[ANALISA POLITIK] TRUMP MENERJANG, IRAN MENANTANG


TRUMP MENERJANG, IRAN MENANTANG
(ANALISA POLITIK KONFLIK IRAN DAN AS PASCA TEWASNYA QOSIM SULAIMANY)

Oleh: Habli Robbi Waliyya
(Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Alquranul Karim Madani, Sudan)

Timur tengah selalu menyalak. Sumbunya seakan tak pernah padam. Pembantaian di palestina belum selesai, disusul dengan konflik suriah, yaman dan pemboikotan qatar kini suhu memanas di negeri 1001 malam, Iraq. Secara mengejutkan Donald Trump memberikan acc untuk operasi pembunuhan Jendral Garda Nasional Iran, Qosim Sulaimany. Jendral pasukan elite Iran yang menjadi ujung tombak dalam manuver dan operasi militer serta intelejen baik di dalam atau luar negeri. Sulaimany sendiri diyakini sebagai orang terkuat kedua di Iran. Sekaligus ia merupakan orang kepercayaan Ali Khomeini, pemimpin tertinggi dalam struktur wilayatul faqihnya syiah rofidhoh Iran.

Yang menarik adalah Sulaimany terbunuh di Iraq, bukan di negerinya sendiri yaitu Iran. Hal itu menandakan bahwa Iran menjadi aktor terpenting dalam aksi pembakaran dan pengepungan kedutaan besar AS di kota Baghdad pekan ini. Pembakaran itu merupakan aksi balasan dari gelombang demonstrasi rakyat yang menuntut perubahan fundamental dalam pemerintahan Iraq dan supremasi kedaulatan negara dari intervensi dan campur tangan Iran. Sulaimany sendiri adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya jutaan kaum muslimin di Suriah. Karena pasukannya ikut terjun menjadi kombatan dalam peperangan di Suriah.

Jika kita flashback kebelakang maka sejatinya Iraq pasca tumbangnya Saddam Husain di atas tiang gantungan dikuasai oleh kelompok Syiah. Saddam yang mengusung ideologi sosialis Ba'ts merupakan pemimpin otoriter yang sangat mengagungkan pan-arabisme. Ia berambisi untuk menjadi penguasa seluruh tanah Arab. kala itu rakyat Iraq menjadi saksi atas tangan besi Saddam. Sunni yang mayoritas dan syiah yang minoritas tak luput dari kebengisan Saddam. Tapi, satu yang pasti bahwa Saddam tidak akan pernah membiarkan kedaulatan negaranya diintervensi atau dicabik oleh asing. Baik oleh pengaruh syiah Iran yang merupakan rivalnya kala perang 1980-1988 atau AS.  Dua dekade sebelum Saddam menghadap tiang gantungan Iraq kerap kali terlibat perang dengan negara lain di kawasan, sehingga membuat ekonomi negara babak belur. Ditambah pasca 911, George Bush menuduh Saddam mengembangkan senjata pemusnah massal yang membuat NATO dan blok barat ramai-ramai membombardir Iraq yang akhirnya jatuh. AS sadar bahwa pasca tumbangnya saddam mereka membutuhkan pemerintahan lokal yang loyal dan dibawah pengaruh AS. Maka dalam kelanjutannya AS menjalin kontak dengan Iran dan minoritas Syiah Iraq untuk mengambil alih pemerintahan. Nama-nama seperti Nouri Maliki dan yang semisal pun akhirnya naik memimpin tampuk kekuasaan. Ditambah munculnya ISIS yang secara sadis membantai SUNNI di Iraq sehingga merubah kondisi demografi penduduk, sehingga SYIAH menjadi mayoritas di Iraq.

Kemarin, melalui siaran televisi pemimpin milisi Hizbullah (Hizbu syaithon-pen) Hasan Nasrulloh memberikan statementnya. Ia mengancam AS agar segera menarik diri dari Iraq, hal demikian jika Trump mau aman dalam pilpres tahun depan. Ia pun menyerukan Parlemen Iraq agar melakukan voting untuk mengusir Pasukan AS dari Iraq. Malam itu parlemen segera melakukan voting dan sepakat untuk mengusir kekuatan militer asing dari Iraq.

