Praktisi Branding: Logo Halal Itu Sederhana (حلال), Tapi Malah Dibikin Ribet

LOGO HALAL: 
SEDERHANA TAPI DIBIKIN RIBET

Oleh: Abul Muzaffar

Karena kerjaan gue dulu di humas dan content writing dan sedikit menyentuh dunia branding, bolehlah gue sekali kali mengkritik soal logo halal dari Kemenag.

Logo halal itu sebenarnya sederhana. Tinggal tulisan halal (حلال), tempel, selesai. Sebagai bagian dari "branding", logo halal harusnya didesain secara fungsional, dimana konsumen bisa membaca dengan jelas dan ga bikin sakit mata.

Tapi entah kenapa stakeholder pemerintah mikirnya ribet, pengen halal tapi terlihat nusantara. Mungkin itulah "branding" mereka. Jadilah bikin logo dengan kaligrafi yang susah dibaca, tapi yang keliatan malah gunungan khas wayangnya.

"Tapi kan ada kata halal dalam bentuk tulisan Rumi/Latin?"

Ya you ngapain lagi bikin kaligrafi berbentuk gunungan wayang kalau udah ada tulisan jelas? Ribet amat.

Kalau mau ada dua tulisan berbentuk Arab dan Rumi, buatlah font dan desain yang bisa dibaca jelas. Karena mau ga mau, logo ini fungsi utamanya adalah informasi kepada konsumen.

Anyway, karena ini menyangkut logo yang mewakili sebuah brand. Maka ada komunikasi dan pesan yang dibaca. Berhubung yang memberikan logo adalah institusi politik, maka ada pesan politik yang disampaikan.

Kita sudah tahu bahwa Kemenag diisi oleh orang-orang yang pro Islam yang menusantara, sebagai lawan dari Islam puritan/kearab-araban.

Karena itulah logo yang dipakai adalah gunungan wayang, yang merupakan representasi dakwah Sunan Kalijaga. Dakwah Sunan Kalijaga yang "membudaya" dianggap berbeda dan "unggul" dibandingkan dakwah ala Islam puritan.

Apalagi kita tahu bahwa dakwah Sunan Kalijaga dianggap tak pernah menggunakan kekuatan politik, menyerukan formalisasi syariat islam dan menyerang secara frontal budaya Jawa.

Masalahnya, logo halal itu adalah logo yang akan dominan dalam keseharian masyarakat.

Ini adalah logo yang akan kita lihat sehari-hari karena terkait dengan kewajiban agama kita.

Jelasnya, logo ini yang akan dominan di otak kita nanti.

👉Hasilnya apa? pesan yang gw dapat:

Sebagai orang Melayu dan Luar Jawa, gw melihat logo halal berbentuk gunungan ini adalah penegasan dominasi Jawa atas wacana Islam dan Nusantara.

Seolah-olah yang beneran Islam adalah Islam Nusantara ala Walisongo.

Seolah-olah yang beneran Nusantara adalah Jawa.

Padahal ya orang Melayu-Sumatera punya gaya dan budayanya sendiri dalam perkembangan dan sejarah dakwah Islam, yang berbeda dengan Jawa.

Apalagi gaya Islam ala Melayu-Sumatera cenderung lebih puritan dan pro formalisasi syariat Islam, mau dia itu Aswaja/Salafi/Modernis.

Kami pun tak kenal wayang sebagai medium islamisasi.

Perlu diketahui bahwa logo halal itu logo universal dan fungsional. Tidak sepantasnya dia memuat pesan menonjolkan satu kaum.

Kalau demikian berarti ada niat untuk "dominasi". Akibatnya ada rasa "muak" yang ditimbulkan terutama dari orang-orang luar Jawa.

Dan gue membaca reaksi dari netizen luar Jawa (khususnya Sumatera) mengenai logo ini. Respon mereka "Buat apa sih logo beginian, kan Indonesia bukan cuman jawa".

Ini harus digaris bawahi karena dia jelas memuat pesan "muak". Dan ini bisa menjadi bibit konflik.

Tentunya di era yang mana politik domestik dan internasional makin terbelah, tidak seharusnya ada pesan-pesan "nyari ribut" seperti demikian.

Apalagi kalau "nyari ribut"nya sama orang luar Jawa, yang bisa berimplikasi ke separatisme dalam titik ekstrim. Harusnya memuat pesan saling menyatukan dan menunjukkan titik temu.

Kita harus sadar, bahwa Indonesia adalah negara yang strategis dalam percaturan politik dunia.

Jika antar suku bangsa (Jawa vs Luar Jawa) terbelah, bukan tidak mungkin ini akan dimanfaatkan pihak ketiga guna mewujudkan kepentingan politiknya.

Yang tentu saja bisa menjadikan kita macam Ukraina sekarang.

(fb penulis)
Baca juga :