Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Come back! Sebulan lebih absen, saya penyegaran dulu. Melakukan hal-hal yang menyenangkan, semakin dekat dengan orang yang saya sayang. Itu perlu dan menggembirakan. Hidup tak melulu soal uang, popularitas, dan pangkat!
Tapi saya tetap mengamati perkembangan media massa. Termasuk dikirimi tautan artikel di Medium berjudul “SJW ala Agustinus Edy Kristianto: Kerap Kritik tapi Malah Kesandung Kasus”. Di dalamnya dikutip sajak WS. Rendra berjudul “Sajak Pertemuan” (1977).
Tulisan itu disebarkan di grup-grup pendukung Jokowi: “Dukung Presiden Jokowi untuk Indonesia”, “Relawan Jokowi Sejati”, “Jokowi untuk NKRI 2024”, “Jokowi Hebat (JH)”, dan “Jokowi Suara Rakyat”.
Terlihat jelas apa maunya barang ini. Mempertahankan citra baik demi menjaga kemapanan kekuasaan, seilusi apapun kehidupan yang mereka jalani sehari-hari.
Inti tulisan itu adalah saya mengkritik tapi saya kesandung kasus ketenagakerjaan karyawan saya beberapa tahun lalu. Ini barang lama dan sudah ada proses hukum. Diurusi oleh legal perusahaan, sementara saya adalah pemred. Perusahaannya pun sudah tidak beroperasi lagi. Itu bukan masalah saya pribadi melainkan masalah perusahaan yang lumrah terjadi.
Soal saya pribadi tidaklah penting. Yang penting adalah masalah kita sebagai bangsa/masyarakat umum. Serangan pribadi adalah degradasi semata, yang dari nada tulisannya saya bisa menebak siapa pemesannya. Saya pun hafal beberapa gaya menulis buzzer dan placement medianya.
Tapi, segala yang terjadi itu, tak mengubah penilaian saya terhadap rendahnya kualitas kepemimpinan Presiden berikut pelayanan publiknya. Hukum tidak sejalan dengan norma, nalar, dan perasaan kebatinan masyarakat yang lagi kesusahan. Fakta sederhana menunjukkan tak ada pejabat yang kelaparan, yang lapar adalah masyarakat. Masyarakat kecil yang kehilangan pekerjaan, tapi pejabat dan kroninya bertambah kaya.
Anda boleh berdebat segala macam tentang JHT tapi kenyataan paling sederhana membuktikan bahwa ketika negara butuh uang, rakyatlah yang menopang. Bukan segelintir pejabat dan kroni bisnisnya yang selama ini diuntungkan oleh kebijakan. Dana JHT Rp370-an triliun dibelikan surat utang negara (65%), ditaruh di deposito bank pemerintah (yang mungkin dibelikan surat utang negara juga), ditaruh di saham (yang mungkin emiten perusahaan negara juga).
Yang untung terlebih dahulu bukanlah pekerja tapi pengelola berikut brokernya yang rutin mendapatkan gaji, tunjangan, komisi, insentif, dana lobi dsb. (Komisi broker 0,1% kalikan saja dengan dana yang ditaruh).
Lalu apa yang bisa diharapkan dari janji Jokowi untuk merevisi aturan? Revisi macam apa, apakah seperti revisi Perpres Prakerja yang justru melanggengkan penerimaan Rp5,6 triliun bagi segelintir pengusaha platform digital yang menjadi mitra? Revisi macam apa yang mau diharapkan jika arahnya adalah mempertahankan agar trading capital yang berasal dari iuran JHT itu tidak berkurang akibat klaim para pekerja yang disapu gelombang PHK? Sementara JKP yang didapuk menjadi bantalan adalah dana yang berasal dari dana jaminan kematian dan kecelakaan kerja.
Masalah utama pemerintah adalah kegagalan menciptakan lapangan kerja riil dan membendung PHK. Kegagalan itu membuat masyarakat tidak memiliki stabilitas untuk bekerja dan hidup layak. Itu yang menyulitkan masyarakat kecil untuk berkembang secara finansial karena tidak ada cukup tabungan dan investasi. Berbeda dengan mereka-mereka yang diuntungkan oleh kebijakan karena bisa mengakses triliunan dana Prakerja, suntikan modal untuk persiapan IPO dari BUMN (kasus Telkomsel-Gojek), penghapusan retensi Rp700-an miliar (kasus Rekind). Keuntungan bagi mereka terjadi sekarang, tanpa perlu tunggu umur 56.
Jadi, tetaplah bersuara meminta call tertinggi: lapangan kerja layak dan banyak, jaminan sosial yang menguntungkan dan mudah diakses, layanan kesehatan gratis dan terbaik, penghakiman terhadap pejabat dan kroninya yang korup, hukuman politik (jangan dipilih!) terhadap politisi dan partai yang berkhianat terhadap kepentingan rakyat.
Jangan kasih celah sedikit pun kepada pemerintah untuk berbangga hati dengan narasi-narasi yang mereka ciptakan sendiri di media massa, yang sesungguhnya menggunakan dana publik juga untuk membayar biaya publikasinya.
Mereka tidak hebat. Mereka bukan suara rakyat seutuhnya.
Salam.
*fb 22/02/2022