NKRI (SUDAH LAMA) BERSYARIAH!


NKRI (SUDAH LAMA) BERSYARIAH!

Oleh: Danang A. Akbarona 
Penulis & Peneliti ISLAH

Tulisan ini hanyalah catatan kaki dari pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir kepada media (Detik 8/8, Republika 9/8). Beliau mengatakan NKRI itu sudah lama bersyariah karena nilai-nilai dan tujuan syariah ada dalam keseluruhan sila Pancasila yang menjadi dasar negara kita.

Yang kita perlukan sekarang, menurut Haidar, adalah sila-sila Pancasila itu kita praktekkan termasuk oleh pejabat-pejabat dalam melahirkan kebijakan negara. Insya Allah dengan mempraktekkan Pancasila syariah Islam dan syariah agama lain sudah tercakup di dalamnya. Pancasila sudah menjadi kesepakatan nasional kita sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Bagi Muhammadiyah Indonesia itu sudah menjadi Darul Ahdi wa Syahadah, yaitu negara yang dibangun dengan konsensus dan negara yang harus kita perjuangkan agar maju, adil, makmur dan bermartabat.

NKRI Negeri Islami

Apa yang dikatakan oleh Pak Haedar Nashir itu tepat sekali. Kalau kita kaji secara normatif yuridis isi kandungan Pancasila dan UUD 1945 kita akan temukan betapa para pendiri bangsa ini—yang nota bene sebagian besarnya adalah ulama dan wakil-wakil umat—begitu tepat merumuskan dan benar-benar memahami, tujuan-tujuan (maqosid) syariah dalam pendirian negara bangsa yang merdeka. Alam pikiran mereka nyaris sempurna memberikan arah Indonesia sebagai negara merdeka yang hadirnya harus membawa maslahat bagi rakyatnya sejalan dengan maqosid syariah. Bahkan, kesan bangsa ini sebagai bangsa beragama dan relijius sangat kuat terasa saat memmbaca dan memahami dasar dan konstitusi negara. Ada banyak fakta (norma) yuridis yang mendukung pernyataan itu yang akan kita uraikan sebagiannya.

Namun sebelum sampai ke sana, apa itu maqosid syariah atau tujuan-tujuan syariah? Adalah Imam Al-Ghazali (wafat 1111) yang pertama kali memunculkan gagasan tentang maqosid syariah, bahwa secara umum tujuan Allah menurunkan syariat Islam adalah untuk kemaslahatan umum, dan secara khusus untuk menjaga lima unsur penting dalam kehidupan manusia: agama, hidup, akal, keturunan, dan harta.

Belakangan ulama-ulama kontemporer memperluas cakupan maqosid syariah klasik al-Ghazali guna menyesuaikan perkembangan hukum Islam dengan kondisi sosial yang terus berubah. Rasyid Ridho, misalnya, memasukkan reformasi dan hak-hak wanita. Muhammad Al-Ghazali memasukkan keadilan dan kebebasan. Lalu Yusuf Qardawi memasukkan hak asasi dan martabat manusia, dalam konseptualisasi maqosid syariah.

Sekarang mari kita kaji norma yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Kelima sila Pancasila tidak ada keraguan merupakan manifestasi dari maqosid syariah baik dalam cakupan klasik Imam Al-Ghozali dan terlebih dalam cakupan kontemporer. Sila-sila itu, yang dikatakan oleh sejarahwan sebagai puncak-puncak (kulminasi) kebudayaan nasional, faktanya begitu kuat pesan dan kesan penjagaannya terhadap apa-apa yang dipentingkan oleh syariat dalam hidup ini.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bentuk penjagaan terhadap keyakinan agama sebagai salah satu hak yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apapun (non derogable right). Sila ini mendapat penguatan dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2), Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Melalui sila ini kita paham betapa dasar dan konstitusi kita begitu memuliakan peran agama dalam pembangunan seolah ingin mengatakan bahwa fitrahnya manusia itu beragama. Negara menghendaki warganya bergama dan menempatkan nilai-nilai ketuhanan sebagai suluh yang menerangi jalan hidup kemanusiaan. Entoh penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama bukan tanpa maksud. Jimly Asshidiqie (2005) mengatakan sila ini adalah sila utama yang menerangi keempat sila lainnya. Dengan kata lain, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi ruh keempat sila lainnya.

Paham ketuhanan itu diwujudkan dalam paham kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai watak kebangsaan Indonesia. Dorongan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu menentukan kualitas dan derajat kemanusiaan seseorang di antara sesama manusia sehingga perikehidupan bermasyarakat dan bernegara dapat tumbuh sehat dalam struktur kehidupan yang adil sehingga kualitas peradaban bangsa dapat berkembang secara terhormat di antara bangsa-bangsa (Asshiddiqie, 2005).

Dus, sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ketiga Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah upaya sempurna penjagaan terhadap kehidupan, akal manusia, keturunan, hak-hak asasi, dan martabat yang menjadi tujuan dari diturunkannya syariat Islam.

