Dugaan Skenario Hukuman Ringan buat Jaksa Pinangki
Pegiat antikorupsi dan ahli hukum mempertanyakan sikap Kejaksaan Tinggi Jakarta yang menolak mengajukan kasasi terhadap vonis ringan jaksa Pinangki Sirna Malasari. Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menduga ada upaya Kejaksaan melindungi Pinangki agar lolos dari jeratan hukum yang berat.
Indikasi perlindungan itu antara lain jaksa penuntut umum menuntut Pinangki dengan tuntutan ringan serta mendakwa Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan pada Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung ini dengan pasal korupsi yang ancamannya lebih rendah. Kurnia mengatakan jaksa penuntut mendakwa Pinangki dengan Pasal 5 dan 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pasal 5 mengatur penerimaan uang dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara. Lalu Pasal 15 mengatur pemufakatan jahat yang ancaman hukumannya merujuk pada Pasal 5. Kemudian Pasal 3 tentang pencucian uang dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Dari dakwaan itu, jaksa penuntut lantas menuntut Pinangki selama 4 tahun penjara. Kurnia menilai tuntutan ini sangat rendah, padahal jaksa juga mendakwa Pinangki dengan pasal pemufakatan jahat.
“Mestinya tuntutannya sejak awal jauh lebih berat karena ia juga diduga melakukan pemufakatan jahat,” kata Kurnia, kemarin (6/7/2021).
Ia mengaku tidak kaget atas sikap jaksa penuntut yang memilih tidak mengajukan kasasi ketika Pengadilan Tinggi Jakarta memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Pada pertengahan Juni lalu, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memangkas hukuman Pinangki menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp 600 juta. Hakim beralasan Pinangki telah mengaku bersalah, seorang ibu dari anak balita, dan seorang perempuan yang harus mendapat perlindungan. Meski begitu, hakim tetap memutuskan bahwa Pinangki terbukti bersalah telah menerima suap dari Joko Soegiarto Tjandra—terpidana hak tagih Bank Bali, pemufakatan jahat, serta pencucian uang.
Pinangki menerima suap dalam urusan permohonan fatwa bebas Joko Tjandra ke Mahkamah Agung terkait dengan kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Kasus suap ini terungkap ketika Joko mengajukan peninjauan kembali perkara hak tagih Bank Bali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tahun lalu. Saat itu Joko berstatus buron. Tapi Joko bisa menyelinap ke Indonesia karena bantuan Anita Kolopaking, pengacaranya, serta dua jenderal di Kepolisian Republik Indonesia. Belakangan, Joko tertangkap di Malaysia.
Dari situ terungkap bahwa Pinangki beberapa kali bertemu dengan Joko di Malaysia. Pinangki bersama Anita ternyata bersama-sama merancang rencana pembebasan Joko dalam kasus korupsi Bank Bali.
Menurut Kurnia, hukuman Pengadilan Tinggi Jakarta itu sudah sejalan dengan tuntutan jaksa penuntut. Dengan demikian, sangat lumrah jika Kejaksaan tidak mengajukan kasasi. Ia justru menduga sejak awal Kejaksaan mengupayakan hukuman ringan bagi Pinangki karena dekat dengan petinggi di Kejaksaan Agung.
"Kedekatan Pinangki itu terkuak ketika ada pemeriksaan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung terhadap Pinangki lantaran bertemu dengan Joko Tjandra," kata Kurnia.
Hasil pemeriksaan tersebut membeberkan bahwa Pinangki melapor kepada seorang atasannya di Kejaksaan Agung setelah menemui Joko di Malaysia. Tapi hasil pemeriksaan Jamwas ini diduga tidak menjadi rujukan saat penyidikan perkara Pinangki di Kejaksaan.
Kurnia mengatakan ICW berencana mengajukan hak eksaminasi atau penilaian atas putusan hakim terhadap perkara Pinangki tersebut. ICW akan menagih janji Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengambil alih pengembangan kasus Pinangki tersebut.
Kepala Sub-Direktorat Media dan Humas Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Muhammad Isnaini, enggan mengomentari tuduhan ICW ihwal adanya upaya lembaganya melindungi Pinangki. Ia mengatakan sejak awal perkara itu sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
"ICW biar saja. Tanya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, ya," kata Isnaini.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Riono Budisantoso, mengatakan pihaknya tidak akan mengajukan kasasi karena vonis Pengadilan Tinggi Jakarta sudah sejalan dengan tuntutan jaksa penuntut. "Tidak terdapat alasan untuk mengajukan permohonan kasasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 253 ayat 1 KUHAP," kata Riono.
Pasal 253 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) mengatur syarat pengajuan kasasi. Misalnya, pengadilan telah melampaui batas wewenang, peradilan tidak memenuhi undang-undang, dan peraturan tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Riono berpendapat syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi dalam perkara Pinangki.
Merusak rasa keadilan masyarakat
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menganggap bahwa sikap Kejaksaan dan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta telah merusak rasa keadilan masyarakat. Ia mengatakan seharusnya Pinangki diganjar hukuman selama 10 tahun penjara, sama dengan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Salah satu faktornya bisa jadi karena ingin melindungi Pinangki," katanya.
Menurut Fickar, sikap Kejaksaan yang menolak mengajukan kasasi telah memupus harapan masyarakat untuk mendapat keadilan dari kejahatan yang dilakukan oleh Pinangki. Ia mengatakan saat ini sudah tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan karena kesempatan kasasi hanya bisa dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan terdakwa. Sedangkan pihak Pinangki tidak mungkin mengajukan kasasi setelah hukumannya dikurangi.
(Sumber: KORAN TEMPO, 7 Juli 2021)