Fahri Hamzah: MENANGKAP MALING, ANTARA SIBUK DAN SUKSES


MENANGKAP MALING: ANTARA SIBUK DAN SUKSES

Saya punya teman. Ketika masih nganggur, dia berpura-pura kepada isteri dan anak-anaknya pergi pagi-pagi pakai dasi kayak orang sibuk. Pulang malam. Tentu mulia usahanya, menunjukkan tekad dan dedikasi. Yang penting keluarganya tau dia sibuk. Sekarang dia sudah sukses.

Saya juga pernah begitu, lulus dari UI, saya bikin kantor kecil. Mulai dari pusat studi, yayasan, lalu PT. Setiap pagi setelah ngantar anak sekolah, saya pergi ke kantor kecil itu di wilayah Tebet. Meski kerjaan sepi, saya tetap di kantor mengerjakan apa saja.

Ongkos belajar sebagai pengambil resiko saya tanggung sendiri. Sampai kita mengerti bagaimana melihat peluang usaha dan mulai berbisnis kecil sampai besar. Kawan saya tadi juga demikian, sekarang dia sudah jadi pengusaha besar. Dia pernah “sibuk”. Kini sukses.

Tapi sebagian kita sering tidak bisa membedakan perbedaan antara sibuk dan sukses. Salah satu sebabnya mungkin karena tidak belajar manajemen. Sibuk dianggap sama dengan sukses sehingga semakin sibuk menganggap diri semakin sukses. Kesibukannya bahkan sering dibela sendiri.

Bahkan masyarakat juga sering menganggap orang sibuk sama dengan orang sukses karena nampak sibuk. Di banyak tempat, kalau ada orang tenteng tas kulit. Berpakaian rapi dan terburu-buru disebut sebagai profil orang sukses. Apalagi kalau pakai dasi dan jas.

Itu pula yang menjadi racun dan kerancuan kita dalam menilai kerja lembaga negara dan pejabat publik. Seperti saya sering membuat metafor tentang 2 orang kepala desa dan maling di kampung-nya masing-masing. Keduanya punya masalah maling di kampungnya.

Kepala Desa A Namanya Tuan Abdul. Desanya penuh maling. Kepala Desa B namanya Tuan Bodul sama juga desa banyak maling. Tapi Tuan Bodul sibuk setengah mati. Siang berburu maling, malam berburu maling. Setelah itu konferensi pers, wartawan penuh di kantor Desa B.

Tuan Bodul sangat terkenal bahkan ke seluruh kecamatan dan kabupaten. Bayangkan saja, sehari bisa 3 kali menangkap maling, diseret dan memakai baju oranye. Blitz camera seperti hujan cahaya meminta wawancara. “tuan Bodul, ini kasus apa lagi, siapa lagi...?”

Dengan senyum, tuan Bodul berkata, “saudara-saudara pers, kami sedang mengembangkan kasus ini, sepertinya ada ikan kakap yg terlibat, kami akan segera memanggil nama-nama berikut ini sebagai saksi, ada 100 orang saksi, sabar saja, kami tentu akan teliti, dan profesional”.

Demikianlah tuan Bodul dan desanya yang belasan tahun terus sibuk bekerja menangkap maling. Rasanya sudah habis orang ditangkapnya tapi maling masih saja ada mulai dari maling jemuran sampai sogok-menyogok pengurusan kartu keluarga. Semua sudah disasar.

Sebaliknya, Tuan Abdul kepala desa A tidak sibuk. Kantornya sepi dan minim pemberitaan. Masyarakatnya yang nampak lebih sibuk. Pagi-pagi tuan Abdul sehabis sholat subuh jalan-jalan menyapa tetangga. Belanja ke pasar keperluan isterinya dan berolah raga sebelum ngantor.

Sewaktu ada kabar maling, Tuan Abdul berkoordinasi dengan seluruh aparat desa dan menanyakan duduk perkara dan modus perkara maling terakhir. Lalu Tuan Abdul mengajak pertemuan Badan Pewakilan Desa untuk menyampaikan temuan, sehingga harus diputuskan bersama.

Tuan Abdul diam-diam melacak apakah ada aturan yang membuat maling berkeliaran di siang bolong? Atau malam hari? Apakah ada aparat dan birokrasi yang membuat maling bertambah? Lalu menunjukkan sikap yang tegas sehingga maling dikepung oleh sistem desa.

Dengan data yang lengkap, Tuan Abdul membuat sebuah sistem yang tidak memungkinkan maling masuk ke desa A. Terlalu kuat sistemnya, susah ditembus. Aturan cukup jelas bagi semua orang akibat konsekwensi tindakan mereka, aparat desa yang profesional dan Tuan Abdul yang waspada.

Demikianlah, Tuan Abdul yang rendah hati dan bersahaja itu selalu berada di depan masalah. Dan masyarakat merasa tenang dengan perlindungan aparat desa yang selalu sigap sedia. Tuan Abdul jarang di tulis media tapi senyumnya memberi tenaga kepada rakyatnya.

Sore hari pulang ke rumah, kepala desa menghibur keluarga. Bercerita untuk anak-anak di meja makan dan sehabis isya menerima tamu yang ada. Atau Tuan Abdul selalu menyempatkan diri membaca. Ia tersenyum, sebuah laporan berjudul “Desa A: Juara Desa Tanpa Maling”.

Itulah yang harus sering kita hayati, tentang kesibukan kita hari-hari. Jika soal pribadi ok saja sibuk wira-wiri. Tapi kesibukan tanpa menyelesaikan masalah seperti Tuan Bodul itu namanya tidak bertanggungjawab. Waktu dan anggaran terbatas. Harus selesai dalam kurun terbatas.

Itulah guna pembatasan waktu bagi pejabat dan lembaga, agar kerja dapat diukur dan hasil kerja harus terukur. Bagi lembaga yang diberi kewenangan dan anggaran besar dalam UU. Semua harus dilaporkan dan laporannya SUKSES! Bukan SIBUK! Sekian.

(Twitter @Fahrihamzah 11/9/2019)
Baca juga :