Manuver Putin dan Proxy Kadyrov dalam Kebijakan Rusia
Oleh: Pizaro Gozali Idrus (Peneliti Center for Islam and Global Studies)
Perang antara Rusia dan Ukraina yang meletus pada 24 Februari 2022 telah menarik perhatian banyak pihak, termasuk umat Islam.
Hal ini khususnya terjadi saat pemimpin Republik Chechnya, yang merupakan wilayah mayoritas Muslim di bawah Federasi Rusia, mengerahkan puluhan ribu tentaranya untuk melawan tentara Ukraina.
Berita ini kemudian diikuti oleh banyak meme dan video yang menunjukkan keshalehan para tentara Rusia, sekaligus dukungan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin.
Putin dianggap presiden pro umat Islam berhadapan dengan Ukraina yang didukung oleh negara-negara Barat, khususnya AS yang selama ini memerangi umat Muslim.
Manuver politik Putin
Umat Muslim dan masyarakat pada umumnya harus jernih melihat ini semua. Dalam menganalisa perang Ukraina, kita harus mengumpulkan data secara komprehensif dan tidak parsial agar dapat melihat problematika ini secara jernih.
Perlu diketahui, keterlibatan faksi perjuangan Checnya dalam dukungan terhadap Putin tidak lepas dari politik etis yang dilakukan Moskow untuk mendapatkan dukungan kekuasaan dan memukul mundur perlawanan Muslim. Artinya, pendekatan Putin kepada para pemimpin pemerintahan Republik Chechnya lebih bermuatan politis.
Wilayah Chechnya yang berpenduduk mayoritas Muslim telah menjadi saksi bisu dari perang brutal antara loyalis Moskow dan kelompok perlawanan Chechen dari pertengahan 1990 hingga 2009. Chechnya memperoleh kemerdekaan de facto setelah Perang Checnya antara 1994 dan 1996. Tapi Chechnya masih merupakan bagian sah dari Rusia.
Secara geografis, wilayah utara Chechnya berbatasan dengan Rusia, wilayah timur dan tenggara berbatasan dengan Republik Dagestan, dan barat daya berbatasan dengan Georgia.
Untuk menganalisa hubungan Putin dan patron Kadyrov, kita perlu kembali kepada sejarah hubungan antara keduanya. Julie Wilhelmsen dalam Inside Russia's Imperial Relations: The Social Constitution of Putin-Kadyrov Patronage (2018), upaya Putin untuk menjinakkan Muslim Chehcnya lewat patron keluarga Kadyrov sudah dilakukan sejak 1999 melalui komunikasi personal.
Pada saat itu, Moskow menyadari perlunya proksi di Chechnya untuk membendung kelompok Muslim yang kembali melakukan perlawanan pada tahun 1999.
Benar saja, ketika pasukan Rusia kembali ke Checnya, Ahmad Kadyrov meminta orang-orang Chechnya untuk menghentikan perlawanan bersenjata.
Untuk membangun proksi, Putin menawarkan otonomi secara luas di bawah kepemimpinan Kadyrov. Hal ini dilakukan Putin untuk menopang popularitasnya sebagai perdana menteri. Kala itu, janji pertama Putin kepada rakyat Rusia ketika menjadi Perdana Menteri pada tahun 1999 adalah menghancurkan "teroris" di Chechnya. Ini menjadi pertaruhan Putin untuk mempertahakan kekuasaannya di Rusia.
Setelah Ahmad Kadyrov tewas akibat serangan bom, Ramzan Kadyrov, sang anak, menggantikan Ahmad sebagai pemimpin di Chechnya.
Sejak saat itu, Putin telah mengalokasikan uang, senjata, dan kekuasaan untuk Ramzan Kadyrov sebagai proksi Kremlin di wilayah itu. Sebelum tahun 2020, Moskow tercayat mengelontorkan dana sekitar USD4 miliar kepada Republik Chechnya setiap tahun. Sebagai timbal baliknya, Kadyrov menjanjikan Putin kekuatan militer dan perlindungan dari kelompok oposisi anti Moskow meskipun Kremlin melakukan tindakan brutal terhadap Muslim Chechnya.
