Ujian Keadilan di Sidang Rizieq
CARA jaksa mendakwa pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Syihab, dengan tiga perkara dan 18 pasal pidana terkesan berlebihan. Apalagi tuduhan jaksa melebar, dari urusan pelanggaran karantina menjadi persoalan penyebaran kabar bohong yang menimbulkan keonaran. Dakwaan yang serampangan ini memantik wasangka: persidangan Rizieq lebih kental kepentingan politik ketimbang penegakan hukum.
Rizieq menjadi pesakitan dalam kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat; kasus kerumunan di Megamendung, Bogor, Jawa Barat; dan perkara tes usap di Rumah Sakit Ummi, Bogor. Atas permintaan jaksa dengan alasan keamanan dan kemudahan, Mahkamah Agung memutuskan tiga perkara itu disidang sekaligus di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Sidang perdana atau pembacaan dakwaan digelar online. Tapi, karena Rizieq berkeberatan, hakim memutuskan persidangan selanjutnya digelar secara tatap muka.
Sejak kasus ini ditangani kepolisian, ada kesan kuat penyidik hendak membidik Rizieq dengan segala cara. Termasuk saat menahan Rizieq menggunakan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara. Rizieq dijerat dengan pasal ini karena dianggap menghasut massa sehingga menimbulkan kerumunan di Petamburan. Tuduhan ini prematur karena polisi tak pernah tegas membuktikan timbulnya perbuatan pidana akibat kerumunan--yang merupakan syarat pengenaan pasal tersebut.
Setelah dakwaan dibacakan, baru diketahui daftar panjang tuduhan yang dikenakan kepada Rizieq. Dia, misalnya, dijerat dengan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan karena terus beraktivitas ketika izin FPI sudah kedaluwarsa. Klaim Rizieq bahwa dia adalah pemimpin FPI juga dinilai jaksa merupakan tindak pidana karena organisasi itu belakangan dilarang melalui surat keputusan bersama tiga menteri. Tudingan itu terasa mengada-ada.
Tuduhan jaksa yang juga ganjil adalah soal penyebaran kabar bohong yang menimbulkan keonaran terkait dengan insiden di RS Ummi, Bogor. Jaksa mendasarkan dakwaannya pada pernyataan Rizieq kepada media bahwa dia tidak terinfeksi Covid-19, meski sebenarnya positif tertular virus corona. Ulah Rizieq itu disambut pro dan kontra di publik. Apa pun kegaduhan yang terjadi di media sosial akibat kebohongan itu, tindakan jaksa mengenakan pasal dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara jelas berlebihan.
Bukan kali ini saja laku lajak Rizieq berujung pada pidana. Pada awal 2017, polisi membidiknya dengan tujuh kasus, dari dugaan percakapan mesum hingga hasutan kebencian. Serangkaian kasus tersebut muncul setelah Rizieq memimpin demo besar 411 dan 212 di Jakarta, yang menuntut Gubernur Jakarta ketika itu, Basuki Tjahaja Purnama, dihukum dalam kasus penistaan agama. Namun Rizieq “dibiarkan” terbang ke Arab Saudi sebulan sebelum berstatus tersangka percakapan mesum. Belakangan, polisi menghentikan penanganan semua perkara yang membelitnya. Terlihat betul hukum dijalankan untuk tujuan politis. Naga-naganya hal serupa terjadi lagi kali ini.
Karena itu, wibawa pengadilan kini dipertaruhkan. Majelis hakim harus benar-benar menguji dakwaan jaksa dengan kacamata penegakan hukum. Bila perlu, majelis hakim bisa meminta jaksa berfokus membuktikan tuduhan pokok terhadap Rizieq, tidak perlu melebar ke tuduhan lain yang terkesan asal-asalan.
Di sisi lain, Rizieq dan pendukungnya juga harus menghormati proses persidangan. Jangan mentang-mentang tuntutan persidangan tatap muka dikabulkan, lalu ada pengerahan massa dan kegaduhan selama sidang. Langkah pengacara Rizieq meminta maaf karena sempat berteriak kepada hakim dan jaksa merupakan tindakan yang benar, tapi akan lebih elegan jika tak berulang.
(Sumber: Editorial Majalah TEMPO, edisi 27 Maret 2021)