Puan-Anies atau Anies-Puan, Berjodohkah?

Puan-Anies atau Anies-Puan, Berjodohkah?

Oleh: Ady Amar*

PUAN-ANIES adalah wacana jodoh-jodohan yang diusulkan Effendi Simbolon, pengurus PDI-P, dan anggota DPR RI. Ia terang-terangan menolak “perjodohan” Prabowo Subianto dengan Puan Maharani. Tanpa tedeng aling-aling, ia katakan bahwa Prabowo sudah sulit dijual untuk Pilpres 2024. Lebih kurang demikian ujarnya.

Pantasnya Mbak Puan itu disandingkan dengan Anies Baswedan. Artinya, Puan untuk capres, dan Anies cawapresnya. Jika dengan Prabowo posisi Puan hanya sebagai cawapres. Mungkin itu juga pikirnya. Ia ingin putri mahkota PDI-P itu nantinya sebagai RI-1.

Tawaran perjodohan versi Effendi Simbolon ini sulit direalisasikan. Banyak faktor yang melatarbelakangi. Satu di antaranya, bukannya pekan lalu jelas-jelas PDI-P sudah menjelaskan adanya perbedaan “ideologi” dengan partai PKS, partai yang jelas-jelas mengusung Anies Baswedan, bahkan sejak pencalonannya menjadi calon gubernur DKI Jakarta.

Memang sih tidak jelas apa yang dimaksud dengan beda “ideologi” sebagaimana ungkapan Sekjen PDI-P, Hasto Kristianto. Tampaknya Hasto asal jeplak, bicara tanpa mikir. Apa yang dimaksudnya itu PKS tidak berideologi Pancasila, dan hanya PDI-P partai yang paling pancasilais? Mestinya harus dijlentrehkan apa yang dimaksudnya dengan beda “ideologi” itu.

Jangan hanya berwacana beda “ideologi” dan jika ditanya bedanya di mana tak mampu jawab. Itu sih sama dengan kucing maling dendeng. Setelah mencuri lalu lari terbirit. Bicara asal gagah-gagahan tanpa makna, itu menandakan kualitas bersangkutan.

Beda “ideologi” itu bisa jadi yang memisahkan Puan dan Anies, setidaknya itu versi Hasto. Sedang yang kedua, yang sulit direalisasikan adalah posisi Anies yang sebagai cawapres. Memangnya yang mau dijual itu Puan atau Anies. Ini dulu yang perlu dijawab. Dan itu bisa dilihat dari elektabilitas keduanya.

Effendi Simbolon menjamin jika Mbak Puan (ia biasa memanggil), setelah turun ke daerah dalam rangka pencapresan, maka elektabilitasnya akan naik dengan sendirinya, bahkan melebihi Ganjar Pranowo. Dan itu yang dikatakan Effendi pada Mbak Puan, meyakinkan tentang elektabilitasnya. Keyakinan Effendi Simbolon pada Mbaknya itu boleh-boleh saja.

Dalam politik yang abadi memang kepentingan. Jika beda “ideologi” versi Hasto itu dianulir, dan terjadi kemufakatan Anies-Puan. Artinya, Anies sebagai capres, dan Puan menjadi cawapresnya. Lantas kira-kira tingkat keterpilihannya berapa persen. Itu pun mesti dihitung cermat oleh partai pengusung Anies Baswedan.

Di akar rumput umat (Islam) muncul penilaian yang hampir sama, bahwa pasangan Anies-Puan itu justru akan menggerus suara Anies. Berharap Anies bisa numpang banteng, tapi justru malah manggul banteng. Maka suara umat yang membersamai Anies sejak sebagai calon gubernur hingga kini, tanpa pernah berpisah, harusnya jadi perhatian utamanya.

Tapi setidaknya Anies “dihargai” selayaknya oleh politisi PDI-P, Effendi Simbolon, bahwa ia memang bisa dijual. Bahkan menurutnya, Puan bisa memenangkan kontestasi di 2024, itu jika berpasangan dengan Anies Baswedan. Meski apa yang disampaikannya itu bersifat pribadi.

Simulasi yang Dibuat Diam-diam

Effendi Simbolon meski politisi, ia tampak bicara fair, saat kecenderungan perjodohan Partai Gerindra dan PDI-P (Prabowo-Puan), ia memilih sikap yang berbeda dengan arus besar yang ada di partainya.

Ia tidak melihat elektabilitas Prabowo Subianto, yang di hampir seluruh lembaga survei ada di posisi 1. Anies dan Ganjar saling salip menyalip di urutan 2 dan 3. Tapi ia mengabaikan hasil lembaga survei yang ada, yang memposisikan Prabowo ada di atas Anies.

Memang bukan rahasia umum lagi, bahwa hanya sedikit lembaga survei yang benar-benar obyektif dalam merilis surveinya. Dan Effendi Simbolon pastinya tahu persis dengan lembaga-lembaga survei itu. Bahkan bisa jadi ia tahu, mana hasil elektabklitas yang dikatrol dan mana yang riil hasil yang sebenarnya.

Pilpres masih sekitar 2,5 tahun lagi. Segala kemungkinan bisa terjadi. Maka hal yang biasa jika kita lihat suasana sudah mulai dipanaskan dengan manuver-manuver yang ada. Kunjungan Prabowo Subianto dan jajarannya ke Teuku Umar (kediaman Megawati Soekarnoputri), disambut dengan suka cita.

Setelah acara itu, muncullah pernyataan tidak produktif Hasto tadi, yang mengatakan PDI-P menolak berkoalisi dengan PKS dan Partai Demokrat. Yang satu beda “ideologis”, sedang yang satunya beda “DNA”.

Muncullah manuver-manuver lainnya, acara kunjung-mengunjungi dilakukan dengan intensitas tinggi, dan tentu dengan mengundang media. Paling anyar adalah kunjungan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat, yang mengunjungi Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Mereka berboncengan moge, Ridwan Kamil membonceng AHY. Dan lalu seperti biasanya di depan pers keduanya saling puji-memuji.

Sebelumnya, Ridwan Kamil juga didatangi Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar. Jauh sebelumnya, baik AHY dan Airlangga juga mendatangi Anies di Balai Kota Jakarta. Dan yang fenomenal saat Anies menghadiri undangan Rakorwil Partai Nasdem DKI Jakarta, yang hadir untuk membukanya, suasana di acara itu menjadi gemuruh suara hadirin mengelu-elukannya layaknya Presiden.

Pemanasan sudah dimulai, dan itu hal biasa. Saling membuat panggung dan beritanya sendiri untuk pada saatnya bisa diperhitungkan laik tidaknya untuk dijual. Maka sudah mulai dimunculkan simulasi siapa berpasangan dengan siapa.

Tentu simulasi ini bisa jadi acuan partai pengusung untuk mempertemukan jagoannya bersanding dengan siapa pada perhelatan Pilpres 2024 itu. Maka tampaknya hanya Anies yang dalam simulasi yang diadakan diam-diam berbagai partai, adalah yang paling menjual. Dan itu bisa tampak dari seberapa banyak perhatian partai-partai yang ada untuk menjodohkannya dengan kandidat yang diusung partai lain.

Tentu apa yang diusulkan Effendi Simbolon yang menjodohkan Mbak Puan(nya) dengan Anies, itu bukan sekadar lip service. Ia punya hitungan-hitungannya sendiri. Wallahu a’lam. (*)

*Kolumnis, tinggal di Surabaya

(Sumber: Hidayatullah)
Baca juga :