[Editorial Koran Tempo]
Ilusi Investasi di Ibu Kota Baru
Batalnya investasi Softbank seharusnya membangunkan Presiden Joko Widodo yang tengah terbuai mimpi tentang ibu kota baru. Ini menunjukkan bahwa megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara tak menarik bagi investor yang rasional. Ujung-ujungnya, proyek senilai Rp 510 triliun itu bakal bergantung pada anggaran negara dan utang. Jika itu yang terjadi, betapa besar beban negara akibat proyek impian Jokowi ini.
Menurut kabar yang dilansir media Jepang, Nikkei, pada Jumat lalu, Softbank menyatakan tidak lagi berinvestasi dalam proyek IKN Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Investasi untuk Indonesia hanya akan disalurkan melalui skema Softbank Vision Fund, yang membidik perusahaan rintisan atau start-up.
Keputusan Softbank seolah-olah menampar wajah para pejabat pemerintah yang mengklaim perusahaan itu mau mendanai megaproyek IKN Nusantara. Pada Januari dua tahun lalu, misalnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menyatakan Softbank akan menyuntikkan dana US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.430 triliun untuk proyek ibu kota baru. Belakangan, klaim itu ia turunkan menjadi "hanya" US$ 25 miliar atau Rp 357 triliun. Tapi itu pun tak menyurutkan niat Jokowi untuk menunjuk bos Softbank, Masayoshi Son, sebagai anggota dewan pengarah proyek IKN.
Klaim kosong terjadi bukan hanya ihwal Softbank. Pemerintah juga mengumbar kabar-kabur soal komitmen investor dari Timur Tengah. Pemodal dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab diklaim bakal menjadi penyandang dana proyek perkotaan modern hingga kawasan industri hijau bernilai ratusan triliun rupiah. Namun, sampai kini, belum ada satu pun perjanjian investasi yang diteken.
Di tengah krisis akibat pandemi seperti saat ini, sulit berharap investor mau masuk pada proyek raksasa seperti pembangunan IKN Nusantara. Dalam kacamata pemodal, proyek jangka panjang semacam itu kalah menarik dibanding investasi langsung pada industri pertambangan, perkebunan, properti, atau sektor manufaktur yang imbal hasilnya lebih terukur. Softbank saja memilih start-up digital yang potensi pertumbuhannya lebih kentara, meski keuntungannya tak bisa diraih dalam waktu singkat. Pengusaha mungkin lebih tertarik menjadi kontraktor, bukan penyandang dana pembangunan IKN Nusantara.
Di samping imbal hasil investasi yang tidak jelas, investor juga mencermati penyusunan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN Nusantara yang asal terabas. Belum lagi kerusakan hutan dan ekosistem yang menjadi ekses negatif proyek IKN. Pemerintahan Jokowi seharusnya paham bahwa investor di negara maju semakin banyak yang peka terhadap aspek legalitas, keberlanjutan, serta dampak lingkungan sebuah megaproyek. Siapa yang mau merugi bila di kemudian hari proyek ini batal karena dasar hukumnya dianulir, atau proyeknya dipersoalkan lantaran merusak lingkungan.
Agaknya sulit membangunkan Jokowi yang kini sedang menggelar kenduri “Kendi Nusantara” di lokasi calon ibu kota baru. Alih-alih menghitung ulang risiko proyek mercusuar itu, Jokowi malah meminta para gubernur membawa puluhan kendi berisi tanah dan air dari seluruh penjuru negeri ke tempat kenduri. Jika sudah begini, silakan saja berharap bahwa kendi-kendi itu bertuah mendatangkan investasi.
(Sumber: Koran Tempo, Senin, 14 Maret 2022)