Sesat Pikir Seks di Kampus
Oleh: Dr H. Syamsuddin Arif, MA (Mustasyar NU Jakarta Selatan)
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) telah menuai kecaman pedas dan penolakan tegas dari berbagai elemen masyarakat, kendati sejumlah pejabat termasuk Menteri Agama (Menag) tampil mendukungnya.
Niat baik memang tak selalu mendapat tanggapan baik. Niat buruk apatah lagi, meskipun kita terkadang sulit memastikannya. Di atas kertas, Permen tersebut bertujuan mencegah dan menangani berbagai bentuk kekerasan seksual di Perguruan Tinggi.
Salah satu frasa kunci yang diulang-ulang seperti wirid dalam teks Permen itu adalah “tanpa persetujuan” (Pasal 5 ayat 2 butir b, f, g, h, l, m) yang merupakan pengindonesiaan kata-kata “without consent” dan “nonconsensual”. Maksudnya, aneka tindakan seksual secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi tanpa persetujuan korban adalah kejahatan alias perbuatan kriminal. Ini berarti pertimbangan utama dalam menilai suatu perbuatan seksual seseorang bukan lagi norma kesusilaan, etika ataupun agama –bukan lagi, akan tetapi ada atau tidak adanya “persetujuan” (consent) dari korban.
Karenanya bisa dipahami bahwa, menurut Permen ini, adanya persetujuan antara kedua pelaku berarti perbuatan tersebut bukan kriminal. Sebagaimana dinyatakan oleh Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, salah satu kecacatan materil terdapat pada Pasal 5 yang memuat frasa “tanpa persetujuan korban” dan menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis “persetujuan”.
Konvensi Istanbul
Terbitnya Permen ini tak lepas dari pekembangan politik internasional di mana pemerintah negara-negara berkembang didorong untuk mengikuti langkah negara-negara Barat yang sudah meratifikasi Konvensi Istanbul –yakni perjanjian internasional tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kekerasan terhadap Wanita dan Kekerasan Rumah Tangga, yang telah disahkan oleh Majelis Eropa (The Council of Europe) pada tanggal 10 Mei 2011 di Istanbul. Menariknya, meski awalnya menyetujui, pemerintah Turki melalui dekrit Presiden Erdogan pada 20 Maret 2021 kemudian mencabut persetujuannya.
Dalam pernyataan resminya, juru bicara kepresidenan Turki menegaskan bahwa perjanjian internasional tersebut –yang pada mulanya bertujuan melindungi hak asasi perempuan– telah ‘dibajak’ oleh sekelompok orang untuk menormalisasi hubungan sesama jenis -sesuatu yang jelas berseberangan dengan nilai-nilai masyarakat dan keluarga di Turki: “The Istanbul Convention, originally intended to promote women’s rights, was hijacked by a group of people attempting to normalize homosexuality – which is incompatible with Turkey’s social and family values. Hence, the decision to withdraw.”
Penolakan juga terjadi di Bulgaria, Slovakia, Polandia dan Hungaria, walaupun mayoritas negara-negara Eropa menyetujuinya. Pada 17 Desember 2020, setelah melalui perdebatan panjang, Parlemen Denmark mengesahkan undang-undang yang mengkriminalkan hubungan seks tanpa persetujuan (“sex without consent”).
Konsep ‘Persetujuan Seks’
Dalam buku teranyar berjudul Sexual Consent, David Archard mengatakan bahwa konsep ini berdiri di atas dua prinsip yaitu: pertama adalah prinsip ‘sama-sama setuju’ (Principle of Consensuality) bahwa “semua yang dilakukan oleh orang dewasa yang bersetuju adalah benar” (whatever consenting adults do is all right). Kedua adalah prinsip ‘tidak saling setuju’ (Principle of Non-consensuality) yang berbunyi “ada sesuatu yang tidak benar jika salah seorang tidak menyetujuinya” (something is not all right if somebody does not agree to it).
Kedua prinsip ini diharapkan menjadi alternatif pengukur benar-salah, baik-buruk, dan boleh-tidaknya suatu perbuatan atau perlakuan seksual. Intinya, menurut konsep ini, persetujuan adalah patokan yang paling menentukan.
Kalau pelakunya sudah S2 (‘saling setuju’) atau S3 (‘suka sama suka’), maka perbuatan mereka tidak salah, tidak dilarang, dan tidak bisa dikriminalkan. Sebaliknya, kalau dilakukan tanpa persetujuan, dan hanya bila salah satu pihak tidak setuju, barulah perbuatan seksual itu dianggap salah, asusila, dan kriminal.
