Ustadz Abrar Rifai: Menendang Sesajen Itu Bukan Dakwah!

Menendang Sesajen Itu Bukan Dakwah! 

Oleh: Ustadz Abrar Rifai

Nabiyullah Ibrahim alaihissalam menghancurkan patung-patung, tapi membiarkan patung yang paling besar. Dibiarkan, untuk mancuci otak kaumnya. 

Maka, ketika Nabi yang mendapat julukan moyang para nabi ini ditanya, “Apakah kamu yang memperlakukan Tuhan-Tuhan kami seperti itu, Ibrahim?” 

Dengan tangkas Ibrahim menjawab, “Bukaaan! Tapi yang melakukannya adalah tuhan yang paling besar itu. Coba, tanya aja. Mikiiiir!” (QS. Al Anbiya: 58-63.)

Jauh setelah peristiwa tersebut, Baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pun menghancurkan berhala-berhala yang sebelumnya dijadikan sesembahan oleh masyarakatnya. 

Ketika orang-orang Mekkah yang sebelumnya sangat memusuhinya, sudah bertekuk lutut. Ketika orang-orang pada berlarian menyelamatkan diri. Sebagian Sahabat berseru, “Alyaum, yaumul malhamah = hari ini adalah hari pembantaian!” 

Baginda Nabi segera mematahkan seruan itu, “Alyaum yaumul marhamah = hari ini adalah hari pengasihan!” 

“Pergilah kalian semua wahai orang-orang Quraisy, kalian semuanya bebas, selamat!” kata Nabi.

Baginda juga bersabda, “Siapa yang masuk Ka'bah, dia selamat. Siapa yang masuk rumah Abu Sufyan, dia selamat. Siapa yang masuk rumahnya sendiri, maka diapun selamat!” 

Nah, pada kondisi seperti itulah Baginda kemudian melakukan pembersihan Ka'bah dari semua hal-hal yang mengandung syirik. Terlebih orang-orang Arab ketika itu bukan mengingkari Allah sama sekali, tapi mereka mempersekutukan-Nya dengan berhala-berhala yang mereka beri nama: Lata, Manat, Uza dan lain-lain. 

Ka'bah adalah jantung tauhid. Kelak bangunan yang disebut Allah sebagai awwala baitin wudhi'a fil ardhi ini, pun menjadi kiblat abadi ummat Islam. Setelah sebelumnya kaum muslimin shalat menghadap ke Baitul Maqdis. 

Coba sekarang kita urut, dua peristiwa penghancuran berhala di jaman Nabi Ibrahim dan di jaman Rasulullah Muhammad --alaihimas shalatu wassalam, dengan aksi smackdown sesajen di Kaki Semeru yang baru lalu.

Membuat penyamaan pada tiga peristiwa di atas itu lazim kita sebut dengan qiyas ma'al fariq atau membuat analogi dua hal yang berbeda. 

Sayyiduna Ibrahim --alaihissalam menghancurkan patung-patung dan membiarkan yang paling besar, sebagai media adu argumen untuk menyadarkan masyarakatnya, bahwa patung-patung tersebut sama sekali tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat apapun. Laa yanfa'u walaa yadhurru! 

Nabi Ibrahim ngajak kaumnya untuk mikir! Maka, beliau berujar, “Fas'aluhum in kanu yantiqun = tanya saja mereka, kalau memang mereka bisa ngomong!” 

Sedangkan penghancuran berhala-berhala oleh Rasulullah dan para Sahabat para peristiwa Fathu Makkah, adalah hal yang memang niscaya dilakukan. Sebagai wujud penuntasan kesyirikan di rumah Allah (masjid), yang notabene menjadi tempat ibadah orang Islam. Apalagi kemudian Ka'bah itu kelak menjadi kiblat kita semua. 

Jadi tak ada celah apapun untuk membiarkan secuil saja unsur kesyirikan di Masjidil Haram! 

Berikutnya, penghancuran Ka'bah itu dilakukan pada suasana kemenangan dan penaklukan. Saat para penyembah berhala itu sudah pasrah terhadap nasib yang akan mereka terima dari orang-orang yang sudah mengalahkan mereka. 

Nah, sekarang orang yang mencampakkan sesajen dan menendangnya di Dusun Sumbersari, Lumajang itu, seperti apa sebenarnya perbuatannya? 

Dia datang ke lokasi konon sebagai relawan, untuk memberikan bantuan pertolongan kepada para korban erupsi Semeru. Lantas, apa urusannya memberikan bantuan kemanusiaan dengan bersih-bersih sesajen? 

Dia melakukan aksinya dengan penuh kepongahan, divideokan, kemudian di-upload dan di-share! Apa gak ngajak berantem orang?  

Di sela-sela takbirnya dengan lantang dia berseru, bahwa sesajen itulah yang mengundang murka Allah. Maksudnya penyebab erupsi Semeru itu disebabkan oleh keberadaan sesajen tersebut. 

Dengan kata lain, dia menegaskan, bahwa kalau tidak ada sesajen itu maka Semeru tidak akan erupsi. Hey banguuun! Ngopi dulu sama orang-orang BMKG! 

Apakah ketika semua sesaji yang memang identik dengan masyarakat Tengger itu sudah hilang, kemudian gunung tidak akan lagi meletus? Mikiiiir! 

Maka sebaiknya, saran saya kepada penendang sesajen itu, dan orang-orang serupa dengannya, kalau mau berdakwah, hadirlah di tengah-tengah masyarakat Tengger sepanjang masa. Bukan saat terjadi gunung meletus saja. 

Lakukan dakwah secara berkesinambungan, lembut dan hormatilah mereka dengan segenap kearifan lokal yang ada di sana. Sebagaimana kata Ibnu Syaraf Al Qirwani, “Darihim ma dumta fi darihim wa ardhihim ma dumta fi ardhihim = Maklumi mereka selama kau berada di /rumah/kampung mereka. Bertoleransilah dengan mereka selama kau berada di tanah mereka!” 

دارهم ما دمت في دارهم و أرضهم و دمت في أرضهم

Ini adalah ungkapan yang sangat terkenal di kalangan para pembelajar Balaghah, karena sering dijadikan contoh untuk menerangkan bentuk ‘jinas tam’ dalam ilmu Badi'. 

Ibnu Syaraf Al Qirwani melontarkan syi'ir tersebut untuk memotivasi Ibnu Rasyiq yang enggan memasuki Andalus karena tidak sepakat dengan berbagai kebiasaan di Andalus yang dianggapnya menyimpang. 

Jadi kalau orang-orang penendang sesajen itu dan segenap orang yang serupa dengannya serius ingin berdakwah membebaskan masyarakat Tengger dari ritual-ritual semacam itu, sekali lagi tinggallah bersama mereka. 

Sampaikan Islam kepada mereka dengan indah, beri penyadaran secara terus menerus, ajak mereka shalat secara bertahap dan beritahu mereka perlahan-lahan akan keburukan sesajen. 

Tapi berdakwah memang butuh kesabaran dan waktu yang lama. Sedang mencampakkan sesajen hanya butuh emosi sesaat dan lima menit saja kemudian viral! 

(fb)
Baca juga :