Omnibus Law Pancing “People Power” Keluar dari Sarangnya


[PORTAL-ISLAM.ID]  Istilah politik “people power” memang bukan berasal dari Indonesia. Dari sudut pandangan Bahasa saja, sudah jelas people power diadopsi dari bahasa Inggris. Istilah politik ini berawal dari ketidak sepakatan rakyat terhadap otoritas pemerintah. Pemahaman secara luas, people power merupakan tindakan revolusioner yang menimbulkan “demonstrasi jalanan” untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak mensejahterakan rakyat.

Untuk menjalin kekuatan lebih besar, sebelumnya rakyat membentuk kelompok atau organisasi. Semakin besar organisasi terjalin maka people power akan semakin besar pula. Sedangkan untuk jalinan antar organisasi-organisasi (berserikat) hal tersebut diistilahkan dengan aliansi organisasi.

Dalam konteks hari ini, beberapa pasal dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah kepada DPR RI untuk disahkan, rupanya, setelah dianalisis oleh beberapa organisasi perburuhan ketahui banyak sekali hak-hak yang merugikan buruh.

Hak-hak yang merugikan buruh tersebut, terutama “termaktub” dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dikurangi dan bahkan dihilangkan oleh RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Tentunya, perihal ini telah memancing organisasi-organisasi terutama organisasi buruh untuk keluar dari tempat mereka bekerja dan turun kejalan. Organisasi-organisasi ini menuntut kepastian Undang-Undang yang nantinya akan menentukan kinerja mereka. Tidak hanya itu, nasib mereka beserta kehidupan keluarga juga dipertaruhkan dalam Rancangan Undang-Undang ini.

Selanjutnya, peraturan yang dinilai merugikan buruh adalah soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Tertulis dalam pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, terdapat ketentuan bahwa;

“Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.”

Pasal ini telah diubah Dalam Draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi;

“Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

Setelah melakukan pengkajian secara mendalam, ternyata perubahan pasal ini sangat merugikan buruh. Pengubahan dan penghapusan pasal-pasal terkait PHK tersebut mengakibatkan buruh lebih gampang dipecat. Selain itu, pemerintah seolah-olah membenturkan antara pengusaha dengan buruh.

Misalnya saja, terjadi perseteruan antara pengusaha dengan buruh, otomatis pemerintah tidak bisa ikut campur dengan urusan ini. Karena undang-undangnya sudah diubah. Semestinya, ketika terjadi perseteruan antara pengusaha dan buruh, maka pemerintah harus hadir untuk menengahinya. Bukannya malah membiarkan pengusaha dan buruh, sehingga terjadi ketidak beradilan(adanya pihak yang dirugikan).

Yang lebih mengerikan para buruh, RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini juga mempermudah pengusaha mem-PHK buruh karena terjadi perluasan jenis-jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa perundingan terlebih dahulu.

Sedangkan menurut UU 13/2003, perihal PHK ini tertulis dalam pasal 154, PHK dapat dilakukan mencakup 4 faktor tanpa perundingan. Factor tersebut yaitu pekerja masih dalam masa percobaan, mengundurkan diri atau kontrak habis, mencapai usia pensiun, atau meninggal dunia.

Sementara itu dalam RUU Cipta kerja ini ditambahkan 4 poin lagi. Diantaranya perusahaan dapat melakukan PHK tanpa izin karena perusahaan melakukan efesiensi, dan perusahaan mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.

Perubahan undang-undang ini sudah jelas merugikan pihak buruh. Sebab itu, pemerintah berserta DPRRI hendaknya mempertimbangkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan prinsip keadilan. Selain itu, dalam penetapan undang-undang ini dalam rapat paripurna, hendaknya pemerintah dan DPRRI terus melakukan mediasi dengan pihak pengusaha dan buruh. Dan tidak ketinggalan pemerintah dan DPRRI juga harus memastikan draft RUU Omnibus Law Cipta kerja ini terkomunikasikan keseluruh pihak-pihak yang terkait melalui media massa.

Penulis: Ujang Nugroho
Baca juga :