Maka apapun yang dilakukan oleh orang-orang dewasa S2 dan S3 mesti dibolehkan (dilegalkan), walaupun perbuatan tersebut dianggap menjijikkan atau mengguncangkan oleh orang lain. Dalam bahasa aslinya: Consent makes all the difference between the permissibility and impermissibility of sexual practice or activity. A sexual practice which is not consented to is immoral. Conversely, a sexual practice which is consented to is permissible. Whatever people do as ‘consenting adults’ should be allowed, even if the rest of us find a particular practice disgusting or shocking. (Lihat: David Archard, Sexual Consent. London: Routledge, 2019).
‘Sesat Logika’
Menanggapi penolakan terhadap Permendikbud itu, seorang pegiat filsafat menulis cuitan kritis sebagai berikut (saya kutip dengan perbaikan ejaan):
“Jika hubungan seksual dilakukan secara non-konsensual, maka tidak boleh” itu tidak bisa disimpulkan menjadi “Jika hubungan seksual dilakukan secara konsensual, maka boleh”. Penyimpulan seperti ini namanya “denying the antecedent” dan ini termasuk sesat pikir formal dalam logika klasik. ”
Dalam waktu singkat cuitan ini telah dicuit ulang dan disukai oleh ribuan orang –suatu kenyataan yang menunjukkan betapa banyak orang yang lebih cenderung kepada taklid buta daripada berpikir jeli dan mandiri.
Ada beberapa masalah pada cuitan pegiat filsafat di atas.
Pertama, penyimpulan sebagaimana disebut di atas itu salah (fallacious) kalau proposisi itu kondisional satu arah. Namun, jika bi-kondisional (dua arah – if and only if), maka penyimpulan seperti itu benar (valid).
Contohnya proposisi ini: Kalau ayam dibunuh secara non-syar’i, maka tidak boleh dimakan. Pada contoh ini, bila konsep “syar‘i” itu equivalent dengan “halal”, dan “non-syar‘i” itu “haram”, maka penyimpulan “jika ayam dibunuh secara syar’i, maka boleh dimakan” tidak salah. Yang sesat pikir di sini justru menyangka pernyataan bersyarat dua arah itu sebagai satu arah: “mistaking bi-conditional (talāzum) for conditional (luzūm) proposition”.
Kedua, terkait pernyataan tersebut, bila dipastikan dan disepakati bahwa istilah “non-consensual” bermaksud sama dan koekstensif dengan “illicit”, pun sebaliknya “consensual sex” adalah “lawful sex”, maka penarikan kesimpulan seperti ia sebutkan itu valid (sah). Penyimpulan yang dimaksud itu valid sebagai “argumentum a contrario” (dalam istilah ilmu hukum positif) atau “mafhum al-mukhalafah” (dalam ilmu usul fiqh), yaitu menetapkan kebalikan dari hukum yang ekplisit (mantuq) karena tidak ada hukumnya (secara eksplisit).
Ketiga, yang dinamakan “denying the antecedent” itu kesalahan berpikir (logical fallacy) apabila: (i) proposisi kondisional tsb satu arah, dan (ii) apabila proposisi kondisional tsb merajut dua konsep yang tidak sama luasnya. Contoh: Jika dia menteri, maka dia pasti manusia. Sesat pikir yang disebut “denying the antecedent” (nafyul muqaddam) itu terjadi ketika anda menyimpulkan begini: Dia bukan menteri, maka dia bukan manusia. Jelas keliru karena “menteri” lebih sempit dari “manusia”.
Namun, jika dua konsep yang dirajut oleh proposisi kondisional tsb sama luasnya, maka tidak ada masalah. Misalnya proposisi kondisional ini: Kalau dia berakal (rasional), maka dia manusia. Maka pada contoh tadi, denying the antecedent tetap menghasilkan kesimpulan yang valid: Kalau dia tidak berakal, maka dia bukan manusia. Mengapa? Karena ‘humanity’ dan ‘rationality’ itu sama luasnya (co-extensive).
Keempat, sebuah argumen dinilai benar atau salah bukan hanya secara formal (ditinjau dari strukturnya), akan tetapi juga secara material (ditinjau dari derajat kepastian atau nilai kebenaran tiap-tiap proposisi yang menjadi premis-premisnya). Ini belum termasuk tinjauan dari aspek modalitasnya.
Kembali ke persoalan Permendikbud, tak dipungkiri oleh hati nurani dan akal yang jernih bahwa undang-undang yang kita buat adalah cermin diri kita, ideologi dan worldview kita, visi dan ambisi kita. Konsep kesepakatan seks (sexual consent) maupun seks dengan kesepakatan (consensual sex) yang melandasi Permendikbud tersebut secara halus menggusur nilai-nilai moral dan agama terkait pernikahan dan keluarga.
Implikasinya, peraturan ini membolehkan hubungan seks tanpa pernikahan (non-marital) dan bahkan tidak mempersoalkan apakah hubungan seksual itu dengan lain jenis ataupun sesama jenis (homoseksual LGBT).
Semoga Tuhan mengampuni dan merahmati kita semua.
(Sumber: Hidayatullah)