BEBAL
Sayang, dia memilih mengabaikan penilaian tokoh2 dan para ahli. Dia mengambil kebijakan sendiri, memilih PSBB sebagai langkah lanjutannya.
Corona tidak terhenti, kurva naik turun dalam 1 bulan PSBB bukanlah indikator yang mengkhawatirkan baginya. Secara sepihak, ia mengumumkan diberlakukannya New Normal. Meminta masyarakat sadar akan protokol kesehatan.
Segala pintu masuk dan arus transportasi dibuka, disituasi yang seharunya masih waspada, ia mengajak masyarakat geliatkan ekonomi kembali.
Para ahli teriak, dokter dan perawat mengurut dada karena menyadari ini bahaya. Corona belum pergi, tapi semuanya dibuat seolah normal kembali. Berbagai masukan dan saran disebarkan padanya.
Namun lagi-lagi dirinya bebal untuk menerima, berkata optimis bulan Juli corona akan pergi. Namun yang terjadi, kurva pertambahan korban positif dan meninggal justru mendaki.
Angka 3.000 per hari penambahan pasien bukan lagi hal yang mengagetkan. Memasuki angka 4,000 kasus per hari, dirinya pun tetap santai menyikapi.
Saat ini, dalam angka keadaan corona di negara kita sudah menyentuh angka 4.100 kasus/hari. Setiap menit ada 2 warga nusantara terpapar corona. Dalam setiap jam, ada 5 orang yang meninggal dunia. Bayangkan pusarannya...
Semua orang khawatir, hanya dirinya yang selalu tenang menyikapi seolah nyawa manusia hanyalah statistik belaka.
Pilkada didepan mata, kluster terbesar sudah membayang didepannya. Jika Pilkada dilaksanakan, segala aktifitasnya akan menimbulkan ledakan pasien baru. Gak tanggung-tanggung prediksi para ahli yang selalu jitu menganalisa.
Jika Pilkada dilakukan, hitungan dalam angka 500 ribu orang akan terpapar corona dengan potensi penyebaranya bisa 10x lipat dampaknya. Ini sama saja dengan genosida.
Berbagai pihak memintanya menunda corona, namun entah apa yang ia takutkan, pelaksanaan pilkada tetap ia jalankan tanpa ada penundaan. Tidak mau mendengar, tidak mau merenungi semua saran. Masih mempercayai pendapat tim sendiri yang sudah terbukti semuanya tidak terkendali.
Jika sudah begini, selanjutnya bagaimana sikap kita?
(Iwan Balaoe)