Wisudawan Terbaik ITB 2019, Anak Seorang Sopir
(Tolong buatkan konsep pidato, kalau-kalau saya diminta memberikan sambutan dalam acara wisuda. Alhamdulillah si Reza diwisuda tanggal 19, Cum Laude 3,98, si Reza terpilih untuk berpidato mewakili wisudawan, orangtua takutnya diminta naik panggung tapi takutnya gak bisa ngomong. Tolong buatkan beberapa kalimat saja, ucapan terima kasih ke kampus dan para pengajar.)
Pesan melalui WA saya terima, sore hari. Membuat mata saya berkaca-kaca.
Bangga campur haru. Betapa tidak? Orang yang mengirim WA tersebut adalah anak bibi. Saya, tahu banget kondisi ekonomi dan keluarganya. Sejak SMP dia sudah menjadi yatim piatu. SMA berjuang sendiri. Sewaktu SMA dia dengan temannya, tengah malam sering mencuri-curi belajar menyetir mobil truk punya temannya. Karena, untuk belajar mengemudi dengan les tidak mempunyai biaya. Dia minta temannya, untuk mengajari mengemudi.
Setelah berkeluarga dan mempunyai 3 orang anak. Berkah keterampilan belajar mengemudi otodidak, dia bekerja sebagai sopir ekspedisi. Beberapa kali pindah perusahaan, bahkan pernah menjadi sopir sebuah travel Bandung – Jakarta. Namun, karena bangkrut travel tersebut. Dia harus menganggur lama dan mencoba melamar menjadi sopir pribadi seorang pengusaha keturunan. Ekonomi keluarganya sangat jauh dari layak. Tapi, berkah kejujuran dan kesabaran akhirnya dia menjadi sopir pribadi pengusaha konveksi di Cimahi sampai sekarang.
Rumahnya sangat sempit beralaskan tanah, bahkan saat disurvey pada waktu anaknya akan mendapatkan bea siswa dari ITB oleh pihak kampus. Mereka sampai menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak kagum. Orangtua calon mahasiswa yang akan diberi bea siswa, benar-benar dari keluarga tidak mampu. Walaupun begitu, bisa mendidik seorang anak dan lolos ke ITB melalui bidik misi.
Rasanya belum lama sewaktu SMP, saya melihat dia dibonceng motor GL butut Bapaknya. Berkah hasil didikan Bapak-Ibunya yang mengutamakan adab dan karakter dan pengetahuan agama. Anak ini sangat rendah hati, setiap berbicara selalu membungkukkan badannya dan mencium tangan orang yang lebih tua. Bersekolah di pesantren Darul Falah, Cihampelas, Kab. Bandung Barat. Sebelumnya dia bersekolah di sebuah pesantren modern, karena cerdas dia mendapatkan bea siswa di sekolah tersebut. Namun dia pindah sekolah, karena tidak suka orangtuanya dikecewakan dan dibuat menangis oleh sekolah pertamanya.
Keadaan ekonomi yang serba kekurangan, karena pekerjaan hanya seorang sopir. Serba susah dalam segala hal, tidak menjadikan dia dan istrinya gagal dalam mendidik anak-anaknya. Kakaknya Reza, Firman bahkan menjadi guru honorer di salah satu sakola swasta. Tidak jarang, honor Firman yang tidak seberapa. Harus diberikan ke Reza. “Buat biaya kuliah Reza aja, dia lebih membutuhkan daripada saya!” kata Firman kepada Ibunya, Bi Ika. Reza dan Firman harus berpuasa Senin-Kamis untuk mengurangi biaya makan. Mereka juga, membuka les belajar matematika dan fisika di rumahnya yang kecil. Untuk nambah-nambah biaya kuliah. Anak-anak yang mengikuti les di Reza sangat kerasan, karena dia mengajar dengan sabar dan gampang dimengerti.
Kemana-mana sering saya lihat, dia selalu membawa buku bacaan. Daripada mengobrol dengan teman sebayanya, dia lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku. Pernah satu kali dia mencoba memecahkan satu soal matematika yang rumit. Dia tidak mau berhenti, terus mencari pemecahan soal yang sulit itu. Dia cari rumusnya dan dia pecahkan dengan caranya sendiri sampai ketemu. Reza pintar mengaji, setiap ada acara keluarga pasti dia membacakan Al Quran sebelum acara dimulai.
