ENGKONG DAN ENERGI GERAKAN SOSIAL


ENGKONG DAN ENERGI GERAKAN SOSIAL

Penulis: Ali Said Damanik*

Sekitar tahun 1998, ketika saya mulai mengumpulkan bahan untuk skripsi S1, saya kesulitan untuk mengidentifikasi siapa sebenarnya orang ini. Nara sumber-nara sumber yang saya temui satu persatu seperti menyembunyikan identitasnya.

Sebagai peneliti pemula, saya memang penasaran dengan kiprah kelompok dan orang-orang di belakang layar dari kelompok yang fenomenal saat itu. Terutama sosok yang satu ini.

Sebagai mahasiswa Sosiologi, saat itu ketertarikan utama saya adalah pada topik “Social Movement” (Gerakan Sosial), salah satu lini kajian sosiologi yang lagi happening ketika itu. Saya melihat dan merasakan sendiri bahwa pengaruh gerakan sosial kelompok ini nyata dan besar adanya, baik di kampus maupun di luar kampus. Secara obyektif, mereka menguasai institusi-institusi kemahasiswaan di kampus-kampus dan memberikan warna terhadap wacana dan praktek keagamaan, khususnya ketika itu, di kalangan kaum muda perkotaan.

Identitas seperti jilbab panjang, mahasiswa yang bangga memelihara jenggot, nasyid, kajian-kajian dan penerbitan keagamaan yang marak dan ramai di kampus-kampus sejak periode 80-an adalah produk kultural dari kelompok yang sedang saya teliti ini, ketika itu.

Ada banyak nama untuk menyebut kelompok ini saat itu; Kelompok Tarbiyyah, Anak Musholla, Aktivis Dakwah Kampus, Kelompok Ikhwan, dan lain sebagainya. Tapi tak ada satupun dokumentasi tertulis resmi yang bisa  menyebut dengan satu sebutan formal. Semuanya sebutan dari mulut ke mulut yang tidak bisa di verifikasi secara ilmiah. Saya termasuk diantara orang pertama yang mencoba menjelaskannya secara ilmiah.

Saat itu, inilah contoh dari sebuah eksperimentasi pembaruan Islam yang fenomenal di Indonesia. Karena dengan cepat menjelma menjadi sebuah gerakan sosial dan menyebar secara massif di kalangan kaum muda terdidik di perkotaan, utamanya di kampus.

Tiba-tiba saja, banyak anak-anak muda Islam –bahkan dari keluarga abangan yang orang tuanya tidak tahu apa-apa tentang Islam sebelumnya—menjadi begitu fanatik dengan ajaran Islam. Rajin beribadah dan mengaji, mulai menggunakan jilbab dan memiliki pemahaman khas tentang segala sesuatu dalam bingkai agama. Tidak jarang orang tua menjadi khawatir dengan perubahan drastis anak-anaknya itu.

Usut punya usut ternyata anak-anaknya itu mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh kelompok yang sedang kita bicarakan ini.

Sudah banyak eksperimentasi pembaruan Islam sebelumnya, dari segi pemikiran maupun praktek keagamaan, oleh para cendekiawan Islam dalam negeri maupun luar. Tetapi banyaknya cuma jadi konsumsi elitis yang tidak punya jejak apa-apa di masyarakat.

Kelompok ini, tidak menonjol dari segi gagasan-gagasan sensasional yang di produksinya, tetapi dapat membuktikan bahwa gagasan pembaharuan yang mereka bawa mendapatkan pijakan yang kokoh dan cepat diterima oleh kaum muda, dengan sebuah model pengorganisasian yang rapih dan terstruktur.

Itulah yang menjadi minat utama penelitian saya.

Saya percaya, memproduksi gagasan dan ide adalah penting. Tetapi memberikan kaki terhadap sebuah ide sehingga terimplementasi adalah jauh lebih penting. Apalagi ketika implementasi itu membutuhkan ketekunan dan kedisiplinan mengeksekusi di tengah arus sosial-budaya-politik yang tidak sejalan, membutuhkan keteguhan karakter tersendiri untuk menjalaninya.

Apatah lagi kemudian ketika pelan-pelan mentransformasi implementasi itu menjadi sebuah jaringan gerakan sosial yang terstruktur, terorganisir, bernafas panjang dan memiliki daya tawar sosial-politik yang tidak bisa diremehkan. Dibutuhkan bukan cuma bangun ide yang kokoh, karakter kuat dan kecerdasan orang-orangnya, tetapi kemampuan membaca dan menyesuaikan ide, karakter dan kecerdasan itu dengan pinsip-prinsip abadi yang berlaku di alam.

