[PORTAL-ISLAM.ID] Ida Ayu Komang memberikan kesaksianya soal syariat Islam yang diterapkan di Aceh. Ida menuturkan itu melalui akun Facebooknya.
Berikut kesaksianya:
Buat buzzeRP yang anti syari'at dan suka menjelekkan Aceh. Sini, aku bisikin.
Aku pindah ke provinsi ini tahun 2011 akhir. November kalau nggak salah. Pindah karena suami asli orang sini.
Aku kaget waktu pertama sampai. Jalanan mulus. Nggak seperti provinsi tempat asalku, jalan provinsi pun penuh lobang hingga ada yang ditanami pisang oleh masyarakat.
Kata suami waktu itu, "Di sini pantang jalan berlobang, Dek. Langsung diperbaiki."
Lebih terkejut lagi, jalan setapak ke sawah dan ladang pun beraspal, minimal disemen.
Keesokan hari, saat melapor ke kantor Bupati, aku terkejut. Semua pegawai dan Bupatinya ramah. Berbeda jauh dari tempat asalku.
Malas rasanya berurusan ke kantor kalau di tempat asalku. Urus apa-apa pakai duit. Pegawainya songong tingkat awan. Pejabatnya, songong tingkat langit. Wajah nggak ramah. Setingkat lurah pun berlagak menteri.
Di sini, justru aku yang ditanya, "Ada perlu apa, Kak?" Mereka pun yang antar kita ke dalam kantor menjumpai kepala dinas bahkan bupati.
Saat malam aku keluar bareng suami. Aku kaget lagi. Banyak penjual, terutama penjual sayur dan buah tidak menyimpan jualannya.
Saat sholat Jum'at, toko tidak ditutup hanya diberi tanda dua kursi dan sapu, pertanda toko tak melayani pembeli karena sholat Jum'at.
Aku tanya suami, "Nggak takut dicuri, Bang?"
"Di sini nggak ada pencuri, Dek." Itu jawaban suami saat itu.
Sayang, sekarang banyak maling datang dari luar.
Yang luar biasa, pelayanan RS. Gratis untuk seluruh masyarakat ber-KTP Aceh. Cuci ginjal, pasang ring, operasi besar, dan treatment lainnya gratis. Saat ini, untuk test Covid pun gratis.
Satu lagi, kalau kalian ke Aceh, nggak akan ketemu bus jelek. Beda dengan tempat asalku.
Orang Aceh itu ramah-ramah dan baik. Aman tinggal di sini. Nggak takut kesasar juga. Orang akan dengan senang hati membantu.
Aku pernah ketinggalan dompet di toko buah. Lupa di mana. Setelah ditelusuri ternyata tertinggal di toko buah. Saat itu aku sudah di Jakarta. Suami yang jemput setelah 2 hari. Masih utuh tanpa hilang sepeser pun.
Di tempatku ini susah mencari orang miskin, apalagi fakir. Sesusahnya orang di sini pakai emas.
Seringkali, ketika aku ingin bersedekah harus titip Ummi di kampung halamanku.
Gaji buruh di sini lumayan tinggi. Itu sebabnya, banyak pendatang yang nggak mau lagi pulang.
So, ketika syari'at Islam ditegakkan, masyarakat hidup aman dan damai. Minim pencurian dan tindakan jahat dan maksiat lain.
Sebaik apa pun sebuah tempat, pasti ada juga kekurangannya. Tak ada yang sempurna di muka bumi ini.
Tetapi, dibandingkan jeleknya, bagusnya lebih banyak.
Nah, yang nggak betah tinggal di Aceh pasti pecinta maksiat. Maling, pezina, pemabuk, anti hijab, dan pecinta maksiat.
Coba tanya non Muslim yang tinggal di sini. Mereka aja pun betah. Aku sering ngobrol dengan mereka saat pekanan, hari Minggu, saat aku belanja.
Aku tanya apa mereka betah dan gimana perlakuan saudara Muslim ke mereka.
Mereka jawab nyaman dan nggak mau pulang kampung. Bahkan ada yang mengatakan ada anaknya yang muallaf.
"Kenapa dikasih masuk Islam, Namboru?"
"Dia suka. Lagian mau Islam, mau Kristen, yang penting dia baek ma aku. Kutengok, tambah baek dia abis masuk Islam. Udah nggak minum tuak lagi." Itu jawaban salah satu wanita setengah baya yang pernah kutanya waktu aku beli baju bekas yang dia jual.
So, jangan percaya pemberitaan nggak benar apalagi yang disebarkan buzzeRp.
[Sumber: fb]
Buat buzzeRP yang anti syari'at dan suka menjelekkan Aceh. Sini, aku bisikin. Aku pindah ke provinsi ini tahun 2011...
Dikirim oleh Ida Ayu Komang pada Rabu, 08 Juli 2020