Disuruh Pulang Sendiri dan Diancam Tidak Naik Kelas
“Urang mah pernah nyeri hate euy, basa Reza keur SMA. Abong ka jelema teu boga Reza pernah diancam ku sakolana teu naek kelas.” (Saya pernah sakti hati banget waktu si Reza di SMA. Mungkin karena kami orang gak punya).
“Kenapa sampai diancam gak naik kelas Mang?” Tanya saya.
“Sebabnya si Reza kan lolos seleksi olimpiade tingkat Asia di Surya Institut BSD. Si Reza, keukeuh pingin ikutan olimpiade membawa nama sekolah. Tapi sekolahnya gak mau menjamin si Reza naik kelas. Waktu itu kelas 2. Diancam tidak nak kelas karena di BSD harus ikut karantina selama satu bulan,” Mang Wawan menjelaskan
“Terus?” Tanya saya, penasaran.
“Si Reza merasa kecewa banget dan sakit hati. Sekolah yang ingin diwakili nama baiknya, malah balik mengancam dia. Dia berangkat, ikut karantina di BSD. Namun, karena sikap sekolahnya yang tidak mendukung. Si Reza tidak bisa konsentrasi. Dalam Olimpiade Tingkat Asia dia hanya mendapat peringkat ke-9 dari seratus peserta dari seluruh Indonesia. Pulang dari tempat lomba, sekolahnya tidak mau menjemput. Terpaksa dia pulang sendiri dengan uang seadanya. Sampai di rumah dia menangis dalam pelukan ibunya. Sakit hati oleh perlakuan sekolahnya!” Mang Wawan, terhenti kalimatnya. Matanya berkaca-kaca, air mata keluar dari sudut matanya. Mata saya ikut basah.
"Keesokan harinya, diantar oleh ibunya dia minta pindah dari sekolah tersebut. Untunglah pesantren Darul Falah, yang juga memiliki SMA di Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat bersedia menerimanya. Bahkan, si Reza diberi bea siswa, seragam, peralatan sekolah. Pokoknya gratis semua. Gak bayar sepeser pun. Alhamdulillah, masih tahun yang sama mewakili SMA Darul Falah, ikut Olimpiade Sains tingkat Nasional (OSN). Si Reja berhasil meraih juara ke-1 tingkat Kabupaten, juara ke-1 tingkat Propinsi dan juara ke-2 tingkat Nasional di NTB. Pokokny saya merasa sangat bersyukur dan bangga dengan si Reza!” Mang Wawan berbicara panjang lebar.
Masuk di ITB
Lulus dari SMA, Reza mendaftar ke ITB melalui program Bidik Misi. Lulus, tanpa syarat. Bahkan, saat disurvey ke rumahnya. Tim surveyor hanya bisa menggelengkan kepala. Rumah kecil dengan kondisi lantai setengah tanah. Di depan rumah, motor GL butut berwarna hitam kusam teronggok, untuk menemani Mang Wawan berangkat kerja.
Selama di ITB, Reza setiap semester dipastikan menjadi juara dan membuktikan dia mahasiwa unggulan. Bahkan tahun 2018, dia terpilih mengikuti program KAIST di Korea. Piagam dan sertifikat memenuhi dinding kuning kusam rumah Mang Wawan gelap dan lembab.
Mungkin karena kecerdasan dan prestasinya, oleh dosen seringkali Reza dibawa ke proyek penelitian di seluruh Indonesia. Malah beberapa kali mewakili ITB mengikuti seminar, pelatihan dan penelitian.
Terbukti bukan kaya miskinnya seseorang, bukant tingginya jabatan yang menjadikan baik buruknya seseorang. Mang Wawan dan istrinya Bi Ika yang keduanya hanya lulusan SMA dengan ekonomi serba kekurangan. Berhasil mendidik anak-anaknya. Bahkan, Reza, berhasil menjadi wisudawan ITB terbaik 2019. Cum laude dengan IPK 3,98.
Keberhasilan mereka selalu saya jadikan contoh untuk anak-anak. Kalau kita berusaha keras, tanpa lelah, fokus dan tidak melupakan yang Maha Kuasa, Allah SWT. Pasti berhasil.
Selamat untuk Mohamad Reza Nurrahman semoga tetap istiqomah dan barokah ilmunya. Proud of you son!
*Sumber: https://dessulaeman.blogspot.com/2019/10/theres-will-theres-way.html