Kaidah Pemimpin dan Bawahan

Kaidah Pemimpin dan Bawahan

Berkata Syeikh Munir Muhammad al-Ghadban dalam "Manhaj Haraki" tentang kaidah pemimpin yang telah menetapkan putusan dan bawahan yang memiliki aspirasi berbeda (meski tidak mesti pasti bertentangan dengan sang pemimpin):

Sesungguhnya, pemimpin yang brilian tidak pernah kehabisan sarana untuk memuaskan para prajuritnya dengan menghormati dan menghargai pendapat mereka walaupun kadangkala strateginya berbeda dengan keinginan sebagian dari mereka. Ia tidak membatalkan strateginya, tetapi mencoba untuk menghadapi keinginan prajuritnya serta berupaya untuk memuaskan mereka dan mengesankan kepada mereka akan pentingnya pendapat dan pandangan mereka.

Memang benar bahwa kewajiban bawahan adalah taat, juga benar bahwa mendengar dan menaati bukan satu-satunya sarana hubungan antara pemimpin dan bawahan. Tetapi juga cinta, kepercayaan, dan kesungguhan merupakan sarana utama dalam hubungan antara mereka. Karena itu, hadits Rasulullah saw. menegaskan sisi kebaikan para pimpinan dari segi kecintaan.

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ

"Pemimpin terbaik bagi kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Adapun seburuk-buruk pemimpin bagi kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknati dan mereka melaknati kalian.

Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bolehkah kita menyatakan perang kepada mereka ketika itu?" Beliau menjawab, "Jangan! Selama mereka mengerjakan shalat di tengah-tengah kalian." (HR Muslim).

"Alangkah perlunya kepemimpinan dalam Harakah Islamiyah untuk mengetahui nilai-nilai ini dan mengimplementasikannya," demikian diungkap Syeikh Munir Muhammad al-Ghadban.

Kaidah ini cermin terbaik sesiapa pun. Patik tergerak dengan makna hadits ini kali pertama saat Ustad Budi Ashari mensyarahkan di sebuah majelis. Satu modal ilmu bagi patik dan kawan-kawan yang hendak memelihara nalar sehat dan komunikasi partisipatif pejuang dakwah. Tapi ini bukanlah alat pukul kepada para ikhwah lain, hatta pada masa lalu sekalipun.

Juga dalam kita mengukur dengan kepemimpinan nasional hari ini, kita sering mendapati kemiripan dengan hadits shahih Muslim di atas. Saat kita kritik, kita dapatkan kritik keras yang lebih mengarah ke fitnah, hasil olahan alat kekuasaan (termasuk para buzzer media maya penguasa). Di teks Syeikh Munir, matan ihwal shalat tidak dicantumkan. Sengaja patik tuliskan karena relevansi dengan situasi sekarang.

Ketidakadilan penguasa negeri talak nyata. Memang ada kalanya hadir kebajikan yang dibuatnya. Juga masih ada kemauan sang penguasa untuk shalat. Maka, kita yang bergerak di Arah Baru seyogianya bisa arif kapan melempar kritik dan bagaimana hadapi pasukan artileri maya penguasa membalas sengit.

Ihwal shalat jadi batas kulminasi kita untuk tidak "berperang", menariknya, semenjana atraksi politik-shalat penguasa lewat pelbagai kamera tim istana. Entah demi motif apa. Shalat batas agar rakyat dilarang melawan, shalat pula yang dihadirkan sebagai citra diri saleh penguasa. Wallahu a'lam.

(Yusuf Maulana)

Baca juga :