Physicians for Human Rights (PHR) mendokumentasikan bahwa, pada Desember 2000, pasukan Rusia terus terlibat dalam penangkapan sewenang-wenang, penahanan yang tidak sah, penyiksaan, pembunuhan, percobaan pembunuhan, penghilangan, penyuapan, dan penembakan di pusat-pusat populasi Chechnya.
Warga sipil ditangkap dengan barang bukti yang lemah, diinterogasi, dipukuli, dan kadang-kadang dilemparkan ke dalam lubang di tanah, hanya untuk dibebaskan ketika kerabat membayar suap yang signifikan. Beberapa menghilang.
Unit militer Rusia menyapu kota dan desa seolah-olah mencari pejuang di pihak Chechnya, menangkap warga sipil, menembak ke rumah, mengambil properti, dan pergi.
PHR melakukan survei acak terhadap 1.143 orang yang mengungsi dari Chechnya karena perang. Responden menyaksikan hampir 200 pembunuhan non-pejuang.
Sebanyak 46% dari 1.143 yang disurvei melaporkan telah menyaksikan setidaknya satu pembunuhan warga sipil oleh pasukan federal Rusia.
Menggiring perang sesama Muslim
Aliansi militer Putin dan Kadyrov pada gilirannya berjalan hingga bertahun-tahun dan melewati batas teritori Rusia. Stacy Closson dalam The North Caucasus after the Georgia-Russia Conflict (2008), mencatat Ramzan telah menggalang tentara Chechnya untuk membela Rusia dalam perang di luar negeri.
Selama Perang Rusia-Georgia pada tahun 2008, beberapa ribu tentara Chechnya bertugas sebagai penjaga perbatasan di sepanjang perbatasan Abkhaz dan Ossetia Selatan. Servis serupa juga ditawarkan selama perang di Ukraina saat Rusia menganeksasi Krimea.
Meski Krimea adalah rumah bagi 12 persen Muslim Tatar, Kadyrov mendukung Putin untuk menganeksasinya. Pasukan Rusia memasuki semenanjung Krimea pada Februari 2014 dan Presiden Vladimir Putin secara resmi membagi wilayah tersebut menjadi dua subjek federal terpisah dari Federasi Rusia pada bulan berikutnya.
Banyak pasukan Chechnya Kadyrov telah berperan dalam pertempuran di Ukraina timur, di mana mereka mendukung separatis pro-Rusia melawan pasukan Ukraina ketika konflik meletus. Menurut PBB, pertempuran antara pasukan pemerintah Ukraina dan separatis pro-Rusia di Donbas telah menyebabkan lebih dari 13.000 orang tewas sejak 2014.
Aliansi Kadyrov dan Putin kemudian berlanjut di Suriah. Pada tahun 2015, Rusia mulai terlibat untuk mendukung penuh kekuasaan Assad. Kondisi ini menjadikan rezim Assad yang tadinya lemah berubah menjadi kuat.
Rusia telah menjadi pihak yang oleh banyak orang digambarkan sebagai genosida terhadap warga Muslim Suriah dan melakukan segudang kejahatan terhadap kemanusiaan. Hampir tidak mungkin dunia melupakan pembunuhan brutal Rusia di Suriah, yang ikut menargetkan warga sipil di rumah, toko, rumah sakit, dan sekolah.
Teror yang menghujani warga Suriah oleh angkatan udara Rusia telah menyebabkan krisis pengungsi. Zona aman yang dibangun di Idlib atas kesepakatan Moskow dan Ankara tidak bernar-benar aman dari serangan tentara Rusia dan Assad.
