin. Karena beliau tawadhu', karena beliau sedemikian sederhana dalam hidup, sedemikian wara'. Padahal beliau adalah orator ulung, dakwahnya sedemikian menyejukkan, penuh dengan humor tapi selalu berbobot. Kalau sekedar menjadi dai di televisi atau punya channel youtube pribadi, pasti bisa dan akan tenar. Tapi beliau memilih asyik mendekap, mengasuh dan membimbing santri-santri. Keliling di hari-hari ujian seperti sekarang ini, ke tiap asrama untuk sekedar mengajarkan "hadza kitabun" kepada santri tahun pertama yang esoknya harus mengahadapi lima penguji ujian lisan. Beliau lulusan Manchester University tahun 1977, saat belajar ke Eropa adalah hal yang sangat sulit digapai. Tentu bisa menjadi dosen di perguruan tinggi terkenal. Tapi memilih mengajar reading anak setara SMP/SMU. Kalau bukan karena keikhlasannya, saya tidak tahu lagi karena apa. Saya belum menyebutkan dan tidak perlu menyebutkan dua pimpinan/pengasuh lainnya.
6. Kalau saya menulis deretan nama alumni di bawah ini, pasti banyak yang kenal, banyak yang tahu. Bahwa mereka alumni Gontor, mungkin juga banyak yang tahu. Tapi siapa guru mereka, siapa kiai yang menginspirasi hidup mereka, saya yakin ndak banyak yang tahu. Kenapa? karena guru mereka berjiwa guru, dan tidak mengejar ketenaran, tidak mengejar kesejahteraan duniawi. Itu pasti.
Tokoh alumni Gontor (sedikit dari ribuan tokoh lainnya, belum menyebutkan ribuan kiai para pendiri dan pimpinan pesantren alumni Gontor):
- Din Syamsuddin, Prof. (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan MUI)
- Emha Ainun Nadjib (Budayawan)
- Habib Chirzin, (Presiden Forum for Peace, Human Rights & Development)
- Hasanain Juaini, Tgh. (Penerima Ramon Magsaysay Award)
- Hasyim Muzadi, Dr. K.H. (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Mantan Ketua Umum PBNU)
- Hidayat Nur Wahid, Dr. (Wakil Ketua MPR RI & Mantan Ketua MPR RI)
- Idham Chalid, Dr. (Mantan Wakil Perdana Menteri RI, Pahlawan Nasional)
- Kalend Osen (Pemrakarsa “Kampung Inggris” Pare Kediri)
- Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI)
- M. Amin Abdullah, Prof. (Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
- Muhammad Hilmy (Pengusaha, Jenang Kudus “Mubarok”)
- Muhammad Maftuh Basyuni, Dr. (Mantan Menteri Agama RI)
- Muhammad Muzammil Basyuni (Mantan Duta Besar RI untuk Suriah)
- Nurcholis Madjid, Prof. (Cendekiawan Muslim)
- Roem Rowi, Prof. (Mantan Ketua MUI Jawa Timur)
- Yudi Latief, Dr. (Direktur Reform Institute)
(fb penulis)