Yang terjadi di Iraq bak dua ekor anjing yang sedang memperebutkan sepotong daging. Kedua ekor anjing tersebut beradu kuat dan menggonggong dengan keras agar anjing yang lainnya pergi dan potongan daging itu jadi miliknya. Adakalanya cakaran dilakukan untuk melumpuhkan lawan. Atau bahkan  gigitan di leher untuk menaklukan rival. Potongan daging itu menjadi penting setidaknya jika dilihat dari 2 hal.

1. Posisi Geografi yang Strategis

Iran yang berambisi untuk mengembalikan kejayaan Imperium Persia berusaha sekuat tenaga untuk menyebarkan pengaruhnya. Jika kita lihat di peta, maka Negara seperti Suriah dan Lebanon sudah berada di bawah pengaruh Iran. Jika Iraq lepas dari cengkraman Iran, maka itu bisa memperlemah posisi mereka di Suriah dan Lebanon. Karena Iraq merupakan pintu masuk. Belum lagi jika kita lihat ambisi Iran untuk menguasai Nejd (Arab Saudi). Meskipun Bahrain, Kuwait dan wilayah timur Saudi seperti provinsi Qothif sudah mulai ada pengaruh Syiah Iran tapi kesemuanya berbatasan laut dengan Iran, jalur daratnya adalah lewat Negerinya Khalifah Harun Arrasyid tersebut. Sehingga Iraq bisa dibilang sangat fundamnetal dalam peta politik Iran.

AS sendiri membutuhkan Iraq agar menjadi benteng untuk menahan laju Iran, Rusia dan Cina. Disana mereka juga memiliki pangkalan militer, selain di Qatar, Arab Saudi, Laut Tengah dan Afghanistan. Di Iraq sendiri ada yang kemudian yang disebut dengan Syiah Amerika. Yaitu penganut Syiah yang loyalitasnya kepada Amerika, bukan ke Iran.

2. Faktor Ekonomi

Selain menyimpan cadangan minyak yang melimpah, Iraq juga menjadi jalur ekonomi strategis. Iraq menjadi pintu masuk dan keluar barang-barang ekspor dan impor Iran. Iran yang dibawah tekanan sangsi ekonomi tidak bisa bebas menjual barangnya ke luar negeri, maka ia membutuhkan Iraq untuk menjadi bungkus atas produknya agar diterima oleh negara lain.

Orasi Hasan Nasrulloh di media televisi tersebut ditanggapi Trump dengan berbalik menyerang. Trump mengancam Iran dan seluruh organnya jika berani melukai seorang warga negara AS, maka balasan yang dahsyat akan mereka terima. Yang menjadi menarik adalah statement ancaman keluar dari Hasan Nasrulloh di Lebanon, bukan dari pimpinan militer Iran. Ini menandakan bahwa Iran sendiri enggan untuk terlibat secara langsung dalam konflik dengan AS. Maka sayap militernya di Lebanon yang mereka gunakan. AS sendiri juga diyakini demikian. Ia akan memerintahkan sekutunya (kacungnya) di timur tengah untuk berhadapan dengan Hizbulloh. Bisa jadi itu adalah Ben Salman, Ben Zaid atau Bahkan Assisi di Mesir. Inggris, Perancis dan negara NATO pun segera menekan Iran agar segera menghentikan aksi-aksi yan bisa menaikkan suhu di timur tengah.

Kelanjutan dari konflik ini masih menjadi misteri, bisa jadi makin tinggi tensinya atau akan terjadi kesepakatan untuk mendinginkan suasana. Tetapi yang pasti bahwa konflik ini sangat merugikan bagi kaum  muslimin. Karena dua pihak yang berseteru sama sekali tidak membawa misi atau maslahat bagi muslimin. Tetapi arena pertumpahan darah justru berada di tanah yang pernah menjadi pusat kekhalifahan Abbasiyah tersebut.[]

Baca juga :