Kantor berita Anadolu Agency melaporkan dari kesepakatan pada 17 September 2018 hingga bulan Oktober 2019 sebanyak 1.282 warga sipil telah tewas oleh serangan udara koalisi Suriah dan Rusia, di antaranya adalah 219 wanita dan 341 anak-anak.
Pada Desember 2016, kehadiran pejuang Chechnya di antara pasukan Rusia menjadi subyek banyak laporan. Kadyrov awalnya membantah kehadiran pasukannya, tetapi menegaskan bahwa jika Kremlin memberikan perintah, pasukan yang ditempatkan di Chechnya dengan senang hati pergi “memerangi sampah di Suriah.”
Pada bulan Januari, pemimpin Chechnya mengakui bahwa batalyon polisi militer yang terdiri dari etnis Chechnya memang berada di Suriah sebagai bagian dari pasukan Kementerian Pertahanan Rusia.
Pada saat itu, sebuah video telah bocor dari pasukan Chechnya di mana sekitar 500 orang, menunggu keberangkatan ke Suriah. Sementara itu, dua utusan Kadyrov telah mengunjungi Suriah dan bertemu dengan para prajurit.
Alexander Sotnichenko, pensiunan diplomat Rusia dan pakar Timur Tengah, dalam wawancaranya dengan Al Monitor (2017) mengatakan salah satu tujuan pasukan Kadyrov ada di Suriah untuk menunjukkan kepada Muslim Suriah bahwa Rusia tidak membuat penduduk Sunni takut.
Alasan lainnya adalah untuk mengubah citra negatif warga Checnya yang sebagian besar dipandang rezim Suriah sebagai 'teroris', karena banyak dari mereka berperang melawan Assad.
Selain itu, Kadyrov tidak hanya mempromosikan kepentingan Rusia melalui kontak regionalnya, tetapi dia juga mengambil kesempatan untuk membawa investasi asing ke Chechnya.
Almonitor (2016) mencatat Israel menjadi sumber investasi lain bagi Chechnya. Sebagai hasil dari perjalanan menteri dan pebisnis Chechnya, peternakan susu besar (hingga 1.200 sapi) telah dimungkinkan di Chechnya dengan menggunakan uang dari pengusaha Israel. Pembangunan pabrik yang memproduksi makanan ikan adalah proyek lain yang sedang dikembangkan antara kedua pihak.
Menghindari pertarungan sesama Muslim di Ukraina
Benturan sesama Muslim kini berpeluang kembali terjadi di Ukraina. Sebuah video pendek yang diterbitkan saluran berita Rusia, RT, menunjukkan ribuan pasukan Chechnya berkumpul di alun-alun utama ibu kota wilayah itu, Grozny, untuk menunjukkan kesiapan berperang di Ukraina. Kadyrov pun mengakui sudah ada tentara-tentara Checnya yang tewas dalam perang di Ukraina.
Pekan lalu, Mufti Krimea Aider Rustemov meminta tentara Muslim yang bertugas di tentara Rusia untuk meninggalkan unit mereka karena khwatir dipaksa berperang melawan saudara-saudara mereka di Ukraina.
Rusia memang memiliki tentara Muslim yang berasal dari Caucasus, Tatarstan and Bashkortostan. Oleh karena itu, perang Ukraina rentan mengadu domba sentimen Muslim yang dapat memecah belah kesatuan umat Muslim Rusia dan Ukraina.
Sebagai catatan, jumlah muslim di Ukraina sendiri ada 400.000, yang mayoritas berasal dari Muslim Tatar. Pada 2014, saat Krimea dianeksasi Rusia, puluhan ribu dari Muslim Tatar harus mengungsi dari rumah mereka.
Untuk itu, kita perlu hati-hati dalam mencermati manuver Putin dalam perang di Ukraina. Jika tidak waspada, umat Islam rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik dalam perang Ukraina dan Rusia.*
*Sumber: Hidayatullah