Pidato Pelantikan Berkualitas Khalifah Abu Bakar, Akankah Terulang?

Body

Pidato Pelantikan Berkualitas Khalifah Abu Bakar, Akankah Terulang?

Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. PAMONG Institute)

“Jika saya melakukan hal yang baik maka bantulah saya. Dan jika saya menyeleweng maka luruskanlah saya” -Abu Bakar Ash-Shiddiq-

Ibarat minum kopi, tak kan ada yang bisa dituangkan dari teko jika isinya tak ada. Jenis yang bisa dituangkan dari teko pun tergantung apa isinya. Teko yang berisi kopi tak mungkin mengeluarkan anggur merah. Demikian juga teko yang berisi air comberan tak mungkin mengeluarkan air susu. Jadi teko hanya menuangkan apa isi di dalamnya.

Demikian juga manusia, ibarat teko ia akan menuangkan apa isi yang ada di dalamnya. Apa yang keluar dari ucapan seseorang adalah cerminan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Kalaupun akan ditutupi hanyalah bisa sebentar saja, tak kan bertahan lama, selanjutnya akan keluar juga aslinya.

Sebagaimana manusia biasa, seorang pemimpin pun dapat dinilai dari ucapan dan tindakan yang ditampilkannya. Jika ucapannya baik, setidaknya ia akan menyesuaikan ucapannya dengan tindakannya.

Betapa banyak pemimpin hebat yang dikenang dari ucapannya yang baik lalu dituangkan dalam kebijakan dan tindakan yang baik. Diantara ucapan yang baik dan terekam dalam catatan sejarah adalah ucapan Abu Bakar dalam pidato pelantikannya sebagai Khalifah pertama pengganti Nabi SAW dalam kepemimpinan negara.

Dalam pidatonya yang fenomenal, sang Khalifah menegaskan bahwa dirinya tak ingin menjadi pemimpin. Namun ia tak bisa menolak ketika Sahabatnya Umar Bin Khathab mengangkat tangannya dan diikuti para sahabat senior lainnya menunjuknya jadi pemimpin. Sebagaimana penggalan pidatonya:

“Demi Allah, sesungguhnya saya tak pernah berambisi pada kekuasaaan meski sehari atau semalam dalam hidupku. Saya tak pernah menginginkannya. Saya tak pernah satu kali pun meminta kepada Allah baik secara terang-terangan maupun secara rahasia.”

Bahkan sang khalifah pun mengingatkan kepada semuanya bahwa ia bukanlah yang terbaik. Ia minta dikoreksi jika berbuat salah. Hal itu sebagaimana termuat dalam pidatonya yang fenomenal ketika selesai di-baiat (dilantik) menjadi khalifah.

Ia berdiri dan memuji Allah dan menyatakan syukurnya. Kemudian ia berkata:

“Amma ba’du. Wahai manusia! Sesungguhnya saya telah dipilih untuk memimpin kalian dan BUKANLAH saya orang TERBAIK diantara kalian. Maka jika saya melakukan hal yang BAIK maka BANTULAH saya. Dan jika saya melakukan tindakan yang MENYELEWENG maka LURUSKANLAH saya. Sebab kebenaran itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan.

Orang yang lemah diantara kalian adalah kuat dalam pandangan saya hingga saya ambilkan hak-haknya untuknya. Sedangkan orang yang kuat diantara kalian adalah lemah dihadapanku hingga saya ambil hak orang lain darinya, insyaAllah.


Dan tidak ada satu kaum pun yang meninggalkan jihad dijalan Allah kecuali akan Allah timpakan kepadanya kehinaan. Dan tidaklah menyebar kemaksiatan kepada suatu kaum kecuali akan Allah timpakan kepada mereka petaka.


Taatlah kalian kepadaku selama saya TAAT kepada ALLAH dan RASULNYA. Jika saya melakukan maksiat kepada Allah dan RasulNya maka tidak ada kewajiban taat kalian kepadaku.”


***

Dari pidato tersebut terdapat beberapa poin penting yang bisa kita jadikan teladan. Lebih dari itu bisa kita jadikan untuk mengukur kualitas kita dan pemimpin kita. Diantara poin penting tersebut;

PERTAMA, Pemimpin tak boleh merasa menjadi orang terbaik sehingga merasa hebat dan tak mau menerima saran maupun pendapat orang lain.

KEDUA, Pemimpin bukanlah manusia super yang bisa melakukan apa pun sendirian. Maka jika berbuat baik maka minta dibantu dan didukung. Dengan begitu semakin banyak orang yang turut berbuat baik.

KETIGA, Pemimpin harus bersedia dikoreksi dan dinasehati demi kebaikan bersama. Pemimpin bukanlah malaikat yang terbebas dari salah. Apalagi dalam sistem demokrasi sekarang yang konon kata salah seorang profesor terkenal bahwa malaikat pun masuk sistem kita bisa jadi iblis. Apalagi kita manusia biasa.

KEEMPAT, Pemimpin dengan kewenangannya harus melindungi pihak yang lemah. Jangan justru menekan dan menindas mereka.

KELIMA, pemimpin wajib ditaati selama ia taat kepada Allah Sang Pencipta alam semesta. Jika ia bermaksiat dan memerintahkan maksiat maka tidak wajib ditaati, justru wajib dinasihati. Karena maksiat mengundang bencana dan malapetaka.

Akankah pidato yang berkualitas itu akan terulang lagi di era sekarang? Ataukan pemimpin sekarang hanya berpidato formalitas karena tidak keluar dari dalam dada dan kepalanya, tidak keluar dari lubuk hati dan fikirannya? Kita nantikan saja.

Semoga negeri ini mendapatkan pemimpin yang taat kepada Allah sang pencipta alam, manusia dan segenap aturanNYA. Dan dengan ketaatan itu kiranya negeri ini senantiasa terlindung dari bahaya dan bencana. Semoga.[]

*NB: Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Baca juga :