Agustinus Edy Kristianto: MEMBONGKAR INVESTASI DANA JHT, Bagaimana Cara Mainnya?

Oleh: Agustinus Edy Kristianto*

Melanjutkan status sebelumnya tentang JHT (link), mari kita buat sederhana. 

Intinya, sebelum berbicara jauh tentang filosofi dan skema tetek bengek, selidiki dulu kredibilitas pengelolaan dana itu. Jangan-jangan di situ permasalahannya. Jika benar di situ masalahnya, berarti menahan uang pekerja sampai usia 56 adalah pilihan kebijakan yang buruk dan mengada-ada.

Saya berpikir secara awam saja. Awalnya saya malas menulis tentang JHT. Tapi akhirnya saya bertanya-tanya kenapa orang tidak bisa mengambil tabungannya dan harus dibatasi pada usia 56? Apa dasarnya ketika orang tak lagi membayar iuran karena tidak bekerja tetapi tidak bisa mengambil tabungannya? Jika berbicara masa tua, bagaimana dengan Jaminan Pensiun yang juga merupakan program BPJS? Apakah imbal hasilnya sesuai untuk hidup sejahtera di masa tua? Apakah alasan menahan duit orang itu adalah karena dana sedang diputar di tempat lain? Apakah kita bisa percaya begitu saja publikasi laporan keuangan pengelola?

Lalu keluarlah wacana JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) sebagai bantalan untuk korban PHK. Dari mana dana untuk JKP itu? Mengapa harus dengan persentase tertentu dan selama waktu tertentu? Bagaimana jika masa itu lewat dan orang belum dapat pekerjaan? Bukankah kebijakan itu secara tidak langsung akan 'mendorong' pengusaha mem-PHK orang karena sudah dimudahkan lewat aturan pesangon yang tidak ada di UU Cipta Kerja plus sekarang ada JKP? Jika banyak PHK, bukankah berpotensi besar masalah sosial yang akan menggerogoti pemerintahan? Kerusuhan sosial? 

Hipotesis saya adalah ada gula, banyak semut. Dana total Rp500-an triliun (Rp370-an triliunnya adalah JHT) adalah dana sangat besar. Sangat mungkin ada beberapa pihak yang selama ini menikmati status kemapanan finansial atas pengelolaan dana itu, baik berupa komisi, biaya jasa, kick back, honorarium dsb. Masalahnya, bagaimana cara mainnya? Apa dalihnya agar publik tidak mencium itu? 

Kemudian saya baca Laporan Keuangan BP Jamsostek terbaru yang menampilkan realisasi hasil investasi. Hasil pengembangan JHT adalah 5,59%. Itu di atas rata-rata bunga deposito 3,68%. Pertanyaannya, mengapa bandingannya adalah deposito? Mengapa tidak dengan Surat Berharga Negara (SBN), padahal porsi terbanyak penempatan (65%) adalah SBN. 

Ini tautan daftar lengkap obligasi pemerintah yang dimuat situs KSEI https://www.ksei.co.id/services/registered-securities/government-bonds. Kuponnya ada yang 12%. Silakan saja kalau mau merata-ratakan kupon obligasi itu. Sementara di audit BPK 2021, imbal hasil investasi di SBN sekitaran 8%.

Sebelumnya saya menulis status tentang kerugian investasi saham BP Jamsostek. Unrealized loss sebesar Rp16,1 triliun (-21,86%). Saya tahu investasi ada risikonya. Unrealized loss hal biasa. Yang tak biasa adalah duit yang dipakai trading ini bukan duit nenek moyang pengelola. Itu duit publik, perasan keringat buruh! Dan ada aturan mainnya. Terutama tentang cut-loss seperti yang direkomendasikan BPK. Hal itu ada aturannya dalam PERDIR/23/09/2019, kenapa tidak dilakukan? Dalam 90 hari sejak pembelian dan nilai menurun 10%, cut-loss! Itu dilanggar. Siapa yang harus dihukum?

Bagi saya itu berpotensi korupsi, karena telah ada unsur perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara (karena negara menyertakan modal di BP Jamsostek). Tapi bisa jadi begini permainannya. Ketika di-cut loss, artinya kerugian negara terjadi. Unrealized loss berubah menjadi realized loss. Siapa dong yang masuk penjara? Jangan-jangan dalih menunda pencairan sampai usia 56 adalah untuk 'memberi kesempatan' trading untuk memulihkan kerugian. Secara hukum, itu wujud 'saling melindungi' agar tak berbuah perkara. Bisa saja, kan!

Apakah kasus BP Jamsostek mirip dengan Jiwasraya dan Asabri? Bisa iya, bisa tidak. Yang jelas perbedaannya adalah penempatan investasi BP Jamsostek yang sebagian besar di SBN, sementara Asabri dan Jiwasraya adalah saham. Apa potensi penyimpangan yang perlu ditelisik?

Apakah kita berpikiran sederhana bahwa 65% duit JHT yang ratusan triliun itu hanya dipakai untuk membeli SBN lalu didiamkan saja selama masa tenor untuk mengandalkan pembayaran kupon saja? Apakah kita tidak berpikir bahwa surat itu bisa diperdagangkan lagi untuk memperoleh profit dan dibeli kembali ketika mendekati masa jatuh tempo untuk menerima pembayaran kupon? 

Kita kutip utuh penjelasan di situs IDX ini: "Pada umumnya, instrumen efek bersifat utang diperdagangkan melalui mekanisme over the counter (OTC). Bursa menyediakan sistem khusus untuk memfasilitasi perdagangan efek bersifat utang, yang dikenal dengan nama FITS (Fixed Income Trading System). FITS merupakan sistem (automated remote trading) yang dimiliki Bursa Efek Indonesia untuk memfasilitasi perdagangan efek bersifat utang di Indonesia."

Apakah OTC itu bisa diolah? Sangat mungkin. OTC terjadi di luar bursa, cenderung tidak transparan, bisa terjadi hanya melalui komunikasi elektronik, melibatkan jaringan broker dan dealer untu mencari lawan transaksi, menghasilkan profit sekaligus komisi dan biaya-biaya, melibatkan orang dalam dan pelaku pasar, mencakupi para pemain lembaga keuangan besar di dalam dan luar negeri. Berani masuk ke wilayah raja-raja singa ini?

Yang jelas, surat utang itu tidak nganggur menanti kupon semata. Ia adalah instrumen perdagangan yang kerap dipakai untuk menghasilkan untung tapi tak banyak orang tahu. Makanya ada sindiran tentang "om dan tante SUN".

Jadi, bagi saya, dugaan saya, beralasan sekali jika beranggapan ada motif kuat di balik kebijakan 56 itu untuk 'menyelamatkan' kemapanan bisnis yang selama ini dilakukan oleh beberapa pihak. Alasan bisa dibuat, demi masa tua yang sejahtera atau apalah, tapi apapun itu, tidak mengubah fakta bahwa penabung tidak bisa menikmati duit tabungannya sekarang tetapi duit itu bisa dipakai untuk orang lain menghasilkan untung.

Tinggal kita lihat nanti, Presiden 'baik' ini mau melindungi kepentingan buruh atau penikmat putar-putar efek.

Salam.

*fb penulis

Baca juga :