Dari penyelidikan saya yang masih unyu-unyu saat mengumpulkan bahan skripsi itu, banyak informasi mengarah kepada sosok pria yang dipanggil “Engkong” ini sebagai aktor utama dan mastermind di balik kelompok ini.  Itupun informasi yang samar dan kabur. Karena beberapa nara sumber terang-terangan menghindar dan mengalihkan topik pembicaraan ketika sampai kepada pertanyaan tentang “Si Engkong” ini. Tampak sekali dia adalah tokoh yang dirahasiakan dan diletakan di suatu tempat yang tidak semua bisa mengaksesnya.

Belakangan saya faham, bahwa dalam konteks zaman itu, ini memang sebuah strategi gerakan berbasis sel warisan trauma politik masa lalu. Hampir semua gerakan sosial yang anti mainstream di zaman itu memang mengadopsi pendekatan ala-ala bawah tanah ini.

Jadilah profil gerakan mereka ketika itu adalah sebuah gerakan tanpa bentuk yang bisa dirasakan tetapi tidak jelas identitasnya. Seperti angin, terasa tapi tak terlihat. Berbau tapi tak bisa digenggam.

Dan si Engkong ini adalah otak di balik semua fenomena yang membuat penulis penasaran itu.

Diam-diam ada kekaguman yang tumbuh terhadap sosok ini. Lepas dari baik-buruk sisi manusiawinya, tidak semua orang bisa menjadi otak sebuah gerakan sosial yang demikian fenomenal, massif dan dapat menggerakan begitu banyak anak-anak muda untuk berubah. Di negeri ini mungkin cuma segelintir orang yang dapat melakukannya. Mereka yang dikenal sebagai para idiolog.

Sampai kemudian mereka mendeklarasikan partai politik bernama Partai Keadilan seiring gerakan reformasi di tahun 1998. Identitas kelompok ini terang benderang dan mulai dikenal publik. Sebagian besar tokoh-tokoh utamanya yang selama ini seolah bersembunyi di kegelapan, muncul semuanya ke permukaan.

Kecuali si Engkong.

Namanya tidak ada dalam struktur pengurus maupun pendiri partai politik baru ini. Dia tetap misterius, tetapi orang mulai mencium pengaruhnya terhadap partai anak-anak musholla ini.

Baru pada tahun 2005, dia memunculkan dirinya secara resmi sebagai orang paling penting di partai itu. Sejak itu dia tidak misterius dan sakral lagi.

Terbukti seiring perjalanan waktu, proses politik transaksional khas negeri ini menjerat sosoknya dalam lingkaran kasus yang membuat dirinya terpental dari partai yang embrionya ditanam dan dirawatnya dengan tekun selama puluhan tahun, sejak masih berbentuk janin kecil sebuah gerakan sosial.

Meski demikian, untuk saya, si Engkong tetaplah misterius. Karena sampai hasil penelitian saya diterbitkan, saya tidak pernah berhasil menemui dan mewawancarainya. Sampai beliau meninggal minggu lalupun, saya tidak pernah punya kesempatan bertemu dan berbicara langsung dengan beliau.
______


Membutuhkan waktu paling tidak tiga tahun sampai pada akhirnya saya menyelesaikan proyek penelitian tentang fenomena gerakan sosial tersebut, dari sejak pertama diajukan sebagai proposal sampai selesai menjadi skripsi S-1.

Penelitian itu adalah proyek yang –menurut seorang rekan berkebangsaan Jerman dari Australian National University (ANU) yang kebetulan melakukan penelitian bareng dengan topik yang sama—terlalu ambisius untuk sebuah gelar S-1. Karena dia melakukan penelitian itu untuk disertasi S-3-nya.

Penelitian mahasiswa unyu-unyu S-1 Sosiologi UI itu kelak menjadi sebuah buku  rujukan peneliti-peneliti lain tentang topik yang sama. Sebagian besarnya adalah tesis dan disertasi dikampus-kampus ternama di luar negeri.

Jauh setelah episode penelitian itu, minat saya sudah bergeser dan fokus saya sudah berubah. Ada banyak spektrum minat-minat baru yang menyita konsentrasi saya. Tetapi ada satu pelajaran penting tentang rumus sebuah gerakan atau organisasi, jika ingin bertahan panjang. Apapun bentuknya. Berlaku untuk yang profit maupun non-profit.

Bukan orangnya yang hebat. Karena orang hebat datang dan pergi. Tetapi ide yang diusungnyalah yang seharusnya hebat. Bukan karena ide itu luar biasa cemerlang atau out of blue. Karena tidak pernah ada yang baru dibawah matahari.

Yang membuat ide itu hebat adalah karena telah dipahat dari pengalaman sejarah yang panjang dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip abadi yang berlaku di alam. Karena ide sehebat apapun ketika diadu dengan prinsip-prinsip purba yang kekal di alam, dia akan musnah dengan sendirinya.

Wallaahu A’lam.

*Sumber: fb
Bukan sekadar soal orang hebat, karena orang hebat datang dan pergi. Gagasan yang harus (lebih) hebat. Dan apa yang...
Dikirim oleh Eko Novianto pada Senin, 06 Juli 2020
Baca juga :