Seingat saya, argumen yang sama dipakai oleh Suharto untuk menjustifikasi waduk Kedungombo dan banyak waduk lainnya. Argumen ini juga dipakai untuk membenarkan pembangunanisme.
Argumen bahwa LSM-LSM hanya sarana cari makan juga bukan hal yang baru. Jaman Suharto, argumen yang persis sama juga dipakai untuk menggebuk para aktifis dan dunia masyarakat sipil.
Lalu apa bedanya? Sedikit berbeda. Kalau dulu yang omong begini adalah militer dan para gedibalnya. Sekarang, yang omong begini adalah para buzzer gedibal penguasa.
Kalau dulu, pembenaran dilakukan dengan represi bersenjata. Kali ini, ia dijalan dengan represi dan manipulasi.
Orang-orang seperti ini, dengan kedangkalan intelektual namun didukung teknologi informasi, berusaha keras memanipulasi opini publik.
"Kalau nggak nipu, nggak makan." Orang-orang seperti ini tugasnya mengamplas kejahatan menjadi halus; membuat yang busuk menjadi bersinar; mengubur bencana dengan harapan-harapan indah yang palsu.
"Kalau nggak nipu, nggak makan." Sedangkal itu.
(Made Supriatma)
*fb penulis