Kudeta Xi Jinping

Kudeta Sepi

Oleh: Dahlan Iskan

SAYA pun seperti Anda: penasaran atas berita kudeta di Tiongkok. Apalagi Presiden Xi Jinping diberitakan lagi dalam status tahanan rumah.

Reaksi pertama saya: tidak mungkin. Terutama karena media-media Amerika tidak menyiarkannya. Kalau berita itu benar alangkah sudah hebohnya Amerika. Saya pun keliling Taiwan: di internetnya. Sepi. Jelas itu berita bohong.

Toh pagi harinya saya masih ngecek lagi: adakah kelanjutannya. Ternyata benar-benar bohong. Yang muncul di HP saya justru kiriman berita bohong lainnya: terjadi kudeta di Amerika Serikat. Presiden Joe Biden dalam status tahanan rumah. Pasukan militer memenuhi kota Washington DC.

Hoax dibalas hoax.

Maka sebelum tidur pun saya sempat melakukan analisis. Seandainya betul ada kudeta, apa alasannya. Memang terlalu banyak. Secara ekonomi pertumbuhan Tiongkok melambat selama Xi Jinping berkuasa. Pun sebelum ada Covid –lebih-lebih akibat pandemi itu.

Memang ada teori bagus: pertumbuhan ekonomi itu tidak bisa terus tinggi sepanjang masa. Tidak ada negara maju yang pertumbuhannya tetap tinggi. Tumbuh rendah pun sudah luar biasa bagus, karena dari nominal yang sudah besar.

Tapi tetap saja fakta berbicara: selama dua periode pemerintahan Xi Jinping pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak sebagus sebelumnya. Popularitas Xi Jinping yang begitu tinggi ternyata tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Adakah itu yang menyebabkan ketidakpuasan hingga terjadi kudeta?

Terlintas juga soal perubahan konstitusi. Xi Jinping, lewat semacam parlemen Tiongkok, menghapus pembatasan masa jabatan presiden dua periode. Ia sendiri hampir pasti akan terpilih lagi untuk masa jabatan ketiga.

Terpikir pula: jangan-jangan ini balas dendam oligarki hitam di sana. Begitu banyak Xi Jinping menangkap pengusaha besar. Saya sering mendengar curhat pengusaha di sana: kini aturan-aturan bisnis semakin ketat. Gerak bisnis semakin tidak bebas bermanuver.

Tapi akhirnya jelas: berita kudeta itu tidak benar. Mungkin hanya halu akibat spekulasi yang terlalu. Misalnya: kok banyak sekali penerbangan yang dibatalkan di Beijing. Lalu kok banyak sekali tentara di Beijing dan sekitarnya. Ditambah: sudah tiga hari Xi Jinping tidak terlihat di depan umum.

Bagi yang sering ke Tiongkok harusnya hafal: pembatalan penerbangan di Beijing itu tidak aneh. Begitu ada latihan militer, sipil harus mengalah. Demikian juga ketika ada presiden mau turun atau naik pesawat bandara ditutup. Saya beberapa kali tertahan di landasan Beijing oleh hal seperti itu.

Secara hukum, di sana, udara Tiongkok adalah milik militer. Aturan penerbangan harus tunduk pada kepentingan militer. Jarak antar pesawat di udara pun ditentukan berdasar keamanan nasional.

Mungkin hari itu lagi ada latihan militer. Latihannya lebih besar dari biasanya. Pesawat komersial yang terganggu lebih banyak.

Itu juga terkait dengan banyaknya pasukan militer di Beijing dan sekitarnya. Jangan lupa: 1 Oktober nanti adalah hari kemerdekaan Tiongkok. 

Yang lebih sensitif lagi: pertengahan bulan depan ada Muktamar Partai Komunis Tiongkok. Itu merupakan peristiwa politik terpenting di sana. Melebihi Sidang Umum MPR di zaman Orde Baru.

Bagi orang seumur saya tentu masih ingat: setiap menjelang SU MPR negara seperti sedang genting. Razia-razia kendaraan ditingkatkan. Pun di daerah yang jauh dari Jakarta. Latihan-latihan militer terlihat di mana-mana.

Seperti itulah suasana setiap menjelang Kongres Partai Komunis Tiongkok. Saya beberapa kali di Beijing di masa seperti itu. Saya bisa merasakannya. Dan saya selalu teringat suasana menjelang SU MPR.

Di Muktamar itu nanti Xi Jinping akan terpilih lagi sebagai pemimpin tertinggi partai. Xi akan menyusun kepengurusan baru partai. Pengurus baru inilah yang akan menentukan siapa calon presiden Tiongkok yang akan dipilih oleh MPR-Tiongkok Maret tahun depan.

Menjelang perhelatan genting seperti itu, Xi Jinping tidak terlihat di depan publik. Maka ilmu spekulasi pun mendapatkan kelengkapannya: ada kudeta di Beijing.

Padahal Xi memang harus isolasi. Aturan Covid juga berlaku bagi presiden. Hari itu ia pulang dari Uzbekistan. Ada pertemuan negara-negara yang berbatasan dengan Tiongkok di sana: Forum Shanghai. Yang menarik Xi bertemu Vladimir Putin di sana.

Forum itu telah berkembang menjadi semacam blok ekonomi. Awalnya forum itu hanya dimanfaatkan Tiongkok untuk membuka jalur-jalur darat ke semua negara yang berbatasan. Lalu berkembang menjadi forum untuk melancarkan program One Belt One Road.

Kini forum itu telah menjadi blok ekonomi di luar Eropa dan Amerika. Pakistan misalnya. Ia sahabat segala musim bagi Tiongkok. Tapi Tiongkok tidak mampu menolong Pakistan di satu bidang: energi. Tiongkok sendiri kekurangan energi. 

Maka forum ini menemukan jalan keluar: Rusia bertemu Pakistan. Rusia akan membantu Pakistan di bidang penyediaan gas. Akan dipasang pipa gas dari Rusia ke Pakistan. Lewat Afghanistan –sesama anggota forum Shanghai.

Rusia yang menghadapi kesulitan kirim gas ke Eropa bisa mengalirkannya ke Pakistan dan Afghanistan. 

Bisa jadi gas itu akan sampai juga ke India. Lewat Forum Shanghai Rusia menemukan pasar barunya. India Pakistan pun menemukan sumber energi murah mereka.

Maka isu kudeta di Tiongkok memang bisa datang dari mana-mana. Dan itu tidak ditanggapi sedikit pun oleh media Tiongkok. Isu itu pun dianggap angin lalu. 

(Dahlan Iskan)


Baca juga :