[PORTAL-ISLAM.ID] Tol Laut adalah program andalan Presiden Jokowi. Konsep Tol Laut adalah dengan bentuk pengangkutan logistik kelautan. Program ini bertujuan untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di nusantara.
Dengan adanya hubungan antara pelabuhan-pelabuhan laut ini, maka diharapkan dapat menciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok. Selain hal itu, pemerataan harga logistik setiap barang di seluruh wilayah Indonesia.
Tapi apa mau dikata, empat tahun berjalan, program Tol Laut belum menampakkan progres yang signifikan. Yang terbaru, dari hasil penelusuran Kementerian Perhubungan (Kemenhub), justru terdapat indikasi monopoli yang terjadi pada program Tol Laut.
Dugaan monopoli didapati karena ada permasalahan pada ekosistem logistik, khususnya di wilayah Indonesia Timur. Ekosistem logistik tersebut meliputi perusahaan pelayaran, pengirim, penerimaan, dan jasa pengurusan.
Mencermati dugaan monopoli ini, penulis mendadak terbenakkan dengan pola penjajahan VOC Belanda, yang dikenal dengan nama Pelayaran Hongi.
Pelayaran Hongi atau Ekspedisi Hongi atau Hongitochten adalah suatu bentuk pelayaran serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan zaman VOC Belanda yang bertujuan menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah. Termasuk dalam proyek monopoli ini adalah Hak Ekstirpasi, yaitu hak memusnahkan pohon pala atau cengkeh, demi mengekalkan monopoli rempah-rempah di Kepulauan Maluku dan sekitarnya.
Pelayaran Hongi dilaksanakan dengan menggunakan armada perahu Kora-kora yang dikawal oleh Kapal Perang VOC, berlayar dari pulau ke pulau, negeri ke negeri untuk melakukan pemusnahan tanaman, mengejar pelaku penyelundupan rempah-rempah dan menangkap kapal asing lainnya.
Tujuan pemusnahan tersebut adalah untuk membuat harga rempah-rempah stabil ketika produksi berlebih, sehingga harga rempah-rempah yang ada di gudang kompeni (VOC) tidak jatuh.
Namun di balik itu semua, pada kenyataannya begitu marak korupsi di kalangan pegawai VOC dan kepala-kepala negeri. Bahkan rakyat tidak pernah mendapatkan apa-apa. Ketika perkebunan mereka dimusnahkan dengan api, parang, dan kapak, rakyat hanya bisa meratapi semua hasil kerja kerasnya.
Pelayaran Hongi benar-benar membuat rakyat Kepulauan Maluku yang sebelumnya sangat makmur menjadi jatuh dalam kemelaratan. Bahkan dalam sejarah ekstirpasi Maluku telah membuat populasi rakyat Maluku berkurang sepertiga hingga separuhnya.
Sungguh sejarah Pelayaran Hongi ini bagai terputar kembali di depan mata, di mana Tol Laut tak ubahnya Pelayaran Hongi era modern. Terlebih, ketika pemerintah melelang sejumlah trayek Tol Laut. Langkah ini sama saja dengan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta.
Namun ketika kemudian ada pihak swasta lain yang memprotes kebijakan Tol Laut ini, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Karena para pemegang hak hasil lelang trayek, nota bene adalah swasta besar. Sebagai sesama swasta, meski berskala besar dan kecil, berlomba meraih sebesar-besarnya profit tetaplah tujuan utama.
Dengan kata lain, pemerintah menggandeng swasta besar untuk menginaugurasi proyek Tol Laut, agar seakan-akan proyek ini masih milik pemerintah. Padahal, pelakunya di lapangan adalah swasta besar, bukan pemerintah itu sendiri. Dan ironisnya, korbannya adalah swasta kecil.
Menanggapi hal ini, pemerhati kebijakan transportasi, Nurul Ailah menyatakan bahwa konsep Tol Laut memang didesain untuk korporasi, begitulah konsekuensi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal.
Nurul kemudian menjelaskan bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, negara hanya sebatas regulator, pelayan, dan pemberi fasilitas bagi korporasi atau swasta. Sedangkan korporasi bertindak sebagai operator di lapangan.
Jadi jangan heran jika korporasi juga yang akan meraup semua keuntungan.
Sangat wajar jika negara dengan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal sebagaimana negeri kita saat ini, mustahil mampu menjadi pelayan masyarakat secara langsung, alih-alih menguntungkan masyarakat dan mengemban mandat mengurusi urusan masyarakat.
Penulis: Nindira Aryudhani