Puja-Puji Penjegal Habibie dan Kesadaran yang Terlambat


[PORTAL-ISLAM.ID]  Habibie menjadi Presiden RI ke-3 menggantikan Soeharto pada 21Mei 1998. Pekerjaan berat sudah menanti. Saat itu ekonomi nasional hancur lebur dengan nilai tukar Rupiah pada Januari 1998   Rp.14.800. Bahkan 40 hari setelah menjadi Presiden nilai tukar Rupiah anjlok lagi ke Rp.16.800. Krisis ekonomi juga diperparah dengan kerusuhan-kerusuhan di berbagai kota.

Habibie terus bekerja keras bersama para menterinya. Pelan-pelan ekonomi nasional diperbaiki dengan kebijakan yang efektif. Dalam kurun waktu 17 bulan masa kepemimpinannya, Habibie berhasil menurunkan kurs Rupiah ke Rp.6.500. Bahkan hiperinflasi yang sempat double digit akibat rupiah anjlok dan kelangkaan bahan-bahan sembako juga dapat kembali ke single digit. Januari-September 1999, laju inflasi hanya mencapai 2%, padahal dalam periode sama tahun 1998 mencapai 75,47%.

Di era Habibie ini pula berbagai kebijakan IMF harus dilakukan pemerintah RI sesuai LOI bailout IMF antara presiden Soeharto dan IMF yang diwakili Direktur Michel Camdessus pada 15 Januari 1998. Antara lain likuidasi bank-bank bermasalah dan menghentikan proyek-proyek besar seperti industri pesawat terbang nasional. Di saat yang bersamaan, Habibie juga mempertahankan kebijakan tarif dasar listrik dan BBM bersubsidi, serta subsidi bahan-bahan pokok agar terjangkau oleh masyarakat di tengah krisis ekonomi.

Keberhasilan dalam menyelamatkan ekonomi nasional tidak otomatis memuluskan langkah politik Habibie. Musuh-musuh politik Habibie tetap berkeras menghentikan Habibie. Pidato pertanggungjawaban Habibie dalam Sidang Istimewa MPR 1999  dinyatakan ditolak pada tanggal 20 Oktober 1999. Inilah yang menyurutkan langkah Habibie mencalonkan diri lagi sebagai presiden berikutnya.

Isu utama untuk menjegal Habibie maju lagi dalam Pilpres berikutnya adalah stigma bahwa Habibie bagian dari Orde Baru. Pihak oposisi, yang dimotori oleh parpol nya Habibie sendiri Golkar dengan aktornya Akbar Tanjung, menyebutkan salah satu kesalahan terbesar yang Habibie lakukan saat menjabat sebagai Presiden ialah memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste), hingga kemudianTimor Timur lepas dari NKRI pada 30 Agustus 1999.

Dalam bukunya, Habibie mengaku hendak sesegera mungkin menyelenggarakan referendum Timor Timur -dalam konteks krisis ekonomi yang mana RI membutuhkan bantuan finansial negara-negara donor dan IMF, yang mensyaratkan penyelesaian persoalanTimor Timur- agar presiden yang menggantikannya, tidak perlu pusing dibuatnya.

"Dengan demikian, siapa pun menjadi presiden dan wakil presiden nanti, dapat memberi perhatian penuh kepada...penyelesaian masalah politik, dan masalah ekonomi nasional."

Kini ketika Habibie wafat menghadap Sang Khalik, para elit dan tokoh lawan politik Habibie yang dulu menjegal langkah Habibie menjadi Capres lagi, yang menilai negatif kebijakan-kebijakan  Habibie, justru kini dengan tinggi memuja-muji Habibie. Bahkan tidak ada elit yang menolak dengan penyematan gelar Bapak Demokrasi kepada Habibie, gelar yang sesungguhnya punya relevansi kuat pada referendun Timor Timur. Sesuatu yang sebenarnya tidak mengherankan karena berjalan dengan waktu banyak pihak yang berbalik menilai positif pemerintahan Habibie.

Entah apakah puja-puji para pembenci Habibie dahulu ini sebagai kesadaran yang terlambat atau hanya sekedar mengikuti emosional mainstream ketika menerima kabar wafatnya Habibie. Padahal prestasi Habibie dalam 17 bulan pemerintahannya telah menyelamatkan ekonomi nasional. Tetap saja Habibie tidak diakui demi agenda politik para elit, yang nyatanya 20 tahun kemudian Indonesia menjadi negara dengan begitu banyak masalah seperti saat ini.

Satu yg tidak bisa dibantah siapapun dari jasa-jasa Habibie adalah "penguasaan teknologi dirgantara olh bangsa Indonesia" telah diakui dunia. Habibie sendiri yg buat Rancang Bangun pesawat produksi Nurtanio/IPTN. Terkait teknologi ini, saya berharap semoga kisah mobil nasional nanti tidak "jomplang" dg kisah suksesnya pesawat terbang nasional.

Tidak mengherankan jika Habibie menjadi pemimpin yang inspiratif. Habibie satu-satunya Presiden RI yg dijadikan benchmark/contoh para Orangtua ketika nasehati anaknya belajar agar jadi orang pintar seperti Habibie. Para Orangtua tak pernah bilang kepada anak-anaknya agar jd orang seperti Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Mega, SBY apalagi Jokowi.

Kembali pada kesadaran yang terlambat, apakah perlu waktu 20 tahun untuk menyadarinya dan apakah ini merupakan penyakit kultural bangsa Indonesia?

Saat negara asing-China dan Barat- ingin menguasai Indonesia, bisa jadi kesadaran yang terlambat datang 20 tahun lagi ketika kita sebagai bangsa sudah tidak memiliki apapun.

Atau apakah memang natur nya elit politik kita takut kepada pemimpin yang cerdas dan punya visi atas  masa depan bangsanya, yang lebih baik memilih pemimpin bodoh, dan mudah diatur oleh elit, bahkan oleh negara asing. Tetapi saya menduga, para elit ini juga yang akan pertama kali berbalik meninggalkan pemimpin pilihannya di saat kesulitan negara tak lagi bisa diobati, agar elit tidak dituduh sebagai dalang semua bencana.

Selamat jalan BJH bapak Demokrasi Indonesia, semoga kembali sebagai jiwa yang tenang. Indonesia akan selalu mengenangmu. Aamiin.

Penulis: Gde Siriana

Baca juga :