Sikap Tegas NU Soal Natuna: Pemerintah Jangan Lembek Hadapi Cina, Mati Membela Tanah Air Adalah Mati Syahid


[PORTAL-ISLAM.ID]  Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan pernyataan sikap terkait Natuna.

Nahdlatul Ulama (NU) mendesak pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention for the Law of the Sea 1982 (UNCLOS).

NU juga meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi.

"Meskipun China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, Nandlatul Ulama meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi. Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun," demikian kutipan pernyataan sikap PBNU yang ditandatangani Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj.

NU juga menegaskan membela tanah air hukumnya fardu 'ain, dan mati membela tanah air adalah syahid.

"Dalam pandangan Nandlatul Ulama sebagaimana dinyatakan oleh pendiri Nandlatul Ulama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu 'ain (wajib bagi setiap orang Islarn). Dan barang siapa mati demi tanah aimya, maka ia mati syahid."

Berikut selengkapnya isi Pernyataan Sikap PBNU soal Natuna:

SIKAP NAHDLATUL ULAMA
TENTANG NATUNA 

Nandlatul Ulama (NU) mendesak pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS, United Nation Convention for the Law of the Sea1982).

Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994, karena itu tindakan Coast Guard RRT mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.

Pemerintah RRT secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pertama kali pada peta 1947. Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Selatan China yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok. Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatIcan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam.

Sebagaimana diketahui, Filipina sebelumnya telah memperkarakan China atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan China pada 2013. Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016 memutuskan seluruh klaim teritorial China atas Laut Selatan China sebagai tidak memiliki dasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS. Beijing menolak keputusan tersebut.

Tindakan Beijing menolak keputusan tersebut merupakan bentuk nyata pelang,garan terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia. Karena itu, Nandlatul Ulama mendukung sikap tegas Pemerintah R1 terhadap China, dalam hal ini yang telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Bakamla, termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan alctivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan R1 sebagai manijestasi dari 'Archipelagie State Principle1 yang dimandatakan oleh Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

Meskipun China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, Nandlatul Ulama meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi. Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun. Dalam jangka panjang, Nandlatul Ulama meminta Pemerintah R1 untuk mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik. 

Kedudukan laut juga amat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan. Ketidaksungguhan Pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan bcrparadigma maritim, termasuk dalam geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju dan sejahtera dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat founding fathers. 

Dalam pandangan Nandlatul Ulama sebagaimana dinyatakan oleh pendiri Nandlatul Ulama Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu 'ain (wajib bagi setiap orang Islarn). Dan barang siapa mati demi tanah aimya, maka ia mati syahid 

Jakarta, 10 Jumadal Ula 1441 H / 6 Januari 2020 M 

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA
(Ketua Umum PBNU)
Baca juga :