UUD 1945 secara lebih detil dan terperinci mengatur bagaimana konstitusi negara memberikan penjagaan terhadap agama, hidup, akal, keturunan, harta, hak asasi, kebebasan, dan martabat kemanusiaan warga negara Indonesia. Pencagaan terhadap agama sudah kita ulas ada pada Pasal 29. Penjagaan terhadap hidup dan kehidupan jelas dan terang sekali kita temukan sejak pembukaan ( mukaddimah ) UUD, Pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Hal ini kemudian ditegaskan pada Pasal 28A bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Penjagaan terhadap akal lebih dahsyat lagi. Pembukaan UUD 1945 menegaskan salah satu tujuan bernegara adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa", yang secara pondasional dan komperhensif dijelaskan dalam Bab Pendidikan dan Kebudayaan khususnya Pasal 31. Ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Lalu perhatikan betapa mulia tujuan pendidikan kita melalui norma Pasal 31 Ayat (3), Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Konstitusi menghendaki warga negaranya berakal, yang maknanya bukan hanya cerdas tapi kecerdasan yang dibingkai dengan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.

Lalu disambung kembali pada Ayat (5), Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Konstitusi menghendaki kemajuan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak menyimpangi agama, peradaban, dan kesejahteraan umat manusia. Dan, ini sangat sejalan dengan maqosid syariah bukan?

Penjagaan terhadap keturunan juga diatur secara spesifik merujuk Pasal 27 B, Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Anak-anak keturanan berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Penjagaan terhadap hak-hak asasi juga sangat maju di konstitusi kita. Bukan saja maju dalam arti area cakupannya yang luas, tapi juga maju dalam pengertian penjagaan atau proteksinya dari (hak-hak) kebebasan yang merusak martabat dan kemanusiaan. Hak-hak itu meliputi hak ekonomi, politik, hukum, sosial budaya dalam beragam spektrumnya antara lain: hak hidup, tumbuh dan berkembang, hak milik, tempat tinggal, berkeyakinan/agama, nafkah, perlakuan adil, kesempatan yang sama, bebas dari penyiksaan dan perendahan martabat, kemerdekaan pikiran hati nurani, berserikat dan berkumpul.

Prinsipnya hak-hak kita dijamin oleh negara, tapi dalam melaksanakan hak tersebut konstitusi menghendaki wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Hak-hak kita sebagai warga negara dijamin oleh konstitusi tapi pada saat yang sama kita harus bertanggung jawab dalam melaksanakannya. Konstitusi tidak menghendaki hak-hak kebebasan yang kebablasan (bebas tanpa nilai). Sebaliknya harus memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dan masih banyak lagi norma konstitusi yang sejatinya bukan saja tidak bertentangan tapi senafas, sejalan, dan konsisten dengan nilai-nilai keislaman. Pengaturan tentang prinsip-prinsip ekonomi dan kesejahteraan rakyat tidak kurang sangat islami. Konstitusi tidak mengizinkan penumpukan kekayaan hanya di tangan segelintir orang, sebaliknya konstitusi menghendaki pemerataan ekonomi secara berkeadilan. Maka diaturlah pada Pasal 33, Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Tidak cukup dengan itu saja, Pasal 34 menegaskan keberpihakan negara kepada kelompok lemah (mustadz’afin) sebagaimana Islam mengajarkan. Termaktub disana, Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Dan masih banyak lagi. Untuk lebih mendalaminya, penulis sarankan membaca Buku Masdar F. Mas'udi (2010) Syarah Konstitusi, UUD 1945 Dalam Perspektif Islam. Buku ini memberikan telaah komprehensif mengenai konstitusi Indonesia dalam perspektif Islam yang diharapkan mampu untuk menjelaskan keberadaan Islam dalam sistem konstitusionalise di Indonesia. Juga tidak ketinggalan buku yang dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah (2015), Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah.

Penutup

Sampai di sini kita semestinya tidak lagi sanksi bahwa Pancasila dan UUD 1945 sebagian besar, jika tidak seluruhnya, telah memenuhi dan/atau memperkuat tujuan-tujuan syariat Islam (al maqosid syariah). Pancasila adalah dasar negara yang islami, UUD 1945 adalah konstitusi yang islami. Meski bukan dasar negara Islam dan bukan konstitusi negara Islam, karena sejak awal konsensus kita bernegara tidaklah membentuk negara atas dasar agama tertentu.

Indonesia memang bukan negara agama (dalam arti ada satu agama sebagai agama negara). Tapi, Indonesia jelas bukan negara sekuler liberal (dalam arti memisahkan atau bahkan menjauhkan urusan agama dari wilayah publik). Indonesia adalah negara yang menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Dan bagi kita umat Islam, Indonesia adalah negara yang islami, negara yang akan lahir sebagai baldatun thoyyibatan wa rabbun ghafur.

Umat Islam sudah semestinya menjadi yang terdepan dalam mesyukuri nikmat keindonesiaan ini. Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat dipungkiri adalah warisan ulama dan santri pejuang. Jangan pernah melupakan sejarah ("jas merah") dan jangan pernah melupakan peran ulama dan umat Islam ("jas hijau").

Tugas kita adalah menjaga warisan itu dengan melaksanakan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen, dengan mendorong kebijakan negara yang konsisten dengan Pancasila dan UUD 1945, dan dengan menjaganya dari upaya pihak-pihak yang ingin melunturkan nilai, jiwa, dan semangatnya yang mulia. Kita pun sebagai muslim terbuka untuk mengamalkan ajaran Islam dan menyebarkan dakwah Islam di bumi pertiwi ini sebagai bentuk aktualisasi dan pengokohan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Mengakhir tulisan ini, sangat bijak seruan Pak Haedar Nashir yang mengajak bangsa Indonesia berpikir subtantif dan bukan hanya berpikir soal nama, soal atribut, soal cangkang, atau soal kulit. Mempertentangkan idiom-idiom atau istilah-istilah yang mungkin ada unsur ideologi dengan NKRI justru menjauhkan kita dari apa yang kita harapkan.[fb]

Baca juga :